Pemerintah Diminta Berperan Aktif Selesaikan Masalah Uighur
Isu kemanusiaan yang menimpa etnis Uighur yang tinggal di kamp-kamp di Wilayah Xinjiang merupakan bentuk ketidakadilan sosial yang harus dihentikan

MONITORDAY.COM - Wakil Ketua MPR RI Hidayat Nur Wahid meminta agar pemerintah Indonesia turut terlibat dalam membantu menyelesaikan dugaan pelanggaran HAM terhadap etnis Uighur di Xinjiang, Tiongkok. Hal ini dinilai sebagai wujud dari implementasi terhadap Pembukaan UUD 1945 bahwa Indonesia harus telibat dalam perdamaian dunia.
“Indonesia tidak boleh hanya menjadi penonton. Indonesia harus memainkan perannya, politik luar negeri yang bebas aktif berdasarkan kepentingan Indonesia dan komitmen kepada UUD kita,” ujar Hidayat, di Jakarta, Rabu (18/12).
Hidayat mengatakan, isu kemanusiaan yang menimpa etnis Uighur yang tinggal di kamp-kamp di Wilayah Xinjiang merupakan bentuk ketidakadilan sosial yang harus dihentikan. “Dan jelas terjadi ketidakadilan sosial terhadap etnis Uighur, dan itu pasti menghadirkan kondisi yang tidak damai,” tuturnya.
Karena itu, peran serta Indonesia dalam membantu etnis Uighur dalam hal ini penting, selain melaksanakan UUD 1945, juga mengingat Indonesia saat ini merupakan anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB, dan pada 2020 akan memulai tugasnya sebagai anggota Dewan HAM PBB.
Senada dengan itu, anggota Komisi I DPR Willy Aditya, juga mendorong agar Indonesia menjadi bagian dari solusi dalam upaya penyelesaian masalah Uighur. Seperti halnya dalam kasus Rohingya, menurutnya, Indonesia harus mencari cara agar Tiongkok terbuka terhadap apa yang dituduhkan dalam kasus di atas.
"Tapi kita tetap harus berhati-hati dalam menyikapi Uighur di China ini. Mendukung maupun mengecam hanya akan menjebak Indonesia dalam polarisasi yang justru memperkeruh suasana. Kasus Uighur ini harus dilihat dari banyak sudut pandang," ujar Willy, Selasa (17/12).
Willy menambahkan, sikap Indonesia terhadap kasus Uighur tidak boleh didasarkan pada sentimen-sentimen yang justru dapat merugikan semua pihak. Menurutya, membela hak asasi manusia warga Uighur harus dilandaskan pada prinsip kemanusiaan dan imparsialitas.
"Kita bisa belajar dari perubahan sikap Turki menanggapi kasus Uighur ini. Dari sebelumnya mendukung suara Amerika dan memojokkan China berubah total, setelah tahun 2017 ini justru mendukung suara China karena ada kepentingan politik-ekonominya. Kita tidak boleh mengedepankan kepentingan pragmatis semacam itu," tandasnya.
Seperti diketahui, isu kemanusiaan yang menimpa etnis Uighur di Xinjiang telah berlangsung lama. Para ahli dan aktivis PBB mengatakan sedikitnya satu juta warga Uighur dan anggota kelompok minoritas Muslim lainnya telah ditahan di kamp-kamp di Xinjiang sejak 2017. Selain itu, pemerintah China dikabarkan melarang etnis Uighur dan warga Muslim lainnya di Xinjiang untuk menjalankan ibadah. Larangan itu terutama berlaku bagi pegawai negeri sipil, guru, dan pelajar.