Trumpisme Wilders dan Pergulatan Ideologis di Eropa
Pemilu 15 Maret 2017 di negeri Kincir Angin mendapat perhatian yang lebih besar daripada pemilu-pemilu sebelumnya

MONDAYREVIEW.COM - Pemilu 15 Maret 2017 di negeri Kincir Angin mendapat perhatian yang lebih besar daripada pemilu-pemilu sebelumnya. Ini karena jajak pendapat sebelum pemilu menempatkan PVV yang dipimpin Geert Wilders berada di urutan teratas 28 partai yang ikut pemilu. Wilders sebagai politikus ultra-kanan secara eksplisit mengemukakan pandangan dan sikap anti-Islam dan anti-pendatang. Meski tentu saja isu ekonomi juga menjadi materi kampanye Wilders. Ia dan partainya mendorong Belanda keluar dari Uni Eropa mengikuti langkah Brexit.
Para pengamat menengarai langkah Wilders menemukan momentum pasca kemenangan yang diraih Donald Trump. Bahkan Wilders pun kini dijuluki penganut Trumpisme yang ditandai dengan pandangan anti-Islam, agenda nasionalis, dan isolasionis. Jika Wilders dan PVV menang, itu akan menjadi simbol bagi kemenangan kaum kanan. Dan hal itu bisa menyebar dan menginspirasi kemenangan kaum kanan di Eropa, utamanya Front Nasional di Perancis, AFD di Jerman, Partai Kebebasan di Austria dan Liga Nord di Italia. Karena Belanda adalah salah satu tolok ukur penting nilai toleransi dan kebebasan. Kaum Ultra Kanan Eropa menjual gagasan tentang identitas nasional, imigrasi, persatuan Eropa dan kebijakan ekonomi.
Banjir pengungsi atau imigran dari Timur Tengah yang mayoritas penganut Islam menjadi kekhawatiran tersendiri bagi warga Eropa. Pandangan anti Islam dan pendatang Timur-Tengah yang sejak lama bagai api dalam sekam kini muncul ke permukaan. Secara terbuka, para politisi dan masyarakat berhaluan ultra-kanan menyuarakan sikap mereka demi melindungi apa yang mereka sebut sebagai kepentingan nasional. Dibumbui dengan ancaman terorisme, radikalisme, dan benturan budaya yang menyertai arus masuknya pendatang muslim, maka pandangan sayap ultra-kanan mendapat dukungan yang tidak sedikit dari pemilih di pemilu negara-negara Eropa.
Dukungan kuat yang diperoleh kubu ultra-kanan memang tidak serta-merta menjanjikan kemenangan politik penuh. Karena di Belanda, misalnya, partai utama biasanya hanya bisa meraih maksimal 40% suara. Dibutuhkan koalisi sedikitnya 5 partai untuk membentuk pemerintahan. Namun, menguatnya dukungan pada gagasan-gagasan kanan yang protektif terhadap kepentingan nasional mempengaruhi arah kebijakan yang digariskan dan diambil oleh siapapun yang membentuk pemerintahan. Partai-partai tengah juga akan menyuarakan dukungan pada isu-isu kanan meski dengan nada yang lebih lunak.
Laporan bbc.com tanggal 15 Maret 2017 melansir perdebatan antara Perdana Menteri Mark Rutte dari kubu tengah dengan Geert Wilders dari kubu ultra-kanan. Wilders sebagaimana diberitakan sebelumnya menegaskan sikapnya yang anti-Islam, akan menutup semua masjid, dan melarang Qur’an. Dia juga mengkritik Rutte yang dituduhnya telah memprioritaskan layanan kesehatan bagi pengungsi dan imigran melebihi layanan kesehatan bagi warga Belanda sendiri. Sementara Rutte menegaskan bahwa pemilu adalah saat yang tepat untuk menang atas sisi yang tidak tepat dari populisme.
Perkembangan hasil pemilu Belanda ini akan sangat menarik dari menit ke menit. Bagaimana hasilnya? Apa pengaruhnya bagi Perancis yang akan menyelenggarakan pilpres bulan denpan dan bagi Jerman yang akan menyelenggarakan pemilu di bulan September? Bagaimana pula dengan dampaknya bagi demokrasi dan pergulatan politik di Asia khususnya Indonesia? Mari kita cermati dengan kepala dingin.
M Taufan Agasta