Rindu Berat Penonton yang Diwakili Dilan 1990
.

MONITORDAY.COM - Penonton mengantre. Medsos memperbincangkan. Media massa mengulas dari berbagai sudut pandang. Itu menjadi pertanda bahwa animo masyarakat pada sebuah film yang dirilis cukup bagus. Pun pada film Dilan 1990 yang merupakan adaptasi dari sebuah novel laris.
Iqbaal Ramadhan alias Iqbaal CJR yang sudah menjadi idola saat masih berkarir sebagai penyanyi melejit menjadi idola baru di layar lebar. Pun Sasa, panggilan akrab Vanessa Prescilla, yang wajahnya mengingatkan penonton pada Sissy Prisilla. Maklum mereka kakak adik. Dan kakaknya juga menjadi salah satu karakter yang melekat di benak penonton film Indonesia di film Ada Apa Dengan Cinta.
Keraguan para penggemar novel Dilan 1990 pada kemampuan Iqbaal Ramadhan dalam memerankan sosok anak SMU 1990 itu terjawab sudah. Film ini diperbincangkan dimana-mana. Termasuk oleh mereka yang belum pernah baca Novel karya Pigi Baiq itu.
Fajar Bustomi sukses mengadaptasi novel itu. Dengan tantangan berat untuk membuat benang merah dari kisah yang ada novel tebal menjadi film berdurasi 90 menit. Keterlibatan penulis novel dalam mengawal proses adaptasi tentu sangat membantu sutradara dalam menuangkan kisah yang sudah sukses di versi novel ini. Bukan sekedar mendompleng kepopuleran novelnya, sutradara film adaptasi mempunyai beban moral untuk menyampaikannya dalam bahasa gambar.
Tak hanya ekspresi yang terangkum dalam dialog, film ini juga menghadirkan kembali setting Bandung di tahun ’90 an. Mereka yang saat itu masih SMU saat ini mungkin sudah jadi Bapak dan Emak muda. Setting waktu yang mundur hampir dua puluh tahun menjadi sesuatu yang memperkaya imaji dan memori penonton. Disamping penulis kisah ini mungkin memang tahu betul dan mengalami ‘keremajaan’ saat itu.
Pigi Baiq, sang novelis, dalam pengakuannya yang dirilis di berbagai media mengakui bahwa sosok Milea dan karakter yang ada di novelnya nyata adanya. Ini menjadi kekuatan tersendiri dari novel yang memotret kisah romansa anak muda ini.
Remaja yang punya problem di sekolah, dengan orangtua, dan terbelit dalam kasus cinta yang unik tidak selamanya bisa diungkapkan dengan cara dan bahasa yang ‘beda’. Dan Dilan 1990, sebagai sebuah film mampu menjadi cermin anak muda, juga orang tuanya, untuk menangkap cara anak muda bertutur dan mengelola rasa cinta dengan ekspresi yang cuek apa adanya.
Kalau ada penonton yang ingatannya kembali ke Rano Karno dalam film-film remaja legendarisnya kala itu, berarti dia sudah tua.
[MTA]