Saatnya Menyatukan yang Terbelah

Hormati dan menghargai hukum, inilah cara yang elok untuk menyikapi masalah Ahok. Lebih elok lagi yang selama ini tersekat kembali bersatu.

Saatnya Menyatukan yang Terbelah
Istimewa

MONDAYREVIEW.COM- Masyarakat yang beradab adalah masyarakat yang menghargai dan menghormati hukum. Meskipun tidak sesuai dengan apa yang mereka harapkan. Hal tersebut merupakan langkah yang elok untuk menyikapi permasalahan yang sedang membelit Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok.

Persidangan tingkat pertama kasus penistaan agama telah berakhir dan majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Utara memvonis Gubernur nonaktif DKI Jakarta yang biasa disapa Ahok dengan menjerat hukuman penjara selama dua tahun. Keputusan majelis hakim jauh dari prediksi semua pihak.

Ketua Majelis Hakim, Dwiarso Budi Santiarto dalam persidangan ke-22 di Auditorium Kementerian Pertanian, Jakarta Selatan pada Selasa (9/5) sangat mengejutkan semua pihak. Pasalnya vonis hakim jauh lebih berat dari jaksa yang hanya menuntut Ahok satu tahun penjara dengan masa percobaan dua tahun.

Cara pandang hakim dan jaksa sangat bersebrangan. Jaksa menilai Ahok tak bisa dibuktikan melanggar Pasal 156 A KUHP tentang penistaan agama, sedangkan hakim bersikap sebaliknya.

Dengan keyakinan dan alat bukti yang ada, majelis hakim memutuskan Ahok terbukti bersalah melakukan penistaan agama perihal QS Al-Maidah ayat 51 saat berkunjung ke Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu, September tahun lalu.

Oleh hakim, Ahok dinilai tidak sekadar melanggar Pasal 156 lantaran menyatakan di muka umum perasan permusuhan, kebencian, atau penghinaan terhadap suatu golongan atau agama yang dianut oleh masyarakat Indonesia. Pasal  itulah yang menjadi pijakan tuntutan jaksa. Tak hanya memvonis Ahok, majelis hakim juga langsung memerintahkan Ahok untuk ditahan.   

Keputusan hakim tentunya menimbulkan reaksi yang bertolak belakang. Bagi pihak yang selama ini berharap Ahok segera dihukum atas ucapannya yang dianggap telah melecehkan dan menistaan agama Islam, vonis majelis hakim merupakan keputusan yang sangat tepat. Keputusan hakim telah menjalankan hukum dengan sebaik-baiknya yang menjunjung nilai-nilai keadilan dan tanpa ada intervensi dari penguasa.

Gelak tawa, gembira dan puas yang tergambar dari raut wajah mereka itu sangat lumprah. Dan lumprah. Namun, kita harus ingatkan mereka harus bersikap biasa saja dan tidak memancing permusuhan.

Sementara itu suasana berbeda terjadi di kubu yang pro Ahok. Vonis yang dijatuhkan majelis hakim ibarat palu godam yang menghatam hati mereka. Sedih, kecewa, bahkan hujan tangis terjadi pasca putusan hakim dijatuhkan. Ini juga merupakan hal yang sangat wajar dan wajar. Namun hal tersebut eloknya jangan lah  berlangsung berlarut-larut.   

Meminta Ahok Dibebaskan

Pasca vonis majelis hakim terhadap terdakwa kasus penistaan agama, Basuki Tjahaja Purnama situasi Jakarta kembali bising. Aksi unjuk rasa terus digelar oleh ribuan massa pendukung dan simpatisan Guburnur nonaktif DKI Jakarta yang karib disama Ahok ini.

Setelah vonis dijatuhkan pada Selasa (9/5) lalu ribuan massa pendukung Ahok menggelar aksi unjuk rasa. Mereka terus memadati  ruas jalan di depan Rumah Tahanan Cipinang, Jakarta Timur. Dalam aksinya mereka menyalakan lilin sebagai tanda solidaritas kepada Ahok yang telah ditahan. Dan mereka meminta agar Ahok tidak ditahan.

Tidak hanya berhenti pada titik itu, ribuan massa pendukung dan simpatisan Ahok terus melakukan unjuk rasa hingga saat ini. Hingga tulisan ini diturunkan,  unjuk rasa yang terakhir mereka  lakukan di depan Kantor Pengadilan Negeri Jakarta Utara hingga Jumat (12/5) malam. Seperti biasa mereka menyalakan lilin sebagai tanda solidaritas dan simbol bahwa keadailan di bangsa ini sedang dipertaruhkan. Hukum dapat diintervensi oleh kekuatan-kekuatan massa jalanan. Bukan berdasarkan asas keadilan.  

Melihat hal tersebut, hukum di Indonesia sedang dipertaruhkan. Karena selama drama persidangan Ahok berlangsung tidak sepi dari aksi unjuk rasa, baik dari kubu pro Ahok dan kubu kontra Ahok.

Hal tersebut sangat memprihatinkan. Seharusnya semua pihak menghormati dan mengharagi keputusan majelis hakim. Apapun hasilnya, kedua kubu harus bersikap dewasa. Apabila hal ini tidak terjadi maka kasus Ahok ini akan menjadi drama yang sangat panjang dan tidak akan berkahir. Dan akan mengancam persatuan yang selama ini telah terajut dengan indah.  Pasalnya masing-masing kubu tidak menghargai dan menghormati hukum yang ada di Indonesia.

Sebagai bangsa yang beradab harus menjalankan hukum sesuai aturan yang berlaku. Ahok dan kuasa hukumnya telah menyikapi keputusan hakim dengan cara yang beradab dan bermartabat dengan menyikapinya melalui langkah-langkah hukum. Untuk menjawab vonis mereka mengajukan banding. Sebagai wujud keberatan atas penahanan Ahok, mereka mengajukan penangguhan penangguhan penahanan.

Walaupun belum berkekuatan hukum tetap, meski masih ada babak-babak berikutnya mulai banding hingga kasasi, vonis untuk Ahok sepatutnya kita tempatkan sebagai babak akhir.

Energi Bangsa Terbuang Percuma

Mencermati dan menghayati apa yang terjadi dalam kehidupan berbangsa saat ini, khususnya terkait masalah Ahok sebenarnya bangsa ini telah rugi. Pasalnya telah bannyak energi bangsa yang terbuang percuma untuk masalah yang tidak penting itu. Sudah terlalu lama pula rakyat terpolarisasi, terbelah menjadi dua kubu yang saling serang. Ini sangat mengerikan dan mengerikan.

Padahal apabila kita semua mencermati situasi bangsa ini, sungguh kita dihadapkan dengan permasalahan yang  sangat serius dan dibutuhkan energi yang besar untuk membenahi permasalahan bangsa ini. Misal, masalah ketimpangan ekonomi yang kian melebar antara si miskin dan si kaya  dan pendidikan yang belum merata dan berkualitas.

Pada bidang ekonomi, sebagai salah negara dengan jumlah penduduk yang terbilang sangat besar, Indonesia kerap dihantui persoalan ketimpangan ekonomi. Hal tersebut tercermin  melalui data yang dipublish oleh Badan Pusat Statistik (BPS) disebutkan ratio gini Indonesia mengalami penurunan menjadi 0,39 pada September 2016. Sebelumnya pada Maret 2016 angka ratio gini Indonesia mencapai 0,40. Pun demikian, penurunan angka tersebut masih termasuk dalam katagori “harap-harap cemas” dan tentunya menjadi lampu kuning bagi pemerintah dalam hal kemiskinan.

Berdasarkan data survei lembaga keuangan Swiss, Credit Suisse 1 (satu) persen orang terkaya di Indonesia menguasai 49,3 % kekayaan nasional. Hasil survei ini pun menempatkan Indonesia pada posisi ke empat dalam hal ketimpangan pendapatan.      

Selain itu, permasalahan yang lebih pelik lagi, pendidikan di Indonesia masih jauh tertinggal dibanding negara-negara lain, bahkan kita masih jauh tertinggal dengan negara-negara tetangga kita. Sebut saja Malaysia, Singapura bahkan Thailand.

Kedua masalah ini lah yang harus kita pikirkan dan kerjakan bersama. Agar bangsa ini menjadi bangsa yang Madani. Bangsa yang mampu menghadirkan dan memberikan keadilan bagi seluruh  masyarakatnya. Sehingga seluruh anak bangsa akan tersenyum dan menikmati apa yang seharusnya mereka nikmati. Bangsa yang mampu menjadikan anugrah sumber daya alam yang kaya ini menjadi berkah bagi semua, bukan hanya menjadi berkah bagi golonngan atau kelompok tertentu.

Kembali ke permasalahan Ahok. Marilah kita semua menghormati dan menghargai hukum, apapun konsekuensinya, inilah cara yang elok untuk menyikapi masalah Ahok. Lebih elok lagi bagi pihak-pihak yang selama ini tersekat kembali bersatu. Anggaplah masalah Ahok sudah selesai.

Inilah saatnya mereka yang selama ini terbelah kembali bersatu. Bersatu untuk menyapa dan membangun bangsa ini lebih gemilang dan gemilang. Semoga ini terwujud.