Politisi PDIP: Bedakan Antara Ujaran Kebencian dengan Kritik

Politisi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Charles Honoris memberi tanggapan terkait adanya ungkapan bahwa hukum menjadi alat politik untuk membungkam oposisi. Ia menegaskan, bahwa siapapun yang melanggar akan ditindak secara hukum, tidak memandang dari kubu mana.

Politisi PDIP: Bedakan Antara Ujaran Kebencian dengan Kritik
politisi partai PDIP, Charles Honoris/net

MONITORDAY.COM – Politikus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Charles Honoris memberi tanggapan terkait adanya ungkapan bahwa hukum menjadi alat politik untuk membungkam oposisi. Ia menegaskan, bahwa siapapun yang melanggar akan ditindak secara hukum, tidak memandang dari kubu mana.

Charles mengatakan, para pelanggar yang terjerat hukum kebanyakan karena kasus fitnah dan ujaran kebencian. Ia menegaskan bahwa beda antara kritik dengan fitnah. Hal ini jangan sampai disalah artikan, sebagai  pemerintah anti kritik.

“Harus dibedakan antara mengkritik dengan memfitnah, menyebar hoaks, menghasut, dan mengujarkan kebencian. Mengkritik jelas tidak melanggar hukum. Siapapun yang  melakukannya akan ditindak polisi. Tanpa penduli mereka dari kubu manapun," ujar  Charles, dalam keterangan tertulis, Rabu (29/5).

Charles menegaskan, justru sikap dari presiden Jokowi sama sekali tidak mencerminkan sebagai pemimpin yang anti kritik.

“Mungkin karena Jokowi berasal dari kalangan orang biasa, jadi kadar sensitivitasnya terhadap kritik bahkan terlalu rendah, jika dibanding pemimpin lain dari kalangan elite yang suka cepat tersinggung, sebentar-bentar marah dan menggebrak meja,” ujarnya.

Charles menjelaskan, bahwa memfitnah, menyebar hoaks, menghasut dan mengujarkan kebencian, menurutnya adalah pelanggaran hukum yang sudah diatur sejumlah undang-undang, seperti KUHP, UU ITE, UU Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis.

Namun saat ini, lanjut Charles, kubu 02 diindikasi berniat mengaburkan pandangan masyarakat terhadap tentang apa yang melanggar hukum dan tidak. Seolah-olah hoaks, fitnah, dan penghasutan hanyalah sebatas kritik.

Ia mencontohkan seperti kasus Eggi Sudjana yang kedapatan menghasut para pendukung 02 untuk melakukan keonaran dan menabrak ketentuan-ketentuan hukum. Serta  kasus Mustofa Nahrawardaya yang ditangkap setelah sekian banyak menyebar hoaks.

Charles pun mengingatkan agar politikus jangan sekali-kali mengaburkan berbagai pelanggaran hukum dengan satu kata bernama kritik. Ia menegaskan, Jangan hanya karena alasan politik, pelanggaran hukum berupa hoaks, fitnah, penghasutan dan ujaran kebencian direduksi dan disebut sebagai sekadar kritik.