Peran Penting Ulama bagi Presiden Jokowi
Langkah Presiden Jokowi merangkul segenap ulama nusantara bahkan dunia, menemukan signifikansinya.

DI TENGAH, isu kekerasan dan terorisme yang kembali menyeruak, lalu upaya mainstreaming Washatiyah Islam, peran ulama diyakini kian vital sebagai pilar yang akan mampu menjaga perdamian dan nilai-nilai kebangsaan kita sebagai Indonesia. Karena itu, langkah Presiden Jokowi merangkul segenap ulama nusantara bahkan dunia, menemukan signifikansinya.
Apalagi bila dalam perkembangannya, para ulama bisa mengemas dan menyuguhkan agama sebagai ajaran perdamaian, kerukunan, dan anti kekerasan. Namun sebaliknya,jika ulama malah meracik dan menghidangkan agama kepada ummat sebagai ajaran penuh kebencian dan kekerasan maka peran itu pun menjadi negatif.
Saat membuka Konferensi Ulama Trilateral Indonesia-Afghanistan-Pakistan, Presiden Joko Widodo sempat menyinggung perihal peran ulama yang amat penting dalam proses perdamaian dengan cara membangun optimisme umat atas peristiwa yang menimpa sebuah bangsa.
Jokowi lalu mencontohkan bagaimana kemudian proses perdamaian di Afghanistan tak lepas dari peran ulama di dalamnya. Indonesia, kata Jokowi, tentu selalu mendukung penuh peran ulama di Afghanistan.
“Kami tahu, jalan menuju perdamaian tidaklah mudah. Namun sebagai orang beriman, kami juga yakin pertolongan Allah itu sangat dekat. Kami tidak boleh putus harapan apalagi putus asa. Disini saya kira peran kunci para ulama dalam menjaga momentum dan optimisme umat akan perdamaian,” jelas Jokowi di Istana Bogor, Jum’at (11/5).
Jokowi menjelaskan, bila ulama merupakan sosok ideal lantaran didengar, dituruti, menjadi teladan bagi umat, serta memiliki otoritas untuk membentuk wajah umat.
“Tidak dapat dipungkiri, ini adalah tugas berat sekaligus tugas yang mulia bagi para ulama. Untuk itulah saya kembali menyerukan, mari kita niatkan ini semata hanya untuk meraih ridho Allah,” tutur Jokowi.
Disinilah pentingnya, ummat Islam Indonesia satu sama lain jangan lagi menjadi saling curiga. Masing-masing kelompok baik agama, sosial atau politik secara ketat melakukan penjagaan atas isu dan ancaman kekerasan atau bahkan terrorisme. Para Ustadz, Kyai dan penggiat dakwah Islam pun jangan lagi terpenjara di balik sangkar besinya. Kehilangan kepercayaan dan haknya selaku pemilik otoritas tafsir kehidupan beragama, sosial dan politik ummat.
Jangan sampai, pemuka agama mengalami krisis legitimasi. Dimana terjadi ketimpangan antara kebutuhan akan motif-motif yang dikukuhkan oleh agama, dan sistem-sistem lainnya (sosial-politk dan ekonomi).
Jangan sampai pula, untuk memenuhi kebutuhan asupan nutrisi agama dan meredam rasa haus akan spiritualitasnya, ummat pada akhirnya beralih pada model dakwah instant media massa, dengan tanpa mempedulikan syarat otoritas pendakwah seperti yag disebut Muhammad Abduh dan Rhasyid Ridha dalam tafsir Almanarnya (Rasyid, VI: 27).
Fenomena ini kemudian membuat umat Islam semakin hari semakin jauh dari nilai-nilai luhur Islam itu sendiri. Ini lantaran dakwah instant media massa, belum dapat dijamin otoritas dan keterlepasannya dari kuasa modal dan budaya populer. Keabsahan dakwahnya masih sering diperdebatkan. Ada pula kesan bahwa, para pendakwah di media terkadang melakukan apa yang tersirat dalam satu bait syair Al-Bushairi dalam Qashidah Burdah,”jangan kaularang satu kelakuan lalu berbuat yang sepertinya Aib padamu begitu besar sekali.”
Terakhir, mari kita mulai membangun kesadaran dengan spirit transformasi berdakwah, dari pemahaman yang sempit menuju pandangan yang terbuka, humanis, santun, dan tentu saja religius. Stigma negatif atas umat Islam hanya bisa diatasi jika masing-masing kelompok mampu bersikap ramah satu sama lain. Perdebatan tentang mana yang sesat dan mana yang paling benar hanya akan membuat kita letih sehingga persoalan umat yang lebih besar, yaitu penindasan, kemiskinan, dan keterbelakangan menjadi terabaikan. Agama harus dijadikan spirit bagi kita dalam memperjuangkan perdamian dan nilai-nilai kemanusiaan menuju Islam yang berkemajuan.
[Mrf]