Deradikalisasi WNI Eks Suriah

Deradikalisasi bukan sekedar basa basi. Perlu dilakukan secara lebih baik dan bermutu. Kita harus siap melakukan deradikalisasi terhadap WNI eks Suriah yang sudah dan yang kelak kembali di negeri ini.

Deradikalisasi WNI Eks Suriah
Ilustrasi foto/Net.

Oleh: Soffa Ihsan

Deradikalisasi bukan sekedar basa basi. Perlu dilakukan secara lebih baik dan bermutu. Kita harus siap melakukan deradikalisasi terhadap WNI eks Suriah yang sudah dan yang kelak kembali di negeri ini.

KASUS ratusan WNI--bahkan ada yang menyebut ribuan—terjerumus ke ‘jalan kesesatan’ di  Suriah akibat bujuk rayu ISIS, di satu titik krusial telah menyadarkan kita untuk kembali menengok apa yang selama ini diprogramkan, yaitu deradikalisasi. Munculnya kasus-kasus teror dan orang-orang yang masih termotivasi untuk menciptakan ketakutan di negeri ini menambah kuat dorongan banyak pihak untuk mengefektifkan program deradikalisasi.

Fakta miris ini makin memacu untuk mengolah dn mengelola kembali program yang selama ini dicanangkan oleh Pemerinth. Terlebih dengan pemulangan WNI di Suriah ke bumi pertiwi. Kendati tak sedikit pihak yang menolak karena dikhawatirkan akan makin menyulut ekstrimisme di negeri kita.

Sebetulnya, ada jalan keluar alternatif, yaitu cukup anak-anak dan mungkin juga perempuan yang dipulangkan. Mereka sudah seharusnya pulang, bukan malah dibiarkan terlantar di negeri yang penuh kekerasan. Mereka masih bisa dipoles untuk diajak mencintai NKRI dengan deradikalisasi secara mumpuni.

Saat ini, memang muncul berderet penelitian yang mengungkap  tumbuhkembangnya radikalisme di masyarakat yang kemudian fakta ini kian menjadi ‘samsak’ menghujamnya pukulan bertubi terhadap deradikalisasi. Sampai-sampai pula, muncul anggapan “deradikalisasi gagal” karena memandang deradikalisasi berjalan secara tidak konsisten dan berkesinambungan.

Menetapkan Ukuran

Ukuran boleh ada, tapi hasil bisa beda. Ungkapan ‘gaul’ yang kerap kita dengar. Seorang Santoso dulu pernah mengikuti program deradikalisasi, tapi kemudian lebih memilih menjadi teroris hingga akhir hayatnya. Abu Tholut yang juga mengikuti deradikalisasi di dalam Lapas, akhirnya sekarang ikut terlibat aktif dalam program deradikalisasi melalui ceramah dan tulisan yang men-counter pikiran radikal terutama ISIS. Seperti juga Sufyan Tsauri, Iqbal Husaini dan Khairul Ghazali yang kini ikut berkiprah dalam deradikalisasi.

Sudah cukup banyak peneliti yang menetapkan ‘ukuran’ terhadap keberhasilan deradikalisasi. Lantas para peneliti ini menyodorkan timbangan yang dipandang memiliki tingkat akurasi memadai. Misalnya saja, ukuran sukses deradikalisasi yang dipaparkan Elaine Pressman (2009), yaitu para napiter dan mantan napiter terlihat sudah mulai menolak terhadap ideologi yang kaku, penolakan terhadap kekerasan,ada bukti mereka melakukan perubahan tujuan-tujuan non-kekerasan, mereka mempunyai motivasi untuk melakukan deradikalisasi, dan adanya  dukungan komunitas dalam proses deradikalisasi.

Ukuran yang ditawarkan ini tidaklah baku. Ini sifatnya hanya sebagai indikator umum saja. Seturut inilah justru melahirkan kesadaran bahwa ukuran keberhasilan deradikalisasi tak bisa tunggal (one size fits all). Keberhasilannya sangat bergantung pada konteks dan latar belakang individu masing-masing, kendati bisa ditarik indikator-indikator umum.

Mafhum bahwa deradikalisasi bertujuan untuk menurunkan ‘tensi’  paham-paham kekerasan yang sudah melekat dan merasuk dalam pikiran. Secara karakter, kelompok radikal selama ini menjadikan kekerasan sebagai cara dan solusi yang niscaya. Dengan adanya deradikalisasi ini digadang-gadang bukan lagi kekerasan yang menjadi titik pijak dan solusi, namun kesadaran dan tindakan untuk mengistimewakan musyawarah dan toleransi tanpa ada unsur kebencian dan kekerasan. Sebab musababnya, bisa karena pemahaman agama yang tidak utuh (syamil), yang kemudian membuat seseorang bertindak kalap (syiddah al-tanathu’). Cara pandang sempit ini akibat kurang baca atau literasi sehingga ‘ gagal paham’  dalam mencerna setiap kejadian.

Dalam program deradikalisasi yang ditekankan adalah kesadaran bersedia berdialog. Mereka diperlakukan layaknya manusia, penghormatan, kesantunan, penuh persaudaraan, serta tidak merendahkan. Dengan begitu, maka deradikalisasi menjadi ‘manhaj’ (metode) untuk merubah seseorang menjadi lebih toleran yang dimulai sejak dalam pikiran. Maka, yang diharapkan adalah tidak akan ada lagi kebencian, dendam kesumat dan kesalahpahaman. Tidak akan ada lagi sikap dan tindakan mudah mengkafirkan orang lain, hanya karena perbedaan pandangan.

Deradikalisasi memang menempuh jalan berliku. Ia tidak simsalabim. Tamsilnya, kita menapaki jalan terjal yang penuh kelok, maka untuk mencapai jalan yang lempang kita juga harus siap kembali menapaki jalan terjal. Nah, begitupun dalam menjalankan deradikalisasi agar bisa mencapai jalan lempang, maka seharusnya siap untuk terus melakukan terobosan dan kreasi pendekatan sembari ‘peremajaan’ sepantar dengan dinamika yang ada baik menyangkut assesment terhadap kondisi yang membuat seseorang menjadi radikal hingga menyesuaikan dengan perkembangan jaman. Intinya, deradikalisasi mencakup aspek kemanusiaan, pendidikan (mengajarkan moderasi), kepedulian sosial dan pemberdayaan secara ekonomi.

Bekerja Senyap

Menangani deradikalisasi butuh kecermatan dalam menelisik varian dan tipologi mereka. Karenanya, ‘tim kombatan’ deradikalisasi perlu berbekal pengetahuan dan pengalaman yang memadai. Mereka harus mampu menaksir, menakar dan menilai seraya memiliki keterampilan komunikasi yang baik. Setiap pertemuan dengan sasaran, mereka harus senantiasa berlaku sabar, santun dan lembut. Mereka menjadi pendengar setia segala keluh kesah. Dalam bekerja ini juga sebenarnya ada kesinambungan baik secara dukungan kebijakan maupun panggilan pribadi. Tak heran, tim banyak menemukan fakta terjadinya jalinan yang baik dengan mantan napiter, keluarga dan jaringannya.

Peran tim deradikalisasi ibarat ‘ghostbuster’, tetapi bukan untuk ‘menghabisi’, melainkan melalui ‘jalan damai’ dengan mendekati dan merangkul sehingga menetaskan kesadaran kebangsaan dan keagamaan moderat. Bila aksi teroris membuat galau masyarakat, maka aksi tim deradikalisasi ini berperan melempangkan jalan menuju rasa aman kepada masyarakat. Pasokan data yang dihasilkan dapat menjadi rujukan untuk melihat peta terorisme berikut jaringannya.

Nah, deradikalisasi bukan sekedar basa basi.  Perlu dilakukan secara lebih baik dan bermutu. Kita harus siap melakukan deradikalisasi terhadap WNI eks Suriah yang sudah dan yang kelak kembali di negeri ini.

*Penulis adalah Marbot pada Lembaga Daulat Bangsa (LDB) dan Rumah Daulat Buku (Rudalku)