Politik Balas Budi dan Menagih Budi Politik
Politik Balas Budi hingga hari ini masih memainkan fungsinya. Namun, apa dan bagaimana jadinya jika Politik yang berbudi itu tak berbalas? Pantaskah kita untuk menagihnya?

ADA ubi ada talas, ada budi ada balas. Begitu adagium yang tepat menggambarkan genialogi politik di Tanah Air kita. Peristiwa semacam itu sudah dianggap lumrah dan sudah menjadi tipikal para politisi +62 hari ini. Politik balas budi namanya.
Jika aku beri kau 'sesuatu', maka kau juga harus beri aku 'sesuatu'. Sehingga muncul istilah apa yang disebut sebagai "Take and give", alias 'situ memberi, sini menerima' dan juga sebaliknya, begitu pula seterusnya.
Untuk membuktikan fenomena itu, sangatlah mudah. Orang yang punya peran krusial (sebut saja Timses) dalam mengkampanyekan salah seorang kandidat dalam kontestasi politik, tentu sudah lebih dulu 'teken kontrak alias hitam di atas putih untuk dijanjikan posisi atau kedudukan.
Maka tak heran jika Timses selalu 'berdarah-darah' untuk memperjuangkan kandidatnya agar menjadi pemenang. Ia siap dicerca, dimaki, difitnah, dan diserang dari berbagai macam penjuru demi melindungi kandidat politiknya tersebut.
Karena itu, Ketua Timses atau sejenisnya sejatinya adalah orang-orang pilihan. Mereka tak sembarangan dipilih. Mereka tentu memiliki kapasitas dan kemampuan dalam hal jual-beli serangan dalam kontestasi politik.
Selain memiliki kemampuan berargumen, biasanya mereka juga memiliki kelihaian dalam bersilat lidah, alias punya sense of "ngeles" tingkat tinggi. Biasanya orang-orang yang seperti ini diundang untuk meramaikan debat kusir di layar kaca.
Tapi tak semua begitu. Masih banyak dari mereka yang tergolong elegan dan profesional. Memainkan perannya sebagai mana mestinya, yakni sebagai 'corong' visi dan misi serta gagasan para kandidat calon politiknya.
Istilah "Politik Balas Budi" ini sebenarnya muncul pada masa kolonial di abad 20. Dalam bahasa Belanda disebut dengan "Etische Politiek" alias Politik Etis, yang dalam konteks itu diartikan sebagai suatu pemikiran yang menyatakan bahwa pemerintah kolonial memegang tanggung jawab moral bagi kesejahteraan bumiputera (masyarakat Indonesia).
Politik etis menjadi senjata ampuh bagi Belanda, berbekal modus "Pendidikan" para priyayi dan anak pribumi pun akhirnya merasakan pendidikan moderen ala barat. Pendidikan dalam konteks ini tidak semata mencerdaskan, namun pendidikan ada karena kebutuhan tenaga birokrasi kolonial. Akibatnya, terjadilah penataan kelas sosial baru dalam strukutur sosial masyarakat Hindia Belanda yang dulunya golongan sosial hanya terbagi dua yakni kaum priyayi dan rakyat jelata.
Nah, jika pada zaman kolonial Belanda ada Politik Etis, sekarang ini di Indonesia ada yang namanya, Politik Balas Budi. Kedua istilah ini sama saja arti dan maknanya hanya saja dalam konteks politik yang berbeda.
Sebut saja misalnya, beberapa Menteri dalam pemerintahan Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Ma'ruf Amin yang diberi nama Kabinet Indonesia Maju. Nyaris semua Menteri didominasi oleh Timses yang memperjuangkan kemenangan Jokowi-Ma'ruf dalam kontestasi Pilpres 2019 lalu. Kebanyakan dari mereka memiliki latar belakang partai pengusung dan pendukung Presiden Jokowi.
Tentu saja hal itu sah-sah saja. Dan tak ada yang salah. Apalagi Jokowi telah menyisakan 2 (dua) jatah Menteri yang kini diduduki oleh mantan "lawan". Terlepas dari misi mulia Jokowi, hal itu tentu menjadi poin plus dari sejarah politik di Indonesia. Dan menjadi preseden yang baik juga untuk dinamika politik ke depannya.
Terlepas dari itu, kita menyoroti bagaimana Politik Balas Budi hingga hari ini masih memainkan fungsinya. Lalu timbul pertanyaan dibenak kita, lantas apa dan bagaimana jadinya jika Politik yang berbudi itu tak berbalas? Pantaskah kita untuk menagihnya?
Sebagai orang yang gemar berselancar di platform media sosial, penulis terhenyak melihat cuitan yang beredar di jagat twitter yang menampilkan tangkapan layar (screenshot) tulisan WA seorang Pendiri lembaga survei terkemuka di Indonesia, yakni Denny JA kepada Luhut Binsar Panjaitan yang menagih posisi atau kedudukan yang dijanjikan kepadanya.
Komandan, Pak Luhut yang baik
Semoga tahun baru membawa berkah baru.
FOLLOW UP yang sudah kita diskusikan tempo hari. Masih adakah kemungkinan dan kabar soal kemungkinan saya menjadi komisaris di Inalum?
Sudah ada jawaban dari Erick Tohir?
Saya cepat belajar dan get things done.
Banyak yang bisa saya kerjakan di sana, untuk mengeksplor soal tambang kita, menarik investasi, termasuk mensumulasi kepala daerah wilayah tambang, yg banyak juga sudah saya menangkan selama di LSI.
Komandan dapat meyakinkan Erick Tohir atau Jokowi, saya bisa membantu komandan soal investasi soal tambang, di posisi komisaris. Terbukti pula saya sudah berhasil membantu komandan ikut memenangkan Jokowi dua kali: 2014; 2019.
Sangat ditunggu arahan pak Luhut berikutnya
Denny JA
Di grup Tokoh Nasional
Jam 07:08 wib, 14/1/2020
Dalam akun @IwanSumule86 yang dicuit pada Selasa malam (14/01/20), pemilik akun tersebut menuliskan pendapatnya tentang konteks permintaan itu sambil mengkaitkan dengan kasus OTT komisioner KPU. Dalam cuitannya, @IwanSumele86 juga menyertakan hasil screenshot WA Denny JA.
"Nyasarnya "WA" pemilik lembaga surpay ternama kpd Menko, tanda adanya rekayasa surpay di pilpres lalu.
Pemilik surpay menuntut jabatan sebagai balas jasa menangkan pilpres.
Suap kpd komisioner @KPU_RI pun tanda adanya kecurangan di pemilu lalu.
Iya gak sih? #TangkapHastoPDIP,"
Demikian bunyi cuitan tweet yang diunggah pada 23:55 WIB. Tweet tersebut kini sudah diretweet oleh 1.349 dan disukai 2.028 netizen.
Terkait benar atau tidaknya percakapan WA tersebut, semua dikembalikan kepada penguasa jagat maya, dalam hal ini Netizen yang terhormat. Waktu dan tempat dipersilahkan!
Namun yang pasti Politik Balas Budi memiliki 2 (dua) sisi sekaligus. Di satu sisi dapat melenakan disisi lain dapat menggalaukan.