Risiko Membangun Demokrasi

MONITORDAY.COM - “Demokrasi bukanlah perangkat menciptakan kambing hitam dalam setiap kebijakan. Tidak akan beranjak kualitas demokrasi kita jika upaya redistribusi kepentingan melulu dimaknai sebagaimana surga dan neraka.”
Saya mengikuti perkembangan beberapa hari ini yang erat kaitan dengan isi Perpres No. 10 tahun 2021. Mulanya semangat perpres itu murni dalam koridor peningkatan ekonomi rakyat. Namun belakangan multi tafsir atas itu juga tumbuh berkembang.
Sudah terlanjur isu berkeliaran di luar koridor maksud dan tujuan dari kebijakan tersebut. Namun begitulah berdemokrasi, ada kalanya maksud dan tujuan tidak selalu iring sambut dengan kenyataan.
Apa pun yang sedang berlangsung, tulisan ini bukan dalam kapasitas mendukung ataupun menolak Perpres 10 tahun 2021. Narasi ini sebagai satu mitigasi awal memahami simtom demokrasi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara kita.
Kita perlu yakin dan percaya bahwa demokrasi yang dibangun atas semangat mencari kambing hitam, tidak akan berbuah apa-apa kecuali kebodohan beserta kebencian.
Jika ditanya apakah saya sepakat dengan semangat investasi minuman alkohol? Tentu saya menjawab kurang sepakat. Kendati, ketidaksepakatan itu dalam diam.
Presiden Jokowi adalah konsolidator demokrasi. Sejak awal perumusan Perpres tersebut, sebagai Presiden tentu dirinya begitu memahami bahwa hujatan akan mendarat bertubi-tubu. Namun pertanyaan kita mengapa Presiden tetap menandatangani sekalipun itu berisiko tinggi? Inilah diskursus yang sebenarnya perlu kita telaah.
Sebagai seorang Muslim, Presiden Jokowi sadar dan paham bahwa dua organisasi besar NU dan Muhammadiyah akan berada di garis depan penolakan. Tetapi, bukankah kita sadar bahwa Joko Widodo bukan saja Presiden umat Muslim. Joko Widodo juga presiden bagi mereka yang rela membayar pajak mahal untuk mengkomsumsi minuman alkohol.
Presiden bagi pemilik hotel, resto, bar yang mendapatkan keuntungan dari transaksi legal minuman alkohol. Dan yang lebih penting lagi, Joko Widodo adalah Presiden rakyat NTT, Papua, Sulawesi Utara dan Bali yang memiliki produk kearifan lokal sebagaimana minuman beralkohol.
Saya sebagai seorang Muslim yang percaya akan proses demokrasi, berkesimpulan bahwa keputusan Presiden Jokowi semata-mata keberpihakannya kepada golongan minoritas. Sekalipun ini beresiko mendapat kecaman luas dari masyarakat.
Sekalipun saya sangat berterimakasih dan mendukung sikap Presiden Jokowi atas pencabutan Perpres atau pasal yang berkaitan dengan investasi minuman alkohol. Kita juga perlu hormati keberanian Presiden Jokowi dalam membangun diskursus yang selama ini hanya menjadi pergunjingan politik.
Perpres tersebut adalah buah dukungan Presiden Jokowi terhadap empat Provinsi yang mengusul konsep awal investasi minuman beralkohol. Sehingga jika kita memandang dalam bingkai kebangsaan yang lebih luas. Boleh kita simpulkan bahwa Presiden Jokowi bukan saja pemimpin dari sebuah golongan tertentu. Namun dirinya memimpin kebangkitan Indonesia bersama semua elemen bangsa.
Pencabutan Perpres tersebut adalah cerminan bahwa sikap dan suara Nahdlatul Ulama bersama Muhammadiyah masih menjadi referensi utama. Sebagai seorang Muslim saya turut lega dengan sikap Presiden Jokowi yang mencabut Perpres tersebut. Namun di waktu yang sama saya juga hormat dan salut dengan keberanian Presiden mengangkat isu sensitif ini ke atas meja bundar politik.
Saya menduga perbedaan pendapat atas sikap akhir Presiden juga tetap memiliki diskursusnya sendiri. Namun, kita butuh kedewasaan berfikir dalam mendidik demokrasi kita agar kualitas kebijaksanaan dan arif dalam berpendapat terus ditingkatkan.
Kita juga perlu mengerti bahwa kepemimpinanan selalu penuh halang rintang. Lebih-lebih membangun demokrasi tidak saja cukup dengan retorika kosong. Ada yang lebih mahal dan belum tentu kita semua memilikinya. Yakni, keikhlasan untuk dicaci dan dijadikan kambing hitam oleh orang-orang yang selalu bersiasat jahat.
Kita menjadi mengerti bahwa berdemokrasi bukanlah melahirkan vonis ‘yang benar’ dan ‘yang salah’. Melainkan mempertemukan ‘yang menolak’ dan ‘yang mendukung’ dalam horizon kesepakatan.