Pesantren sebagai Rumah Dakwah Islam

MONITORDAY.COM - Sugarda Purwakaraja bilang bahwa pesantren secara bahasa berasal dari kata santri, pesantrian yang diberi awalan pe- dan akhiran –an yang berarti tempat bermukim dan belajarnya para santri.
Ternyata kata ‘santri’ didefinisikan dengan banyak intepretasi. Kata M Habib Musthofo, istilah santri berasal dari bahasa Sanskerta, “shastri” yang memiliki akar kata yang sama dengan kata sastra yang berarti kitab suci, agama dan pengetahuan. Artinya santri itu bisa membaca dan melek huruf.
Dalam buku Bilik-bilik Pesantren: Sebuah Potret Perjalanan, Cak Nur (Nurcholis Majid) menuliskan bahwa kata santri bisa jadi berasal dari bahasa jawa, “cantrik” yang berarti orang yang selalu mengikuti gurunya.
Cantrik juga diartikan sebagai para pembantu begawan atau orang suci/mulia. Seorang cantrik dikasih upah berupa ilmu pengetahuan oleh orang suci tersebut. Tidak jauh beda dengan seorang santri yang ngabdi di pesantren, sebagai upahnya, kiyai atau ketua pondok pesantren ngasih ilmu atau tunjangan untuk santri.
Dan yang lebih menarik, ada yang mengaitkan kata santri dengan bahasa inggris, yaitu “sun” dan “three” yang artinya tiga matahari. Menurut Aris Adhi Laksono, tiga matahari itu maksudnya tiga rukun dalam islam, yaitu rukun islam, rukun iman, dan rukun ihsan. Artinya santri itu memahami dan menjalankan tiga matahari islam.
Sedangkan Buya Abdullah Dimyathi, seorang ulama Banten berpendapat bahwa santri berasal dari bahasa arab yang diakronimkan, santri terdiri dari huruf sin, nun, ta, dan ra. Huruf sin itu satrul ‘auroh artinya seorang santri identik dengan menutup aurat dan aib-aib. Selanjutnya huruf nun, naaibul ‘ulama artinya wakil atau pengganti para ulama, seorang santri diproyeksikan akan menjadi wakil dari ulama dalam menyampaikan ilmu agama.
Lalu huruf ta, tarkul ma’aashi artinya seorang santri harus meninggalkan segala bentuk kemaksiatan. Dan yang terakhir huruf ra, raaisul ummah artinya seorang santri harus menjadi pemimpin umat, teladan bagi umat islam sebagaimana yang dilakukan Rasulullah SAW.
Terlepas dari semua definisi di atas, intinya santri memiliki tanggungjawab besar terhadap agama. Mereka merupakan bibit-bibit pemimpin masa depan islam yang harus mampu mengais ilmu dan menyebarkannya sebagai bentuk pengabdian terhadap agama. Mereka dituntut menjadi wajah terdepan islam setelah ulama.
Eksistensi budaya nyantri nyatanya sudah terjadi sejak zaman Rasulullah SAW. Tentu kita tidak lupa dengan Daar Al-Arqam, rumah pertama dakwah islam milik seorang sahabat bernama Al-Arqam bin Abu Arqam. Rumah ini oleh Rasulullah difungsikan sebagai tempat kaderisasi, dengan assabiqunal awwalun, orang-orang yang pertama masuk islam sebagai santrinya.
Rumah Al-Arqam ini letaknya persis di bukit Sofa. Al-Arqam adalah orang urutan ke-17 yang masuk islam, umurnya saat itu masih 17 tahun dan ia sudah menjadi pengusaha sukses.
Ada sekitar 40 orang yang menjadi santri di pesantren Al-Arqam, 80% diantaranya adalah pengusaha kaya. Sebut saja, Abu Bakar, Abdurrahman bin ‘Auf, Utsman bin Affan, Thalhah bin Ubaidillah, dsb. Sebagai santri, tentunya para pengusaha kaya ini dididik agar selalu membawa nilai-nilai islam dalam setiap aktivitas pekerjaannya.
Utsman bin Affan saat melakukan ekspor dan impor dari Mekah ke Madinah ataupun sebaliknya, diketahui tidak pernah meninggalkan shalat tahajud dan khatam Al-Quran. Abdurrahman bin Auf bahkan rela meninggalkan seluruh hartanya di Mekah demi memperjuangkan Islam dan hijrah ke Madinah.
Keempat 40 orang santri Rasulullah kemudian mengabdi pada agama dengan ikut berperang, berdakwah dan berhijrah hingga tersebarlah islam di seantero jazirah arab, sebelum akhirnya menyebar ke seluruh dunia. Kita bisa lihat betapa besarnya dampak dari pendidikan Rasulullah yang beliau lakukan di rumah dakwah Al-Arqam.
Tidak sampai disana, budaya pendidikan pesantren terus menjadi tren hingga masa Dinasti Umayah, dimana halaqah-halaqah keilmuan mulai berdiri. Kemudian berlanjut sampai Dinasti Abbasiyah, dimana Baitul Hikmah menjadi pusat peradaban islam. Dan akhirnya lahirlah ulama dan ilmuwan islam, seperti Imam Ghozali, Ibnu Sina, Al-Khawarizmi, Ibnu Firnas, Imam Al-Zahrawi, dsb.
Di Indonesia sendiri, pesantren pertama kali berdiri dan menjamur di pulau jawa. Konon katanya, karena kesembilan walisongo menyebar di jawa, sehingga pesantren tumbuh subur disana. Dan fakta membenarkan hal tersebut, menurut statistik data pondok pesantren kemenag, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Banten merupakan provinsi dengan jumlah pesantren terbanyak.
Pesantren sejak dulu sudah menjadi daftar pilihan favorit pendidikan orangtua bagi anaknya. Bagaimana tidak? Jika kita merunut dari sejarahnya, pesantren berpengaruh besar terhadap individu, seperti generasi assabiqunal awwalun di zaman Rasulullah.
Ulama-ulama besar berpengaruh juga diketahui mencicipi berbagai model pesantren. Seperti Buya Hamka yang belajar agama dari padang sampai Mesir. Sehingga tidak ada keraguan bagi orangtua untuk menyekolahkan anaknya di pesantren.
Pesantren bukan sekadar lembaga pendidikan formal yang mengadakan ujian dan memberikan nilai rapor. Pesantren menembus batas dunia, tidak hanya mengajarkan kurikulum ilmu umum, tapi juga ilmu akhirat.
Dan yang paling mengesankan, pesantren menjadi basis dakwah islam. Dimana para santri belajar ilmu agama dan praktiknya. Juga belajar bagaimana menjadi muslim sejati yang menjalakan islam secara kaffah atau utuh.
Pesantren sebagai rumah dakwah islam, diharapkan bisa menjadi pusat peradaban dan perbaikan moral. Menjalani profesi apapun nantinya, seorang santri harus menunjukkan wajah akhlak islam dan harus mampu membawa nilai dakwah islam dalam aktifitasnya.