Pemerintah Diminta Kaji Kembali Kebijakan Perubahan NISN ke NIK

Mulai tahun ajaran 2019/2020 pemerintah akan mengintegrasikan Nomor Induk Siswa Nasional (NISN) menjadi Nomor Induk Kependudukan (NIK). Pengintegrasian data tersebut bertujuan untuk mendukung program wajib belajar 12 tahun dan penerimaan peserta didik baru (PPDB) dan sistem pendidikan lainnya yang berbasis zonasi.

Pemerintah Diminta Kaji Kembali Kebijakan Perubahan NISN ke NIK
Ketua Gerakan Perlindungan Anak Asa Negeri. Ena Nurjanah/istimewa

MONITORDAY.COM - Mulai tahun ajaran 2019/2020 pemerintah akan mengintegrasikan Nomor Induk Siswa Nasional (NISN) menjadi Nomor Induk Kependudukan (NIK). Pengintegrasian data tersebut bertujuan untuk mendukung program wajib belajar 12 tahun dan penerimaan peserta didik baru (PPDB) dan sistem pendidikan lainnya yang berbasis zonasi.

Integrasi data dari NISN menjadi NIK tercantum dalam nota kesepahaman antara Kemendikbud dan Kemendagri yang telah ditandatangani beberapa waktu lalu.

Ketua Lembaga Perlindungan Anak GENERASI, Ena Nurjanah, menilai kebijakan tersebut terlalu terburu-buru. Pasalnya, dalam sebiah kebijakan tidaklah sesederhana mengadakan kesepakan dalam kebijakan tersebut, namun harus benar-benar memahami, termasuk dampak yang akan terjadi.

“Perubahan dari NISN menjadi NIK tidak lah sesederhana MoU yang dibuat diatas selembar kertas. Di level pelaksana kedua kementerian tersebut harus benar-benar memahami dan menguasai secara tehnis bagaimana proses pengintegrasian tersebut berlangsung  sehingga tidak merusak data siswa yang berdampak merugikan,” kata Ena dalam keterangan tertulis yang diterima Sabtu, (26/1).

Ena menyoroti beberapa masalah terkait rencana pelaksanaan pengintgrasian NISN ke NIK. Seperti ketika anak-anak yang nantinya ingin mengubah datanya. “Yang harus menjadi perhatian pula adalah ketika muncul permasalahan terkait NISN pada seorang anak, kemana orang tua harus mengadu?,” ujarnya.

Menurut Ena, yang menjadi masalah setiap adanya kebijakan yaitu jika adanya permasalahan akan saling melempar tanggung jawab. Karenanya, yang dirugikan dalam hal ini adalah para orang tua yang pasti kesulitan dengan hadirnya kebijakan ini.

“Sudah jelas terbayang beratnya beban para orangtua mengurus hak pendidikan anak-anaknya yang akhirnya berdampak pula pada hak-hak pendidikan anak yang terhambat,” tuturnya.

Terkait PPDB, Ena mengatakan masalah yang selalu menyeruak  kepermukaan diantaranya adalah mengenai minimnya ketersediaan sarana dan prasarana sekolah yang cukup  bagi semua anak Indonesia.

Selain itu, jumlah sekolah negeri yang tidak memadai di setiap zonasi, pemenuhan hak pendidikan setiap anak yang masih kurang direspon secara maksimal oleh pemerintah daerah sehingga masih ditemui anak-anak yang tidak sekolah maupun yang putus sekolah, kecurangan yang banyak muncul ketika PPDB.

“Hal-hal itulah yang menjadi penyebab program tersebut berjalan lambat ataupun kurang maksimal. Tidak pernah sedikitpun ada pembahasan tentang NISN ternyata harus diganti NIK agar semua program tersebut menjadi lebih baik,” ungkap Ena.

Karena itu, Ena menyarankan agar kebijakan pengintegrasian NISN ke NIK ditunda tersebih dahulu. Menurutnya, banyak sekali permasalahan yang akan ditimbulkan dari kebijakan tersebut harus dipertimbangkan, dan tidak semudah menandatangani MoU tentang regulasi tersebut.

“Langkah terbaik yang harus dilakukan pemerintah adalah menunda implementasi MoU tersebut. MoU dua kementerian tersebut masih terlalu dini. Pergantian NISN menjadi NIK tanpa ada pelibatan banyak pihak yang berinteraksi langsung dengan dunia pendidikan hanya akan menambah persoalan baru dan bukan solusi baru,” ujarnya.

“Jangan sampai pemerintah mengorbankan hak pendidikan anak-anak dengan membuat kebijakan yang begitu sumir,” pungkas Ena.