Utang, Pertumbuhan Ekonomi, dan Ancaman Krisis

Jangan sampai utang pemerintah dan swasta mengalir ke sektor yang tak produktif.

Utang, Pertumbuhan Ekonomi, dan Ancaman Krisis
(c) ambcreditconsultant

 

Utang Luar Negeri dan Pertumbuhan Ekonomi

Perdebatan dan diskusi tentang utang pemerintah akhir-akhir  ini memerlukan kajian yang mendalam. Publik semestinya mendapatkan informasi yang memadai dalam bahasa yang mudah dicerna tentang kondisi  APBN terutama beban utang luar negeri kita. Publik berhak tahu, siapakah yang berutang dan menanggung utang tersebut? Pemerintah atau swasta. Juga mengapa pemerintah harus berutang, kepada siapa berutang, dan bagaimana resiko yang timbul dari kebijakan mengutang.

Utang, baik oleh pemerintah atau swasta, menjadi salah satu instrumen keuangan yang digunakan untuk menggerakkan ekonomi atau mendorong pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi diperlukan sehingga semakin banyak barang yang tersedia, terbukanya lapangan kerja, dan menurunnya angka kemiskinan.

Terkait meningkatnya nominal utang pemerintah dan rasio utang pemerintah terhadap PDB, banyak pengamat yang mengingatkan agar pemerintah jujur dan mengambil kebijakan yang bisa mengurangi resiko yang timbul akibat utang tersebut. Rakyat berhak mendapat penjelasan agar tidak tenggelam dalam kecemasan terhadap ancaman krisis seperti yang terjadi di tahun 1998 dan 2008.

Utang luar negeri baik yang dilakukan oleh pemerintah atau swasta memiliki resiko yang besar. Saat ini utang swasta masih cenderung terkendali karena regulasi yang semakin ketat menyusul krisis 1998 yang diakibatkan oleh utang swasta. Utang pemerintah yang sekarang menjadi sorotan tajam.

  

Pelajaran dari Krisis Moneter 1998

Krisis ekonomi yang terjadi tahun 1998 memberi pelajaran kepada Indonesia. Saat itu, berdasarkan laporan BI tahun 1996, kondisi perekonomian Indonesia relatif baik. Utang saat itu dalam kondisi aman. Pemerintah mengklaim, besarnya utang masih bisa dikelola karena pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan pendapatan pajak dan penerimaan negara lainnya masih cukup untuk membayar cicilan pokok dan bunga utang tersebut.

Namun badai krisis moneter yang menghantam kawasan pada 1998 mengakibatkan krisis finansial yang luar biasa. Utang pemerintah RI naik dua kali lipat saat itu hingga mencapai 1.000 triliun. Rupiah pun terperosok ke nilai yang paling rendah dalam sejarah.

Untuk krisis keuangan pada 1998, penyebab utamanya berasal dari neraca pembayaran. Terutama di Asia dengan nilai tukar yang tidak fleksibel, capital flow yang bebas, tidak ada sinkronisasi dari kurs dan capital inflow, dan ketidaksinkronan itu memunculkan spekulasi dan nilai tukar drastis.

 Penyebab krismon 1998 adalah Stok  utang luar negeri swasta yang sangat besar dan umumnya berjangka pendek, telah menciptakan moneter . Investor asing  tertarik dengan dinamisnya perekonomian Indonesia, investasi yang masuk sama dengan utang. Dan utang swasta dalam bentuk US Dollar atau valas. Utangnya pun dalam tenor pendek. Lebih banyak mengalir ke sektor finansial, konsumsi  dan  perumahan (real estate), bukan ke sektor riil. Pada gilirannya ekspor tidak terdongkrak, dan neraca pembayaran mengalami defisit.  

Kondisi tersebut diperparah dengan banyaknya kelemahan dalam sistem perbankan di Indonesia. Utang dari kreditor asing dalam bentuk valas dan diputar dalam Rupiah. Kebijakan Pemerintah tak bisa mengimbangi  pertumbuhan sektor perbankan yang sedemikian cepat. Pengawasan dan pengendalian lemah, banyak bank tak cukup modal beroperasi, dan banyak bank membiayai kelompok usahanya sendiri. Tak ada sanksi bagi bank yang melanggar kepatuhan.

Makin tidak jelasnya arah perubahan politik, maka isu tentang pemerintahan otomatis berkembang menjadi persoalan ekonomi pula. Perkembangan situasi politik telah makin menghangat akibat krisis ekonomi, dan pada gilirannya memberbesar dampak krisis ekonomi itu sendiri

 

Pelajaran dari Krisis 2008

Untuk krisis keuangan pada 2008, lebih disebabkan oleh produk derivatif. Produk derivatif adalah sebuah kontrak bilateral atau perjanjian penukaran pembayaran yang nilainya diturunkan atau berasal dari produk yang menjadi acuan pokok atau disebut produk turunan (underlying product), daripada memperdagangkan atau menukarkan secara fisik suatu aset, pelaku pasar membuat suatu perjanjian untuk saling mempertukarkan uang, aset atau suatu nilai disuatu masa yang akan datang dengan mengacu aset yang menjadi acuan pokok.

Tracking resiko dengan munculnya produk-produk baru tidak terdeteksi, neraca sehat tapi banyak risiko tersembunyi sehingga menimbulkan akumulasi risiko. Bubble economy atau penggelembungan ekonomi yang diakibatkan oleh ketidakseimbangan antara sektor keuangan dan dan sektor produksi terjadi.   

Jika krisis moneter 1998 diwarnai dengan tumbangnya bisnis properti di Indonesia yang saat itu menjamur karena kemudahan kredit yang ditopang oleh utang swasta kepada pihak luar negeri, maka Krisis Ekonomi 2008 justru memukul bisnis properti AS. Kita mengenal istilah subprime mortgage atau kredit keuangan perumahan kelas dua AS yang dijual ke seluruh dunia. Banyak warga AS dan luar AS berinvestasi pada bisnis properti karena kemudahan kredit dan berakhir dengan gagal bayar.

 

 

Saran dan Masukan bagi Pemerintah

Pemerintah melalui Menteri Keuangan sudah memberikan penjelasan terkait utang dan APBN kita. Penjelasan tersebut memberikan harapan bahwa, ekonomi kita terus tumbuh, APBN kita dikelola dengan pruden, dan kepercayaan dunia terhadap Indonesia sebagai tujuan investasi semakin tinggi. Namun demikian, bukankah krisis 1998 juga dimulai dengan kepercayaan dunia yang tinggi terhadap ekonomi Indonesia sehingga utang laur negeri menggelontor masuk tak terkendali kepada swasta?

Berkaca dari pengalaman tersebut, maka kritik dan masukan kepada pemerintah semestinya bisa disikapi dengan bijak. Demikian sebaliknya, publik dan para pengamat juga mengapresiasi langkah positip yang sudah diambil pemerintah. Lebih daripada itu, publik juga bisa didorong untuk berpartisipasi dalam menyelamatkan keuangan negara. Misalnya dengan membeli SBN atau SBSN dalam bentuk SUN, Sukuk, ORI, dan sebagainya.  

Titik temu anatara pemerintah dan pengamat ekonomi juga terlihat pada perhatian atas komitmen pemerintah daerah dalam alokasi anggaran. Pemerintah, terutama pemerintah daerah, semestinya disiplin dalam mengelola anggaran. Termasuk Pemerintah Daerah. Terutama dalam alokasi 25% anggaran untuk belanja modal. Pos anggaran belanja pegawai dan barang masih tinggi. Banyak biaya perjalanan  dinas yang semestinya bisa ditekan.

Pengamat pun mengigatkan jangan sampai gali lubang tutup lubang terkait dengan kebijakan utang luar negeri. Utang pemerintah yang mencapai sekitar Rp. 4.000 Triliun jatuh temponya rata-rata 9 tahun. Jadi pertahun cicilannya sekitar Rp. 450 Triliun.  Pemerintah sendiri berencana membayar bunga utang sebesar 247,6 triliun di tahun 2018 ini. Upaya ini diharapkan mampu menurunkan yield SBN dan meningkatkan peringkat utang Indonesia.  

Pemerintah harus berupaya agar kredit mengalir secara merata. Saat ini 83% kredit masih ke bisnis besar. Seperti kita ketahui bahwa UMKM justru menjadi sektor yang memiliki daya tahan yang lebih tinggi dibandingkan industri besar saat terjadi hempasan krisis. Sektor produksi yang ditopang oleh UMKM mendapat peluang untuk berkembang dengan dukungan teknologi digital. Peluang ini bisa dimanfaatkan untuk membangun keseimbangan yang saling menguntungkan antara industri besar dan UMKM.

Komposisi utang dalam bentuk SBN lebih tinggi. Kepemilikan SBN oleh investor asing dan dalam mata uang asing membuat Rupiah rentan terhadap tekanan. Dikhawatirkan terjadi aliran modal keluar ketika terjadi gejolak.  Mengurangi hot money dan menggantikannya dengan utang bertenor panjang.

Defisit transaksi berjalan juga akan berpengaruh terhadap nilai tukar Rupiah. Apabila target pertumbuhan ekonomi lebih banyak ditopang oleh konsumsi, apalagi konsumsi atas barang atau komoditas impor, maka hal tersebut akan menggerus kekuatan fundamental ekonomi kita. Produktifitas, daya saing, dan kemampuan ekspor kita menjadi agenda utama. Secara sederhana, publik bisa mencerna penjelasan bahwa kita menjadi bangsa yang produktif, berdaya saing, hemat, dan secara bersama-sama mampu menurunkan utang luar negeri.

Negara besar pun bisa terpuruk oleh krisis ekonomi. Maka kesadaran kita harus tertuang dalam politik anggaran yang sehat, memberi kesempatan kepada dunia usaha untuk berkembang, dan mampu mengentaskan rakyat yang berada di dasar piramida ekonomi.