Otonomi Daerah, Desentralisasi Korupsi?
Sejak 1999, ada 361 kepala daerah di Indonesia yang terlibat korupsi.

MONDAYREVIEW.COM - Data dari Kementerian Dalam Negeri tentang otonomi daerah pada Agustus 2016 membuat kita jeri: sejak pemerintah daerah diberi keleluasaan berkuasa pada 1999, ada 361 kepala daerah di Indonesia yang terlibat korupsi. Angka itu terdiri dari 343 bupati atau wali kota serta 18 gubernur. Sebagian besar mereka terkena korupsi anggaran daerah dan suap perizinan.
Data statistik tersebut jelas memprihatinkan. Dikarenakan begitu dahsyatnya korupsi dapat menggurita di berbagai tampuk pimpinan daerah. Seperti diketahui semangat dari otonomi daerah yang digalakkan pada 1999 yakni untuk mencegah sentralisasi kekuasaan yang terjadi selama Orde Baru. Daerah juga diharapkan dapat berinovasi, berkreasi sesuai dengan kondisi alam dan situasi sosial di daerahnya masing-masing.
Maka apa yang diungkapkan oleh orator ulung dari Roma, filsuf, ahli politik, ahli hukum, dan konsul bernama Cicero bisa menjadi perenungan. Cicero berpidato di hadapan para anggota Senat dan rakyat. “Ada pepatah lama, Tuan-tuan, di kalangan pedagang pasar Marcellum, bahwa ikan membusuk mulai dari kepala sampai ekor. Dan, jika ada yang busuk di Roma saat ini – dan siapa yang meragukan hal itu? – terang-terangan aku mengatakan bahwa kebusukan itu dimulai di kepala. Kebusukan itu dimulai di puncak. Kebusukan itu dimulai di Senat.”
Jika menilik dari perkataan Cicero, maka otonomi daerah merupakan reaksi melihat kebusukan yang terjadi di pusat (Jakarta). Namun, sayangnya kebusukan itu ternyata telah memiliki pusat-pusat baru, yakni di daerah. Para pucuk pimpinan daerah telah menjadi “raja-raja kecil” yang memiliki kuasa untuk mengutak-atik anggaran dan bersikap sewenang-wenang dalam berkuasa. Maka dengan demikian PR di masa reformasi masih begitu panjang dan berliku.