Tantangan Perbankan Islam dalam Merespon Fintech

Fintech syariah juga telah dicanangkan di Indonesia. Fintech syariah dimaksudkan untuk membantu UMKM dalam mendapatkan modal dan sertifikasi halal bagi produk-produk yang dijual. Sehingga fintech yang hadir setidaknya bisa membantu transaksi, investasi, dan yang lebih penting memberi edukasi bagi publik.

Tantangan Perbankan Islam dalam Merespon Fintech
arabnews

 

MONDAYREVIEW- Perbedaan pandangan antara berbagai kalangan baik dalam tataran konsep maupun tataran praktik tentang ekonomi Islam khususnya pada sektor keuangan dan perbankan memang masih ada. Sebagian berpendapat dan mendorong tumbuhnya sektor keuangan dan perbankan syariah yang dirasakan agar mampu menjadi alternatif bagi dunia Islam untuk membangun struktur modal, menjembatani atau melakukan fungsi intermediasi keuangan antar nasabah, dan kebutuhan publik utamanya para pelaku ekonomi yang ingin bertransaksi secara syariah.

Sebagian lagi kurang atau bahkan tidak mendukung perkembangan sistem keuangan syariah. Ada yang beralasan, sistem perbankan dan produk-produk keuangan syariah hanya  berhenti pada label semata. Sementara esensi atau substansinya masih sama dengan perbankan konvensional. Masih terdapat, bahkan melekat unsur riba dalam lingkaran Islamic Banking berikut produk-produk keuangan berlabel syariah. Pun mereka yang ingin menerapkan muamalah sebagaimana yang dilakukan oleh Rasulullah dan para sahabatnya dengan menginisiasi penggunaan dinar-dirham, pasar muamalah,  pola pembaiayaan dan transaksi yang dielaborasi secara tekstual dari sumber-sumber ajaran Islam.

Di sisi lain berbagai upaya dan perubahan ekosistem keuangan berlangsung. Pencapaian teknologi terjadi secara cepat. Pencapaian yang mendorong perubahan sistemik, termasuk di dalamnya perubahan ke arah ekonomi yang bersifat disruptif. Financial technology atau teknologi finansial telah memotong mata rantai transaksi dan distribusi modal.

Seiring pertumbuhan dan kelembagaan keuangan syariah mencakup perbankan mobile dan internet, para pengamat percaya bahwa peluang yang ditawarkan oleh fintech Islam akan menjadi sangat menarik bagi sektor ini - walaupun tidak memiliki standar global. Demikian laporan Kill Gillet dalam The Banker.com.

Mungkin saja kehadiran fintech akan mengamputasi bahkan memakan sektor perbankan yang tidak responsif terhadap perkembangan teknologi. Namun di sisi lain juga bisa menghadirkan sintesa dan sinergi yang secara optimal dapat menggenjot inklusi keuangan atau keterlibatan masyarakat dalam mengakses perbankan dan produk-produknya.

Ahmad Wira Ph.D, sebagaimana dikutip dari pegadaian.co.id, mengungkapkan bahwa mazhab Hanafi menghalalkan transaksi jual-beli tanpa adanya akad. Madzhab ini memegang prinsip adanya rasa ketertarikan di antara penjual dan pembeli sehingga tidak perlu bertemu secara langsung. Ahmad juga menambahkan, penggunaan financial technology ini merupakan salah satu bentuk muamalah dalam Islam yang didorong oleh kemajuan zaman.

Walaupun demikian, menurut Wiku Suryomurti, Dosen dan Direktur Center of Ethical and Responsible Investment STEI Tazkia, sebagai bisnis di bidang jasa keuangan, transaksi dalam fintech pun dapat tersangkut dalam hal-hal yang dilarang dalam prinsip syariah Islam, misalnya Riba, Gharar, Maysir dan Dzulm.

Oleh karenanya, para akademisi, pakar fiqh, regulator (pemangku kebijakan), praktisi keuangan dan pelaku startup perlu duduk bersama dan bersinergi untuk terus melakukan kajian, pengembangan serta pengawasan terhadap aplikasi fintech berbasis syariah, khususnya di Indonesia. Wabil khusus dengan tujuan untuk kemaslahatan umat Islam yang merupakan mayoritas di negeri ini. Ditambah pula dengan fakta bahwa kalangan kelas menengah muslim diprediksi akan mendominasi ekonomi di Indonesia dalam kurun waktu 5-10 tahun mendatang.

Fintech syariah juga telah dicanangkan di Indonesia. Fintech syariah dimaksudkan untuk membantu UMKM dalam mendapatkan modal dan sertifikasi halal bagi produk-produk yang dijual. Sehingga fintech yang hadir setidaknya bisa membantu transaksi, investasi, dan yang lebih penting memberi edukasi bagi publik.

Diharapkan akan lebih banyak lagi produk halal yang dihasilkan oleh Indonesia dengan mudahnya pengurusan sertifikasi bagi produk-produk tersebut. Dengan sertifikasi produk maka konsumen lebih diuntungkan karena mendapatkan perlindungan terkait kualitas dan keamanan produk.

Salah satu paper yang dipublikasikan Kelompok Kerja Ekonomi dan Keuangan Islam di Bank Dunia mengulas hal ini secara mendalam. Prinsip-prinsip inti Islam sangat menekankan pada keadilan sosial, penyertaan, dan pembagian sumber daya antara kaya dan yang tak berpunya. Keuangan Islam mengarah pada masalah "penyertaan keuangan" atau "akses terhadap keuangan" dari dua arah-satu melalui mempromosikan pembagian risiko kontrak yang memberikan alternatif yang layak untuk konvensional pembiayaan berbasis hutang, dan yang lainnya melalui instrumen spesifik redistribusi kekayaan di antara masyarakat.

Penggunaan instrumen pembiayaan risiko bagi hasil dapat dilakukan menawarkan keuangan mikro yang sesuai syariah, pembiayaan untuk usaha kecil dan usaha menengah, dan asuransi mikro yang meningkatkan akses terhadap keuangan.

Sementara itu, instrumen redistributif mewujud dalam  Zakat, Sadaqah, Wakaf, dan Qard-al-hassan. Instrumen pembagian risiko untuk menargetkan masyarakat sektor miskin untuk menawarkan pendekatan komprehensif untuk memberantas kemiskinan dan membangun ekonomi yang sehat dan bergairah.

Instrumen yang ditawarkan oleh Islam memiliki akar sejarah yang kuat dan telah diterapkan sepanjang sejarah di berbagai bidang. Masih ada kesenjangan saat ini yang ada dalam Organisasi Kerjasama Islam (OKI) Sebagian telah memiliki keuangan mikro yang sesuai syariah dan pembiayaan untuk usaha kecil dan menengah dan sebagian lagi bertumpu pada eksistensi instrumen redistributif tradisional.

Islam menawarkan seperangkat instrumen yang kaya dan pendekatan yang tidak konvensional, yang jika diimplementasikan dalam semangat dan kesungguhan, bisa mengakibatkan berkurangnya kemiskinan dan ketidaksetaraan di negara-negara Muslim yang masih dibelenggu massifnya kemiskinan.

Oleh karena itu, pembuat kebijakan di negara-negara Muslim yang serius dalam meningkatkan akses terhadap keuangan atau "penyertaan keuangan" harus memanfaatkan potensi Instrumen Islami untuk mencapai tujuan dan fokus ini memperbaiki infrastruktur peraturan dan keuangan mempromosikan lingkungan yang mendukung.

Inklusi keuangan menjadi prioritas yang semakin meningkat bagi para pembuat kebijakan di seluruh dunia dan ada kesadaran bahwa langkah-langkah yang harus dilakukan untuk i) merangsang sektor investasi swasta yang menguntungkan individu berpenghasilan rendah dan UKM, ii) menghapus institusi dan hambatan infrastruktur untuk membantu penyedia layanan keuangan memperluas layanan secara berkelanjutan, dan iii) mendorong diversifikasi produk dan manajemen risiko yang lebih baik.

Kehadiran teknologi finansial atau fintech saat ini sedemikian massif. Baik yang menghimpun dan mendistribusikan maupun investasi. Dengan dukungan teknologi digital, terutama keterlibatan algoritma dalam penyelesaian masalah, bisa memangkas biaya dalam pengelolaan sistem keuangan. Pun akses masyarakat pada teknologi digital pun sedemikian meningkat. Sehingga prospek untuk melibatkan masyarakat untuk mendapatkan akses keuangan semakin besar. Ini sejalan dengan strategi keuangan inklusif yang diyakini akan mampu memperkuat pertumbuhan sekaligus pemerataan ekonomi.

Menjadi tantangan besar bagi para ekonom, teknolog, dan pelaku industri keuangan Islam untuk merespon perkembangan teknologi finansial yang memberikan secercah harapan bagi penerapan prinsip-prinsip muamalah. Prinsip yang jauh dari riba. Adil dan memberi peluang bagi para pelaku ekonomi untuk mengembangkan aktivitas ekonominnya. Sekaligus memberi ruang untuk menjembatani antara si kaya dan si miskin. Karena si miskin yang beranjak dari kemiskinannya akan menjadi masa depan bagi ekosistem ekonomi yang sehat. Dan pada akhirnya ekonomi Islam menekankan perlunya berinvestasi untuk akhirat. Investasi akhirat yang dilakukan dengan jihad bi al-amwaal dapat difahami sebagai upaya untuk memerangi kemiskinan.