Menjadi Guru Masa Depan

Menjadi guru di era disrupsi haruslah memiliki banyak kecakapan. Mulai dari penguasaan ilmu umum, agama, hingga keahlian digital.

Menjadi Guru Masa Depan
Ilustrasi foto/Net

BAGI masyarakat Indonesia pada umumnya, guru merupakan profesi yang sangat dihormati, ada kebanggaan tersendiri jika salah satu anggota keluarga menjadi seorang guru. Karenanya tak heran, bila posisi guru dalam masyarakat disejajarkan dengan kaum bangsawan, di kalangan masyarakat bugis misalnya, ia dikenal dengan sebutan ana’arung.

Sebutan-sebutan ini lahir karena guru dianggap bukan sekadar profesi biasa, melainkan juga sebagai bentuk lain dari pengabdian kepada agama dan negara. Profesi guru dengan demikian sangat tinggi nilainya, dihormati dan disegani.

Sayang, bentuk penghargaan terhadap guru seperti itu sudah jarang diberikan. Karena seiring berubahnya ikatan sosial yang ada di lingkungan masyarakat kita saat ini. Guru menjadi tak lebih dari sekadar pentransfer semua buku pelajaran, atau apa yang disebut guru kurikulum.

Guru yang tak sekadar bertugas untuk melakukan transfer of knowledge bisa dibilang sulit ditemukan. Dalam sebuah artikelnya di Harian Kompas 2017 silam, Rhenald Kasali pernah menyinggung sosok guru yang bisa disebut sebagai guru inspiratif. Yah, namanya adalah Erin Gruwell.

Erin Gruwel adalah seorang guru perempuan yang ditempatkan di sebuah kelas ‘bodoh’, yang murid-muridnya sering terlibat kekerasan antargang.

Erin Gruwell memulai dengan segala kesulitan. Selain katanya "bodoh" dan tidak disiplin, mereka banyak melawan, saling melecehkan, temperamental, dan selalu rusuh. Di pinggang anak-anak SMA ini hanya ada pistol atau kokain. Di luar sekolah mereka saling mengancam dan membunuh.

Itu adalah kelas buangan. Bagi para guru kurikulum, anak-anak supernakal tak boleh disekolahkan bersama distinguished scholars. Tapi Erin Gruwell tak putus asa, ia membuat "kurikulum" sendiri yang bukan berisi aneka ajaran pengetahuan biasa (hard skill), tetapi pengetahuan hidup.

Ia mulai dengan sebuah permainan (line games) dengan menarik sebuah garis merah di lantai, membagi mereka dalam dua kelompok kiri dan kanan. Kalau menjawab "ya" mereka harus mendekati garis. Dimulai dengan beberapa pertanyaan ringan, dari album musik kesayangan sampai keanggotaan geng, kepemilikan narkoba, dan pernah dipenjara atau ada teman yang mati akibat kekerasan antargeng.

Line games menyatukan anak-anak nakal yang tiba-tiba melihat bahwa mereka senasib. Sama-sama waswas, hidup penuh ancaman, curiga kepada kelompok lain dan tak punya masa depan.

Mereka mulai bisa lebih relaks terhadap guru dan teman- temannya serta sepakat saling memperbarui hubungan. Setelah berdamai, guru inspiratif membagikan buku, mulai dari biografi Anne Frank yang menjadi korban kejahatan Nazi sampai buku harian. Anak-anak diminta menulis kisah hidupnya, apa saja. Mereka menulis bebas. Tulisan mereka disatukan, dan diberi judul Freedom Writers. Murid-murid berubah, hidup mereka menjadi lebih baik dan banyak yang menjadi pelaku perubahan di masyarakat. Kisah guru inspiratif dan perubahan yang dialami anak-anak ini didokumentasikan dalam film ‘Freedom Writers’ yang dibintangi Hilary Swank.

Jika ada satu sekolah yang sedikit mirip dengan yang diceritakan dalam “Freedom Writers” tersebut, maka SMK Wikrama mungkin salah satunya. Sekolah ini terletak di Jalan Raya Tajur, Kota Bogor. Lokasinya tak jauh dari Gedung Seameo Biotrop Kemendikbud.

Itasia Dina Sulvianti, guru sekaligus pendiri SMK Wikrama dalam sebuah perbincangan hangat menuturkan, jika perjuangan berat harus dilaluinya. Dia seumpama Erin Gruwell yang selain menghadapi peserta didik dengan beragam karakter, juga mesti berjuang sambil membesarkan anak-anaknya. Tak jarang ia harus naik turun naik tangga dalam keadaan perut besar. Dan itu ia jalani dengan melewati 4 kali kehamilan.

Itasia adalah pendiri, sekaligus juga guru inspirasi. Memiliki pengetahuan yang luas dan daya juang tinggi. Para siswa melihatnya sebagai sosok yang seiya sekata. Itasia adalah teladan tidak saja bagi peserta didik, namun juga guru-guru yang lain. Bagi Itazia, menjadi seorang guru harus memiliki faktosrx di luar skill mengajar, yaitu keikhlasan dan keseriusan. Dan seleksi alamlah yang kelak akan menjadi bukti.

Suatu ketika ada salah satu guru di sekolahnya secara diam-diam mendaftar sebagai pegawai negeri sipil (PNS) dan lolos. Celakanya, jarak antara kepindahan sang guru dengan pelaksanaan ujian nasional ternyata berdekatan. Akhirnya, semua guru dan civitas Wikrama panik luar biasa. kecuali seorang Itazia. Baginya, apa yang dilakukan salah satu gurunya tersebut wajar adanya. “Tidak perlu merasa sedih dan kecewa, cukup nikmati lalu mencari cara untuk mengatasinya,” turunya.

Hasilnya, SMK Wikrama berhasil melahirkan kejar.id. Setali tiga uang, setelah berhasil melahirkan aplikasi belajar dan mengajar online tersebut, SMK Wikrama justru berhasil memenangkan e-learning award dari Pustekom-Kemendikbud RI.

Meski penghargaan demi penghargaan berhasil diraih, namun insan Wikrama selalu mengatakan jika semua yang diraih hanyalah dampak. Yang terpenting adalah bagaimana menjadi insan Wikrama, ‘terutama guru’ teladan, mentor sekaligus pemberi inspirasi.

Menjadi seorang guru memang tak bisa biasa-biasa saja dalam mengajar. Tapi harus selalu menyesuaikan diri dengan perkembangan mutakhir. Jika cara mengajar biasa-biasa saja dan bisa digantikan komputer, maka lebih baik Wikrama memilih komputer.

“Jadi, selama pekerjaan guru itu bisa digantikan komputer, di Wikrama itu sudah kami gantikan, kata Itazia menjelaskan.

Sehingga menjadi guru masa depan adalah guru yang tidak bisa digantikan oleh komputer. Seorang guru harus berkarakter dan memiliki kepekaan hati. Karena pada dasarnya, komputer itu benda mati dan tak memiliki hati. Sementara manusia memili keduanya, hati dan juga kemampuan teknologis.

Menjadi guru di era disrupsi haruslah memiliki banyak kecakapan. Mulai dari penguasaan ilmu umum, agama, hingga keahlian digital. Dalam konteks yang lebih luas, menjadi pendidik atau guru merupakan salah satu langkah dalam membangun peradaban dan mendidik generasi bangsa yang lebih baik dan lebih siap dalam menghadapi perubahan. Begitulah guru seharusnya, bisa digugu dan ditiru.