Soal Pengampunan Pajak, Pemerintah Siap Hadapi Gugatan Siapapun Termasuk Muhammadiyah
MONDAYREVIEW.COM, Jakarta - Sekretaris Kabinet (Seskab) Pramono Anung tak mempersoalkan upaya elemen masyarakat sipil, termasuk Muhammadiyah, yang akan melakukan judicial review (peninjauan kembali) terhadap UU Nomor 11 Tahun 2016 Tentang Pengampunan Pajak.

MONDAYREVIEW.COM, Jakarta - Sekretaris Kabinet (Seskab) Pramono Anung tak mempersoalkan upaya elemen masyarakat sipil, termasuk Muhammadiyah, yang akan melakukan judicial review (peninjauan kembali) terhadap UU Nomor 11 Tahun 2016 Tentang Pengampunan Pajak.
Bagi Pramono, pemerintah siap menghadapi gugatan dari siapapun.
"Siapapun yang melakukan itu tentunya pemerintah siap menghadapi," kata Pramono, di Jakarta, Senin (29/8).
Dia berujar, sedari awal pemerintah sudah siap menghadapi gugatan oleh masyarakat. Bahkan, melalui koordinasi Kemenko Perekonomian, pemerintah akan menyiapkan tim khsusus untuk menghadapi gugatan di Mahkamah Konstitusi (MK).
"Seperti yang disampaikan presiden. Presiden telah meminta, bukan hanya tingkat eselon I tapi juga tingkat menteri, akan hadir pada sidang judicial review di MK," ujarnya.
Seperti diketahui, Rapat Kerja Nasional (Rakernas) Majelis Hukum dan HAM PP Muhammadiyah kemarin memutuskan untuk mengajukan judicial review UU Pengampunan Pajak.
Ketua Bidang Hukum dan HAM PP Muhammadiyah, Busyro Muqoddas, mengatakan, fakta hukum dari kebijakan UU Pengampunan Pajak harus jelas. Begitu pula arah hukumnya.
Kejelasan dalam UU itu harus bisa merumuskan nilai-nilai dalam UUD 1945, pasal 33, pasal 1, yaitu pasal-pasal yang erat dengan demokrasi dan HAM.
"Perumusan UU itu juga harus memenuhi prosedur demokrasi dan faktanya UU Tax Amnesty itu belum memadai demokrasi masih minimalis. Sudah saatnya dievaluasi dan melalui judicial review, kecuali pemerintah menunda," kata Busryo, kemarin.
Busyro menegaskan, UU Pengampunan Pajak tak memiliki sasaran jelas. Akibatnya, masyarakat umum turut menjadi korban.
"Sasarannya harus dievaluasi juga, jangan sampai justru masyarakat kecil terkena dampaknya. Tax amnesty ini sebenarnya ditujukan untuk orang yang mengalami problem dalam kewajiban pajak. Dan, orang ini hanya beberapa gelintir saja. Uangnya pun di parkir di luar negeri. Namun, dalam kenyataannya semua masyarakat terkena imbasnya dan ini membuat gaduh," kata dia.
Selain itu, UU Pengampunan Pajak naskah akademiknya tidak pernah dikemukakan secara langsung ke publik, terutama kalangan akademis. Masyarakat tidak bisa memberikan kritik atas naskah tersebut.
"UU itu bentuknya dari atas ke bawah, kebijakan negara nalar hukumnya ditaruh di bawah kepentingan politik. Ini merusak sistem negara hukum," ujarnya.
Untuk itu, saat ini PP Muhammadiyah melalui majelis hukum akan menyusun argumen terkait judicial review UU Pengampunan Pajak dan rencana ini akan segera didaftarkan ke Mahkamah Konstitusi.
Dengan judicial review tersebut, menurut Busyro, Muhammadiyah juga berusaha memberikan solusi atas blundernya pemerintahan Joko Widodo – Jusuf Kalla terkait pengampunan pajak ini.
Sementara itu, Ketua Majelis Hukum dan HAM PP Muhammadiyah Syaiful Bahri mengatakan, selama ini pihaknya konsen terhadap judicial review UU yang justru menciderai UUD 1945 dan Pancasila.
"Saat ini, kita sudah melakukan lima judicial review terhadap UU yang merugikan masyarakat dan negara," ujarnya.
Lima judicial review UU tersebut, antara lain UU Minerba, UU Sumber Daya Air, UU Ketenagalistrikan, UU Migas, dan UU Lalulintas Devisa.
Selain mengajukan judicial review UU Pengampuan Pajak, Rakernas Majelis Hukum PP Muhammadiyah juga menghasilkan beberapa rekomendasi antara lain, mendesak MPR, DPR, dan partai politik, serta kekuatan politik lainnya, agar memperhatikan aspek keadilan sosial dalam merencanakan penyusunan kembali garis-garis besar haluan negara (GBHN).
(FRZ)