Polemik RUU Anti-Terorisme dan Kemanusiaan Kita
RUU Anti-Terorisme yang telah masuk tahap akhir pembahasan kembali mentah karena adanya usulan Panglima TNI.

MONDAYREVIEW.COM – Revisi Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme yang tengah dibahas Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sesungguhnya telah masuk tahap akhir. Bila tak ada aral melintang, RUU ini malahan bisa selesai dalam masa sidang ini.
Salah satu anggota Panitia Khusus RUU Anti-Terorisme DPR Bobby Adhityo Rizaldi mengatakan, RUU ini bisa selesai dalam masa sidang ini apabila sudah ada kesepakatan dari pemerintah soal pelibatan TNI.
"Untuk RUU ini bisa diselesaikan segera, dan bolanya ada di pemerintah," kata Bobby dalam keterangan tertulisnya, Senin (29/1/2018).
Adalah Fadly Zon yang akan sumringah, andai saja RUU ini segera disahkan DPR. Pasalnya, dialah yang sejak awal, menyebut bila komposisi pansus revisi UU no.15 tahun 2003 itu akan sangat pas ditangani oleh pansus yang dilantiknya.
"Pansus RUU Terorisme diketuai Pak M. Syafi'i dari Gerindra, Wakil Ketua Hanafi Rais dari PAN, Syaiful Bahri Ansori dari PKB, dan Supiyadin dari Nasdem," kata Fadli, Senin (18/4).
Dia menilai komposisi Pimpinan Pansus sudah pas karena ada perpaduan antara Komisi I dan Komisi III DPR sehingga bisa segera mulai bekerja. Menurut dia, ada beberapa hal yang harus diperhatikan dalam kerja Pansus tersebut yaitu pencegahan terorisme bukan hanya sekedar penindakan.
"Jangan jadi negara yang menggunakan pendekatan keamanan (dalam memberantas terorisme) seperti masa lalu," ujarnya.
Fadli mengatakan ada koridor pendekatan HAM dalam upaya pencegahan terorisme sehingga kasus tewasnya terduga teroris, Siyono terulang kembali. Dia menjelaskan ada praduga tidak bersalah dalam upaya pemberantasan terorisme sehingga siapapun harus dihargai hak-hak hukumnya.
"Siapapun harus dihargai hak-hak hukumnya termasuk terduga terorisme," katanya.
Usulan Para Jenderal
Hingga akhirnya, tiba-tiba saja Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto mengirim surat edaran soal rumusan peran TNI dalam RUU Terorisme.
Surat itu tertanggal 8 Januari 2018. Berkop Panglima TNI dan bernomor B/91/I/2018 perihal 'Saran Rumusan Peran TNI'. Surat itu ditandatangani Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto dan dikirim ke Ketua Pansus RUU Terorisme, tembusan ke Ketua DPR, Menko Polhukam, Menhan, dan Dirjen Peraturan Perundang-undangan.
Muatan surat itu adalah usulan-usulan TNI, dari soal usulan penggantian nama RUU, definisi terorisme, hingga perumusan tugas TNI.
Poin pertama, TNI ingin judul RUU 'Pemberantasan Aksi Terorisme' diganti menjadi 'Penanggulangan Tindak Pidana Terorisme'. Soalnya, makna 'pemberantasan' bersifat reaktif saja. Padahal yang paling penting adalah proaktif yang dapat menjerat pelaku aksi pada tahap perencanaan dan tidak perlu menunggu terjadinya aksi beserta akibatnya.
Poin kedua, TNI mengusulkan agar definisi terorisme mengandung pengertian kejahatan yang mengancam negara.
"Terorisme adalah kejahatan terhadap negara yang mengancam ideologi negara, kedaulatan negara, keutuhan wilayah negara, keamanan negara, dan keselamatan segenap bangsa yang memiliki tujuan politik dan/atau motif lainnya, yang dilakukan oleh perorangan atau kelompok terorganisir, bersifat nasional dan/atau internasional," demikian tertulis dalam surat itu.
Poin ketiga, TNI mengusulkan perumusan tugas TNI. Tugas TNI itu masuk batang tubuh RUU Pasal 43H. Di situ dituliskan tugas TNI mengatasi aksi terorisme adalah bagian dari operasi militer selain perang. TNI mengatasi aksi terorisme lewat langkah pencegahan, penindakan, dan pemulihan, berkoordinasi dengan BNPT dan/atau kementerian/lembaga terkait.
Usulan Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto agar TNI dilibatkan dalam revisi UU No.15/2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme pun menuai perdebatan.
Pasalnya, usulan tersebut dianggap akan menghambat proses revisi RUU tersebut. Usulan itu bahkan dianggap akan kembali ke titik nol, lantaran Panglima TNI juga mengusulkan adanya perubahan nama RUU tersebut.
Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly lalu buka suara dan menyatakan dirinya tidak sepakat dengan usulan Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto terkait RUU Anti-Terorisme. Menurut Yasonna, perubahan judul undang-undang akan membuat waktu pembahasan revisi di DPR menjadi lebih lama.
Dengan menghilangkan kata tindak pidana, maka pemerintah harus menyusun naskah akademik baru. "Kalau merevisi judul harus buat naskah akademik baru. Nanti akhirnya tidak jadi-jadi," kata Yasonna.
Lain lagi dengan Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu, yang menyatakan bahwa keputusan itu harus dipertimbangkan dan melihat fakta yang ada, Bahwa terorisme sudah menjadi ancaman bagi NKRI.
“Kalau itu masalah teroris, teroris itu, ada yang masalah kriminal, tapi kalau sudah menyangkut gerakan separatis itukan, mau keluar dari NKRI, berarti masalah keutuhan negara, itu tugas tentara, tentu dikung polisi.” ujar Menhan, senin (29/01), di gedung DPR, Senayan, Jakarta.
Menhan juga menegaskan bahwa teroris juga ada yang tidak setuju dengan Pancasila, berarti ingin mengubah Ideologi Pancasila.
“Mereka ada yang tidak setuju dengan Pancasia, dan itu sudah masalah teroris, itu akan mengubah ideologi pancasila. itu kan tidak setuju tuh dengan Pancasila, artinya berhadapan lagi dengan TNI.” Tegasnya.
Karenanya, Menhan setuju untuk melibatkan TNI dalam penanggulangan terorisme, dan usulan panglima merupakan hal yang bisa dibenarkan.
“Tepat dong, tapi ada yang cuma urusan kamtibnas. Tapi kalau sudah mempunyai alat perang, bom, bomkan alat perang, yang menanganinya yah harus pasukan perang.” Tandasnya.
Pendekatan ‘HAM’
Bagi siapa dan dimanapun, persoalan terorisme adalah nyata adanya. Ia adalah musuh bersama yang harus sama-sama dihadapi. Namun ada benarnya bila kita fokus pada isu kemanusiaan yang mesti ada dalam pembahasan RUU ini. Karena beberapa tindakan radikal yang terjadi di Indonesia sesungguhnya tidak bisa langsung dicap sebagai tindakan terorisme. Apalagi bila melihat akar katanya, radikal ataupun militant tidaklah negatif. Begitu kata Ketua PP Muhammadiyah Dr. Haedar Nashir.
Betul bahwa, peristiwa bom ataupun aksis terorisme lainnya telah menimbulkan banyak korban, namun tak dapat disangsikan juga bila cara kita menangani terorisme ataupun cara beberapa media memberitakan aksi terorisme telah menyebabkan kalangan Islam mengalami apa yang disebut Jacques Lacan sebagai problem identitas.
Dalam bahasa lain, akibat cara penanganan dan bagaimana pemberitaan tentang aksi terorisme, umat Islam saat ini seolah dipaksa untuk melakukan identifikasi diri, subjektivikasi dan bercermin dalam cermin eksistensi (the mirror stage). Identifikasi diri menuju Islam yang ‘sebenarnya’, menuju Islam yang baik dan Islam yang tradisional.
Kulminasinya, kebanyakan dari kita mulai mengait-ngaitkan aksi terorisme dengan kelompok islam tertentu. Adapula yang mengira bila orang yang memakai gamis, jidat hitam, celana cingkrang dan berjenggot itu adalah teroris, karenanya mesti diwaspadai. Celakanya, yang muncul justru sinisme yang berlebih; dimanapun entah di KRL atau pusat perbelanjaan, orang malah menjadi sinis dan ketakutan bila melihat sosok dengan ciri-ciri tadi.
Mantan Napi Terorisme Ali Fauzi memandang pentingnya sikap manusiawi aparat kepolisian dalam menangani semua pelaku kejahatan termasuk pelaku kejahatan terror. Sikap manusiawi tersebut bukan tidak mungkin akan dapat mengubah perilaku para peneror.
“Salah satu hal yang juga membuat saya sadar adalah sikap polisi yang memanusiakan saya saat dan setelah melakukan penangkapan terhadap saya,” kata Ali Fauzi pada pendidikan singkat Penguatan Perspektif Korban dalam Peliputan Isu Terorisme bagi Insan Media yang diinisiasi Aliansi Indonesia Damai dan Yayasan Penyintas Indonesia (YPI) di Menteng, Jakarta Pusat, Rabu (25/5/2016).
Karena itu, menjadi penting sebetulnya untuk kembali pada semangat awal dibentuknya Pansus RUU Anti-Terorisme, bahwa ada koridor pendekatan HAM dalam upaya pencegahan terorisme sehingga kasus tewasnya terduga teroris, Siyono terulang kembali.
[Mrf]