Terror Bom Libatkan Anak, Keluarga Jadi Ruang Efektif Tanamkan Paham Radikal?
Keluarga menjadi ruang yang efektif untuk mengembangkan ideologi ekstrem.

BEBERAPA hari terakhir ini, kita dikejutkan oleh serangkaian aksi teror bom dan upaya penangkapan dramatis terhadap beberapa terduga teroris di sejumlah daerah. Ada satu hal yang kemudian menjadi sorotan sekaligus menampar wajah kita. Ya, ‘keluarga’ sebagai institusi terendah dalam relasi sosial ternyata menjadi ruang yang efektif untuk mengembangkan ideologi ekstrem. Pandangan radikal yang meyakini bahwa untuk mencapai sebuah kebenaran, kekerasan pun bisa dilakukan.
Padahal, selama ini, kita kadung mengamini apa yang dikatakan Anthony Giddens tentang Globalisasi dan pengaruhnya terhadap institusi keluarga. Kata Giddens, keluarga sebagai institusi terendah dalam relasi sosial, merupakan yang paling mengkhawatirkan di era ini.
Giddens dalam bukunya ‘Run Away World’ (1999), juga menuturkan, bila dunia baru yang saat ini ada di hadapan kita menampakan wajah gandanya (jenus faced). Yang selain membawa dampak positif berupa kemajuan teknologi informasi, juga membuat kualitas keintiman dalam istitusi keluarga ataupun masyarakat secara lebih luas kian berkurang. Intinya, nilai dan tradisi yang sebelumnya dianggap tabu, menjadi sesuatu yang dianggap biasa dan tanpa sekat tradisi ataupun moralitas lagi.
Seperti disampaikan Kapolri Jenderal Tito Karnavian, dari proses identifikasi yang dilakukan tim kepolisian, diketahui bahwa pelaku 3 bom Surabaya, diduga pasangan keluarga, baik yang melakukan serangan di Gereja Pantekosta, yang menggunakan Avanza diduga orangtua dan bapaknya, bernama Dita Oepriarto.
Sebelumnya, Dita mendrop istrinya dan dua anak perempuannya, istrinya diduga meninggal bernama Puji Kuswati. Dua anak perempuannya bernama Fadhila Sari (12) dan Famela Rizqita (9). Pelaku lainnya, adalah kedua putra Dita sensiri yang meledakan Gereja Santa Maria. Terdiri dari Yusuf Fadhil (18) dan Firman Halim (16). Semuanya adalah serangan bom bunuh diri, dengan jenis dan daya ledak yang berbeda. Pun demikian dengan pelaku bom di Mapolrestabes Surabaya, juga diduga satu keluarga.
Atas sejumlah fakta dan temuan tersebut, maka tesis Giddens tersebut tentu saja menjadi runtuh. Karena nyatanya, keintiman dalam ruang keluarga malah makin menguat. Lalu keluarga pun menjadi ruang paling efektif menanamkan paham tertentu, ketimbang apa yang saat ini kita gandrungi, teknologi komunikasi dan sosial media.
Para ahli bahkan seringkali menyarankan agar memberi batasan akses anggota keluarga terhadap konten-konten yang disebar media sosial. Kita pun lalu manut, dan fokus berusaha mengurangi efek negatif yang dibawa teknologi. Sayangnya, kita malah lupa dengan ikatan yang ada dalam keluarga.
Makanya tak heran, bila komentar pertama yang diungkapkan anggota keluarga pelaku terror bom Surabaya adalah ‘kaget’, atauh bahkan ada yang langsung serangan jantung. Saking tak menyangka, bila anggota keluarga mereka berubah radikal dan menjadi anggota kelompok teroris.
Benarlah apa yang dikatakan Haula Noor, kandidat doktor di Coral Bell School of Asia Pacific Affairs, Australian National University, bahwa ‘keluarga adalah ruang paling efektif untuk pengembangan idelogi ekstrem. Karena keluarga, menurut Haula Noor, merupakan unit utama dalam pengembangan sosial dan psikologis individu melalui proses sosialisasi.
Dalam artikelnya di National Geografic, Haula Noor juga menulis, bahwa kegiatan sehari-hari seperti mendiskusikan jihadisme, islam dan politik, menonton video ektrem bersama, berpartisipasi dalam kegiatan keagamaan pasangan dan orangtua, dan lain-lain dapat membentuk idelogi tersebut.
Anak-anak, kata Haula Noor, melihat apa yang terjadi sebagai sesuatu yang biasa dan umum terjadi dalam keluarga. Mereka pun, kata Dia, mungkin tak mempertanyakannya, karena mereka percaya kepada orangtuanya.
Haula Noor juga menyinggung apa yang dilakukan keluarga Dita Oepriarto yang pergi ke Suriah. Menurutnya, bagi keluarga yang telah pergi ke Suriah, hidup di bawah penguasa Suriah atau minimal melihat video-video kekejaman perang Suriah, juga menciptakan konteks untuk sosialisasi itu sendiri.
“Lalu tanpa disadari, idelogi jihad menjadi ideologi yang diterima oleh semua anggota keluarga yang pernah tinggal di sana,” tulis Haula Noor.
Khusus terkait pelibatan anak-anak dalam aksi terror di Surabaya dan Sidoardjo, Dekan Fakultas Psikologi UIN Bandung, Dr. Agus menuturkan, bila hal tersebut ada beberapa kemungkinan. Kemungkinan pertama, teror dengan menyertakan anak, kata Dr. Agus, merupakan modus baru, sehingga boleh jadi untuk menghindari kecurigaan sebelum aksi mereka betul-betul terlaksana.
Kedua, bisa jadi karena kasih sayang orangtua terhadap anak itu alami. Sehingga membawa anak sebagai pengantin boleh jadi justru dipandang sebagai ekspresi kasih saying terhadap anak tersebut. “mereka memang memandang perilaku tersebut sebagai perbuatan mulia yang akan diganjar surga,” tutur Agus.
Karena penyertaan anak dalam aksi terror bisa karena beberapa kemungkinan, maka terkait penanganannya pun menjadi berbeda-beda. Dr. Agus menjelaskan, selain aspek fisik, penanganan aspek psikologis anak amat mendesak. Karena menurut Agus, pengalaman tersebut tentu sangat berbekas dan menimbulkan taumatik. Selain itu, kata Agus, anak tersebut juga mungkin sudah diindoktrinasi oleh orangtuanya.
“Maka perlu juga semacam terapi kognitif untuk menghilangkan keyakinan-keyakinan keliru yang telah tertanam dalam diri mereka,” ujarnya.
Menurut Dr. Agus, pandangan moral anak umumnya belum internalized atau otonom. Artinya, keyakinan mereka sangat dipengaruhi lingkungannya; seperti teman sebaya, orangtu, bacaan dan lain sebagainya. “menghindarkan mereka dari lingkungan yang mudah terpapar paham radikal bisa jadi solusi,” pungkas Dr. Agus. [Mrf]
<iframe width="560" height="315" src="https://www.youtube.com/embed/VVikrWtljwY" frameborder="0" allow="autoplay; encrypted-media" allowfullscreen></iframe>