Sudahi Kontestasi, Mari Rekonsiliasi
Warga DKI Jakarta memiliki kesempatan untuk menjadi role model bagi Indonesia mengenai kedewasaan berdemokrasi. Bahwa warga negara tak perlu terlampau lama larut dalam sengkarut konflik.

MONDAYREVIEW.COM – Dalam acara “Indonesia Lawyers Club” yang ditayangkan di TV One pada Selasa (25/4) konsultan politik pasangan Anies Baswedan-Sandiaga Uno yakni Eep Saefulloh Fatah angkat bicara. CEO PolMark Indonesia ini tak hanya memberikan apa yang terjadi dari perspektif pihak yang ikut berkontestasi. Eep menunjukkan kecerdasannya dengan memberikan analisa komprehensif dan membawa pesan rekonsiliasi.
Alumnus Ilmu Politik Universitas Indonesia tersebut membawa pemirsa ke tamasya pengetahuan sejarah, mengaitkannya dengan masa kini, dan menawarkan langkah yang bisa diambil untuk masa depan. Eep diantaranya menyoroti tentang anggapan anti Pancasila.
“Kalau memang Jakarta ingin dirajut kembali, mari kita perbaiki cara berpikir kita. Saat ini ada pengandaian yang tidak tepat dan tidak cocok untuk kebutuhan rekonsiliasi. Seolah-olah mereka yang memilih pasangan tertentu adalah Pro Pancasila, Pro Kebhinnekaan dan toleran. Sedang mereka yang memilih pasangan lain anti Pancasila, intoleran, dan anti Kebhinnekaan,” kata Eep.
“Sudah. Jangan kembali ke masa itu. Jangan lagi ada orang yang berpikir bahwa kalau melawan pak Basuki berarti melawan Pancasila,” imbuh Eep Saefulloh Fatah.
Eep pun memberikan komparasi labeling anti Pancasila dengan apa yang terjadi di masa Orde Baru. Ketika itu dalam dua kesempatan, Soeharto memberi sinyal siapa yang mengganggu saya berarti mengganggu Pancasila. Petisi 50 pun muncul sebagai reaksi dari pernyataan Soeharto tersebut. Petisi 50 ditandatangani oleh para tokoh yang memiliki integritas mumpuni. Para penandatangannya yakni Ali Sadikin, Mohammad Natsir, Nasution, Hoegeng Imam Santoso, Burhanuddin Harahap, dan sebagainya.
Apa yang dilakukan Eep dengan mengaitkan kondisi kekinian dengan Petisi 50 terasa bermakna. Yang pertama, Eep tentu menguasai seluk beluk Petisi 50 dikarenakan ia dulu mengangkat skripsi berjudul Negara Orde Baru dan Pengendalian Konflik Politik: Studi Kasus Malari, Petisi 50 dan Tanjung Priok. Yang kedua, Eep mengingatkan history repeats itself. Kalender boleh berganti, namun lakon kelakuan dapat berulang. Pun begitu dengan konsep “anti Pancasila”. Melabeli diri sebagai seorang Pancasilais dan melemparkan kesan bahwa pihak seberang sana sebagai anti Pancasila merupakan sesuatu yang keliru. Kubu Basuki Tjahaja Purnama (Ahok)-Djarot Saiful Hidayat diantaranya dengan agak serampangan mengukuhkan kesan pihak seberang sana sebagai anti keragaman dan seakan negara Pancasila bisa terancam di Jakarta melalui video kampanye terakhirnya.
Pesan rekonsiliasi akan dapat optimal manakala baik di level elite politik dan tingkat akar rumput mengurangi tensi prasangka. Untuk merajut kembali kebersamaan di Jakarta maka tembok yang menyatakan pihak sana dan pihak sini harus dirubuhkan. Terlebih lagi labelling anti Pancasila, radikal, intoleran, sudah seyogianya untuk ditanggalkan dalam narasi besar rekonsiliasi. Sementara itu pihak Anies-Sandi dan pendukungnya pun harus menunjukkan sikap bersahabatnya. Mereka harus menghentikan sinisme, ataupun menyebarkan berita bohong. Di level elite, Anies-Sandi bisa mulai menyicil semangat rekonsiliasi sejak dari sekarang sebelum resmi memerintah pada Oktober 2017 nanti.
Rekonsiliasi memang bukan hal yang mudah. Saat luka-luka akibat perkataan dan tindakan masih terasa. Namun warga DKI Jakarta memiliki kesempatan untuk menjadi role model bagi Indonesia mengenai kedewasaan berdemokrasi. Bahwa warga negara tak perlu terlampau lama larut dalam sengkarut konflik. Kontestasi telah usai, saatnya merajut rekonsiliasi di Jakarta yang berdasarkan Pancasila.