Pahala Jariyah Seorang Penulis

MONITORDAY.COM - Menulis merupakan kegiatan mengekspresikan pikiran dan perasaan dalam bentuk aksara. Pikiran bisa diekspresikan dalam tiga bentuk, dengan bicara, tulisan dan akhlak. Pikiran yang dituangkan dalam tulisan biasanya lebih luas, karena sebelum ditulis hasil pemikiran bisa disusun bahkan diedit.
Dalam bahasa sansekerta, tulisan disebut aksara yang berarti tidak termusnahkan (Wikipedia). Dari sini kita tahu bahwa pemikiran yang terabadikan dalam aksara atau tulisan tidak akan musnah.
Kita coba berjalan ke ratusan tahun lalu, saat sejarah aksara muncul. Di Indonesia sendiri, aksara pertama kali ditemukan dalam bentuk prasasti berupa tujuh yupa karya Kerajaan Kutai. Prasasti bercerita tentang potret kehidupan kerajaan Hindu-Budha saat itu, siapa rajanya, bagaimana hasil putusan pengadilan, sumpah-sumpah sampai utang-piutang.
Sedangkan dalam islam, ada sebuah aksara yang paling fenomenal yang tidak akan musnah bahkan sampai akhir zaman. Apa lagi jika bukan kitab suci Al-Qur'an?
Al-Qur'an pada zaman Rasulullah bukan seperti yang kita lihat sekarang, yang tersusun rapi seperti buku Sang Pemimpi karya Andrea Hirata. Al-Qur'an saat itu masih tertanam dalam benak Rasulullah juga masih tercermin dalam akhlak Rasulullah. Setiap turun wahyu Al-Quran, Rasulullah menyuruh para sahabat untuk menuliskan ayat demi ayat dalam tulang, pelepah kurma, batu, bahkan kulit hewan ternak yang disamak. Zaman semakin maju, sistem penulisan Al-Qur'an juga mengalami kemajuan. Para sahabat khawatir adanya pemalsuan Al-Qur'an, sehingga mereka menghimpun ayat-ayat Al-Qur'an menjadi satu. Disamping Allah sudah menjamin kemurniannya (Surah Al-Hijr ayat 9). Akhirnya terbitlah Al-Quran seperti yang ada di tangan kita saat ini.
Melihat contoh diatas, kita bisa menyimpulkan betapa pentingnya sebuah tulisan. Dari tulisan, kehidupan kerajaan di Indonesia bisa diketahui, bahkan oleh manusia modern. Dari tulisan pula, manusia punya pedoman hidup. Begitupun seorang penulis, betapa pentingnya ia. Tanpa penulis, sejarah bisa lenyap, ilmu bisa hilang, bahkan Al-Qur'an bisa tidak tersampaikan. Betapa berjasanya para penulis.
Selain itu, manfaat terbesar menulis adalah lestarinya ilmu. Imam Syafi’i menuturkan bahwa ilmu seperti buruan, tulisan pengikatnya. Beliau juga berkata “Al ilmu Nuurun”, ilmu itu adalah cahaya. Artinya, dengan menulis kita seperti menahan kaburnya ilmu, meng-on-kan lampu, menyalakan cahaya. Kegemilangan islam pada Dinasti Abbasiyah terjadi akibat ilmu, pada masa itu terjadi penyusunan kitab atau buku secara besar-besaran, ilmuwan dari berbagai bidang dikerahkan untuk menulis, menerjemahkan, hingga tegaklah perpustakaan masyhur yang kita kenang, Baitul Hikmah. Tak diragukan lagi, Islam pada Dinasti Abbasiyah ibarat matahari, benar-benar menerangi dunia.
Diantara karya tulis terkenal produk Abbasiyah adalah Ihya Ulumuddin karya Imam Al-Ghazali. Meski zaman sudah berganti, teknologi makin tak terkendali, kitab tersebut masih lestari. Di Pesantren, Ihya Ulumuddin dijadikan referensi pelajaran tasawuf. Lihatlah, bagaimana sebuah tulisan mengantarkan seseorang mengenal Tuhannya.
Begitulah pahala jariyah seorang penulis. Tulisan apapun, sedikitnya pasti ada ilmu yang tersampaikan. Apalagi jika tulisan itu ngefek sama si pembaca. Lebih jauh dari itu, jika ruh pergi dari jasad, pahala seorang penulis masih tetap mengalir. Sang penulis mati, tapi tulisan-tulisannya tidak, tulisannya menjadi saklar penerang di dua alam, dunia dan akhirat.
Menulis adalah tentang melestarikan sejarah, mengabadikan kehidupan, dan menyalakan cahaya hidup. Penulis terkenal, Helvy Tiana Rosa berkata, "Buku yang kau tulis adalah semacam jejak yang terus menyala di dunia, dan bisa menjadi cahaya akhiratmu."