Pentingnya Pengawasan Orangtua Saat BDR
Saat menggunakan internet itulah, peserta didik secara tidak sadar dituntun oleh algoritma.

SETELAH hampir 1 abad lamanya, ide soal gudang penyimpanan pengetahuan dunia mengubah banyak hal di dunia (internet). Lalu, sampailah kini, kita di tengah serpihan alur algoritma di dalam internet.
Apalagi di masa pandemi Covid-19, saat kegiatan belajar mengajar dilakukan di rumah atau BDR. Internet menjadi infrastruktur utama yang menunjang kelancaran proses belajar mengajar. Minimnya akses internet bagi para peserta didik, maka sudah dapat dipastikan BDR mengalami hambatan.
Saat menggunakan internet itulah, peserta didik secara tidak sadar dituntun oleh algoritma. Terutama saat pengguna melakukan pencarian data dan sebagainya, algoritma pun terbentuk dan menciptakan alur baru.
Betapapun algoritma merupakan kunci dari semua perubahan mutakhir yang saat ini terjadi, dan banyak orang yang berkelakar ‘apa yang terjadi jika di dunia ini tidak ada algoritma’, tapi tetap saja memiliki sisi lain yang disebut Irene Taylor sebagai sudut gelap dunia maya.
Algoritma secara tak langsung berkontribusi menciptakan apa yang disebut sebagai echo-chamber (ruang gema). Kondisi dimana seseorang menerima informasi, ide dan gagasan homogen secara berkala. Algoritma pun membuat filter sehingga pandangan lain tidak dapat masuk dalam ‘ruang’ itu.
Lebih lanjut, algoritma memungkinkan user meraih informasi sesuai riwayat penggunaannya, secara perlahan tapi pasti informasi yang dipasok disesuaikan dengan preferensi yang dikehendaki. Sementara yang tak sesuai akan tersingkir dengan sendirinya.
Pernah kah kita bertanya dan mencari tahu, kenapa Feed Facebook atau timline media sosial selalu berbeda satu sama lain dan seolah mengerti apa yang ada di kepala kita? Jawabannya adalah algoritma.
Sekarang mari bayangkan, bagaimana jika anak-anak kita masuk ke dalam browser lalu bergerak berdasarkan alur algoritma itu. Bukankah anak-anak kita tersebut akan diarahkan pada sesuatu yang homogen itu. Lalu ketika ia mulai suka, informasi serupa pun mulai dipasok. Lalu lambat laun, kepalanya penuh dengan informasi tersebut dan puncaknya karakter anak pun akan mulai terbentuk.
Haidar Bagir adalah Ketua Yayasan Lazuardi. Lulusan Harvad University dan banyak berkecimpung dalam dunia pendidikan. Dalam diskusi santai yang dihelat di ruang kerjanya, di Jakarta Selatan (25/2/2020), dia mengisahkan ada seorang anak di Brazil yang awalnya hanya ingin belajar alat musik (gitar). Singkat cerita, kata Haidar, si anak pun berselancar di internet dan menemukan tutorial yang disampaikan seseorang yang ternyata berpikiran radikal. Tanpa disadari apa yang disampaikan si pengajar tersebut masuk dalam otaknya, dan mempengaruhinya berlaku radikal. Tak lama kemudian, kata Haidar, terror pun terjadi.
Haidar menjelaskan, jika setiap hal selalu ada baik dan buruknya, termasuk algoritma. Baginya, persoalan algoritma ini adalah persoalan daya kritis. Jika orang terlalu berhubungan dengan gadget maka ia kan masuk dalam browser dan terjebak dalam serpihan alur algoritma.
“Kalau kita nonton Youtube, nanti kita akan disarankan ini dan itu. Akibatnya privasi hilang, dan kita didikte oleh algoritma”, ujarnya.
Algoritma dan internet secara lebih luas sejatinya, menurut haidar, memisahkan interaksi kita dengan alam. Algoritma dan internet telah merampas dan menghilangkan spiritualitas. Mengurangi waktu bersosialisasi dengan masyarakat.
Menurut Haidar, screen time pada anak-anak kita harus dibatasi. Lebih lanjut kata Haidar, jika di sekolah sudah pegang komputer, maka di rumah diminimalisasi. “Jangan di rumah pegang gadget, di sekolah dikasih gadget lagi, jadi kepala dia penuh karena gadget,” sarannya.
Oleh karena itu, American Academy of Pediatrics (APP) tidak merekomendasikan penggunaan media pada anak kurang dari 2 tahun. Di masa itu, anak sedang mengalami perkembangan kognitif, bahasa, sensorik-motorik dan kemampuan emosionalnya.
Sementara untuk anak yang berusia lebih dari 2 tahun, maka APP menganjurkan screen time mereka tidak lebih dari 2 jam setiap harinya. Karena makin banyak waktu dihabiskan di dunia maya, makin besar peluang anak terpapar materi yang tak sesuai dengan usianya. Jika tak diberi batasan, mereka dengan cepat akan mengalami adiksi terhadap internet dan terjebak dalam sudut gelap di dunia maya.