Nuha Aulia Rahman, Dokter Muda Penolong Pengungsi Rohingya

Tujuan mereka hanya satu, menolong warga Rohingya di pengungsian.

Nuha Aulia Rahman, Dokter Muda Penolong Pengungsi Rohingya
dr. Nuha Aulia Rahman sedang melayani pasien di Posko IHA/Muhammadiyah Aid

MONDAYREVIEW.COM - “Barangsiapa mempunyai sumbangan pada kemanusiaan, dia tetap terhormat sepanjang jaman, bukan kehormatan semata. Mungkin dia tidak mendapat sesuatu sukses dalam hidupnya, namun ummat manusia akan menghormati jasanya.”

Tesis Pramoedya Ananta Toer dalam bukunya “Nyanyi Sunyi Seorang Bisu” ini tentu saja tak berlaku bagi Suu Kyi. Karena tak lama setelah beberapa gelar dan penghargaan mentereng kepadanya dicabut, sekitar 100-200 tentara Myanmar malah hadir di dekat kamp pengungsi Rohingya di Bangladesh yang berlokasi di tepi perbatasan Myanmar. Sontak warga Rohingya pun panik, dan ketar-ketir.

Tesis Pramoedya Ananta Toer, tentang ‘kesalehan sosial’ di atas sejatinya lebih layak disematkan kepada para relawan kemanusiaan Indonesia yang tergabung dalam Indonesia Humanitarian Alliance (IHA) yang berjuang tanpa rasa takut. Tujuan mereka hanya satu, menolong warga Rohingya di pengungsian.

Hingga akhir Februari 2018, tercatat sudah 12 tim yang diberangkatkan Indonesia Humanitarian Alliance (IHA). Dan Terakhir, tim ini dipimpin oleh seorang dokter muda dari Rumah Sakit Ahmad Dahlan Yogyakarta, yaitu dr. Nuha Aulia Rahman.

“Berawal dari kesempatan yang diberikan MuhammadiyahAid kepada tenaga medis dari Rumah Sakit Muhammadiyah untuk bergabung dalam misi kemanusiaan bagi masyarakat Rohingya di Bangladesh. Alhamdulillah saya merupakan salah satu dokter yang diberikan amanah untuk mengemban tugas tersebut,” kata putera kedua Ketua Umum PP Muhammadiyah, Haedar Nashir ini kepada mondayreview, Senin (12/32018).

Di sebuah posko sederhana, di Jamtoli, sekitar 1,5 jam dari pusat kota cox Bazar. Dengan dinding yang terbuat dari anyaman bambu dan beratapkan terpal. Beberapa kursi plastik, meja lipat serta tempat tidur darurat untuk memeriksa pasien. Dokter Nuha dan para relawan muda lainnya melayani sedikitnya 150 hingga 200 pasien setiap harinya.

Lokasi posko dibagi menjadi beberapa blok dimana setiap blok berupa sebuah bukit kecil yang tandus sehingga sangat berdebu udaranya. Tempat tinggal pengungsi terbuat dari tenda terpal dan rangka bambu dengan jarak antar tenda yang sangat dekat satu dengan lainnya.

Terdapat sumur pompa dan juga toilet umum dalam jumlah yang terbatas. Kondisi-kondisi tersebut, ditambah kondisi gizi dan nutrisi yang tidak mencukupi, tentu menimbulkan banyak masalah kesehatan yang harus dihadapi. Penyakit yang terkait infeksi saluran nafas, gangguan pencernaan, dan penyakit kulit menjadi kasus yang sering ditemui.

Bangladesh hanya mengizinkan para relawan untuk berada di kamp dari pukul 10.00 pagi hingga 17.00 waktu setempat. Alasannya, Pemerintah Bangladesh tak bisa menyediakan listrik dan jaminan keamanan buat para relawan di malam hari. Selepas itu, mereka harus kembali ke penginapan. Negara ini hanya mengizinkan tinggal selama 17 hari kepada para relawan kemanusiaan dengan berbagai syarat yang njelimet.

Koordinator Tim Medis Indonesia Humanitarian Alliance menuturkan, bila tim medis yang dipimpin dr Nuha bertugas di Banglades selama 17 hari. Ia didampingi oleh Kharisma Dwi Angga, perawat dari RS PKU Muhammadiyah Cepu, serta dua lagi dari Tim Medis dari Rumah Zakat dan Dompet Peduli Ummat (DPU) Daarut Tauhiid.

Seperti tim-tim lainnya, dokter Nuha juga harus menembus tapal batas kamp pengungsian di Bangladesh. Mereka harus berkoordinasi dengan Pemerintah Bangladesh dan lembaga-lembaga kemanusiaan lokal maupun internasional. “Kira-kira, kondisinya masih sama seperti di awal kedatangan kami,” ujarnya.

Selain pelayanan kuratif, terdapat kegiatan-kegiatan lain berupa pemberian nutrisi tambahan kepada anak-anak serta mengajar dan bermain bersama mereka. Materi yang diajarkan berupa pengenalan huruf dan angka, Bagian-bagian tubuh, menghafal surat-surat pendek al-Qur’an, serta promosi kesehatan seperti menyikat gigi, menggunting kuku, dan cuci tangan.

Hanya saja, kata dokter Corona, tim yang dipimpin dr Nuha ini mendapat program khusus dari WHO. Yaitu program Acute Jaundice Syndrom atau penyakit kuning yang banyak muncul akhir-akhir ini. Dokter Nuha dan anggotanya juga diberi tugas untuk mengawasi renovasi atap posko Medis IHA. Ini dilakukan, karena di sekitar pengungsian akan segera menghadapi musim monsun, atau musim angin yang terkadang berhembus kencang. Mereka juga diharuskan untuk membuat saluran air untuk mencegah banjir, serta membuat atap lebih kuat supaya tidak terbang diterpa angin.

Secara keseluruhan, relawan kesehatan yang tergabung dalam Indonesia Humanitarian Alliance akan bekerja hingga Desember 2018. Menurut dr Corona, ini dilakukan setelah melihat kondisi politik dan perkembangan para pengungsi yang ternyata masih perlu ditolong.

 

[Mrf]