Pemerintah Dinilai Perlu Terapkan Deteksi Dini Intoleransi
.

MONITORDAY.COM - Dalam waktu berdekatan, setidaknya dua kasus intimidasi dan kekerasan dialami tokoh agama. Minggu (10/2), seorang remaja menyerang jemaat dan seorang pendeta di Gereja Santa Lidwina Sleman, Yogyakarta. Sabtu (9/2), sebuah video penolakan seorang biksu bernama Mulyanto di Legok Tangerang, Banten, menyebar massal di media sosial.
Akhir Januari, Pengasuh Pesantren Al Hidayah Cicalengka, Bandung, KH. Umar Basri juga mengalami penganiayaan dari seorang lelaki paruh baya. Bahkan, Komandan Brigade Persatuan Islam (Persis) Bandung, Ustad Prawoto harus meregang nyawa di tangan seseorang yang diduga 'gila'.
Terkait hal ini, Wahid Foundation mengutuk setiap tindakan kekerasan dan intimidasi kepada siapapun atas dasar apapun. Kekerasan semacam ini dinilai bukan kondisi yang mewakili wajah masyarakat umum Indonesia.
Oleh sebab itu, Wahid Foundation menyatakan Pemerintah perlu menerapkan sistem deteksi dini penanganan kekerasan dan intoleransi. Hal itu termasuk ujaran kebencencian, yang kemungkinan bakal meningkat menjelang dan selama masa-masa Pilkada serentak di Indonesia.
"(Kami) mendorong Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah melakukan kajian sekaligus penerapan langkah sistem deteksi dini (early warning system) agar kasus-kasus serupa berkurang dan dapat dilakukan langkah-langkah antisipasitif," kata Direktur Wahid Foundation, Yenny Zannuba Wahid, Minggu (11/2/2018).
Pihaknya juga mendukung pihak Kepolisian untuk melakukan proses hukum terhadap para pelaku penyerangan dan penganiayaan terhadap KH. Umar Basri, penyerangan Gereja Lidwina maupun intimidasi Biksu Mulyanto.
Wahid Foundation seraya mengapresiasi kesigapan ormas-ormas keagamaan yang dianggap kompak menyerukan kepada masing-masing umatnya, untuk tidak terprovokasi dan justru mendorong agar proses hukum dikedepankan.
"Ini bukti bahwa masyarakat Indonesia makin dewasa dan matang dalam menyikapi kasus-kasus kekerasan," ucap Yenny.
Pihaknya juga mendorong Kemenkominfo dan perusahaan-perusahaan media sosial seperti Facebook, Youtube dan Twitter untuk memantau kasus-kasus hoax dan berita palsu atas tiga kasus tersebut, yang diduga sengaja ditujukan untuk dapat memanaskan situasi di masyarakat.
[Yusuf Tirtayasa]