Panglima TNI dan Tantangan Perang Siber

Panglima TNI dan Tantangan Perang Siber
Jenderal Andika Perkasa/ net

MONITORDAY.COM -Pada bulan September 2010, fasilitas pengayaan nuklir Natanz Iran diserang oleh worm Stuxnet, yang diduga secara khusus dibuat dan digunakan untuk melumpuhkanya. Ini menjadi penanda bahwa perang siber bukan isapan jempol dan semua negara terutama institusi militernya harus kuat dalam aspek ini.

Worm komputer 500-kilobyte itu menginfeksi setidaknya 14 lokasi industri di Iran, termasuk pabrik pengayaan uranium Natanz.  Stuxnet diyakini dikembangkan dan digunakan oleh Amerika Serikat dan Israel. Dua negara dengan militer terkuat di dunia ini tak hanya canggih dalam perang konvensional.

Senjata dalam perang siber tak kalah berbahayanya dengan senjata konvensional. Tak hanya bedil dan meriam, tentara modern termasuk TNI harus memiliki keunggulan persenjataan dalam perang siber. 

Adopsi internet of things membuat industri manufaktur dan jasa semakin rentan terhadap ancaman dari luar. Hampir tidak ada fasilitas publik yang tidak terkoneksi dan terintegrasi dengan sistem informasi terpusat. Dan pada akhirnya terhubung dengan jejaring luas di dunia maya.

Apa jadinya jika musuh menyerang infrastruktur penting, termasuk entitas seperti sistem transportasi, sistem perbankan, jaringan listrik, pasokan air, bendungan, dan rumah sakit. 

Dari perspektif keamanan nasional, ketidakstabilan infrastruktur digital kritis menimbulkan kerusakan pada layanan atau proses modern yang vital.  Misalnya, serangan terhadap jaringan energi dapat memiliki konsekuensi besar bagi sektor industri, komersial, dan swasta.

Senjata dan jenis serangan siber sangat beragam. Antara lain dalam bentuk virus, phishing, worm komputer, dan perangkat lunak perusak yang dapat menghancurkan infrastruktur penting.

Serangan fatal dapat melumpuhkan layanan (DDoS) terdistribusi yang mencegah pengguna yang sah mengakses jaringan atau perangkat komputer yang ditargetkan. Peralatan militer dan sipil yang vital dapat disabotase. Spyware atau spionase dunia maya yang mengakibatkan pencurian informasi yang membahayakan keamanan dan stabilitas nasional dan ransomware mampu menahan sistem kontrol atau sandera data.

Panglima TNI kelak menghadapi tantangan perang siber. Jika Jendersl Andika Perkasa yang pernah menempuh pendidikan di The Military College of Vermont, Norwich University, Norwich dan National War College, National Defense University, Amerika Serikat dilantik menjadi Panglima TNI maka aspek ini tentu akan menjadi perhatiannya.

Lebih dari itu Andika menjalani sebagian besar karier militernya di Kopassus. Ia pernah memimpin  Peleton Grup 2/Para Komando, Komandan Unit 3 Grup 2/Para Komando, Komandan Subtim 2 Sat Gultor 81, Komandan Tim 3 Sat Gultor 81, Komandan Resimen 62 Yon 21 Grup 2/Para Komando, dan Komandan Batalyon (Danyon) 32/Apta Sandhi Prayuda Utama, Grup 3/Sandhi Yudha.