Negeri Berlimpah Berkah (Bagian 1)
Umat Islam di Indonesia masih kecil kesadarannya membayar zakat. Potensi zakat yang besar belum mampu berkontribusi untuk mengentaskan kemiskinan

MONDAYREVEIW-Potensi Zakat di Indonesia begitu besar. Jika saja, negeri yang berpenduduk mayoritas muslim terbesar di dunia ini, menjalankan kewajiban zakatnya. Menurut data terakhir Badan Amil Zakat Nasional, potensinya menembus Rp. 286 Triliun. Angka yang fastastis. Sayangnya, potensi ini belum terealisasi.
Menurut Ketua Badan Amil Zakat Nasional (Baznas) Bambang Sudibyo, di tingkat nasional zakat infaq sedekah yang dikumpulkan oleh lembaga badan amil resmi baru mencapai Rp 5,12 triliun pada tahun 2016, tumbuh 39,5 persen dari tahun 2015 yang mencapai Rp 3.67 triliun. Rupanya, Baznas tidak mau muluk-muluk, hanya menargetkan pengumpulan 10 persen dari dari potensi zakat individu sebesar Rp. 138 triliun. Jadi, total yang ditargetkn mencapai Rp 13,8 triliun. Namun, tahun 2016 yang tercapai sekitar 8 trilyun. Untuk tahun 2017, sayangnya belum ada rilis resmi dari Baznas tentang jumlah perolehan zakat.
Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) pada September 2015, penduduk miskin di Indonesia saat ini mencapai 28,51 juta orang atau 11,13 persen dari total jumlah penduduk. Dengan dana zakat yang belum terserap maksimal, jangan berharap zakat bisa menjadi solusi untuk pengentasan kemiskinan secara nasional.
Meski demikian, dengan dana yang ada saja, sudah ada rumah sakit gratis, sekolah gratis, beasiswa untuk kaum dhuafa, rumah-rumah yatim dan masih banyak lagi. Bayangkan, jika setiap tahun umat islam di Indonesia bisa mengumpulkan dana ratusan trilyun. Mungkin, bisa diputar untuk membeli aset-aset yang selama ini dikuasai konglomerat. Mungkin pula, bisa dibangun berbagai usaha yang mampu membuka lapangan pekerjaan untuk jutaan penduduk. Mungkin pula, bisa dibangun lembaga riset ilmu pengetahuan dan teknologi yang menghasilkan karya-karya briliant yang bermanfaat untuk dunia
Potensi zakat inilah yang dilirik oleh pemerintah. Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin mengatakan sedang menyiapkan aturan untuk pungutan zakat bagi PNS melalui Peraturan Presiden. Zakat diambil dengan cara memotong gaji PNS. Besarnya adalah 2,5 persen. Pemotongan hanya berlaku bagi Muslim, dan sifatnya tidak wajib. Jadi, mereka boleh mengajukan keberatan bila tak bersedia gajinya dipotong.
Tidak semua setuju dengan usulan Menteri Agama ini. Banyak yang memprotesnya. Menag pun berkilah, sebenarnya rencana ini bukanlah usulan baru. “bahkan sudah ada pemerintah provinsi dan pemerintah kota yang menerapkannya,” kata Menag. Misalnya, Pemerintah DKI Jakarta sudah menerapkan aturan ini sejak tahun 2014, dengan memungut zakat dari gaji pegawainya sebesar 2,5 persen tapi sifatnya sukarela. Tahun lalu, total dana zakat yang dihimpun Badan Amil Zakat Infak dan Sedekah (BAZIS) DKI Jakarta sebesar Rp 170 miliar.
Pungutan zakat ASN Muslim sudah tertera dalam UU No 23 Tahun 2011 tentang pengelolaan zakat. Lalu turunan PP 14 Tahun 2014 tentang pelaksaan zakat, Inpres 3 Tahun 2014 tentang Optimalisasi Pengumpulan Zakat di Kementerian dan Lembaga Negara, Pemda, BUMN/D dan terakhir Permenag 52 Tahun 2014 tentang Syarat dan Tata Cara Perhitungan Zakat Mal dan Zakat Fitrah. "Hanya selama ini kami nilai belum terintegrasi dalam sebuah sistem yang transparan dan terkelola dengan baik," ucap Menag.
Namun, pernyataan Menag ini sudah terlanjur ramai diprotes. Zakat adalah kewajiban yang harus dijalankan oleh umat Islam, sebagaimana kewajiban shalat atau puasa ramadhan. Namun, masih banyak umat islam yang tidak menjalankannnya. Pembayaran zakat saat ini tidak terintegrasi terhadap satu lembaga. Beberapa ormas islam, seperti Muhammadiyah dan NU mendirikan badan amil zakat sendiri, untuk menampung zakat dari warganya. Ada juga masyarakat yang terbiasa menyalurkan zakatnya ke badan amil zakat lainnya, seperti Dompet Dhuafa, dan Rumah Zakat.
Terlepas dari pro kontra zakat profesi yang para ulama belum bersepakat tentang kewajibannya, zakat merupakan salah satu instrumen pemasukan negara pada masa Rasulullah dan kekhalifahan Islam. Saat negara madinah dibentuk pada masa Rasulullah, (622-632 M/ 1-10 H), sumber pendapatan negara terpenting dan terbesar adalah Ghanimah (harta rampasan perang). Sumber pendapatan kedua adalah Fa’i, yaitu harta rampasan yang diperoleh kaum Muslim dari musuh tanpa terjadinya pertempuran. Ketiga bersumber dari Kharaj yaitu sewa tanah yang dipungut dari non Muslim ketika Khaibar ditaklukan, tahun ke-7 H.
Pada awalnya seluruh tanah yang ditaklukan pemerintah Islam, dijadikan milik negara. Namun, khalifah Umar bin Khattab RA berijtihad, tidak lagi menjadikannya milik kaum Muslim, tapi tetap memberikan hak milik pada non Muslim, tapi mewajibkan mereka membayar sewa (kharaj) atas tanah yang diolah tersebut.
Sumber lainnya, adalah ‘Ushr, yaitu bea masuk yang dikenakan kepada semua pedagang yang melintasi perbatasan negara, yang wajib dibayar hanya sekali dalam setahun dan hanya berlaku bagi barang yang nilainya lebih dari 200 dirham. Tingkat bea yang diberikan kepada non Muslim adalah 5% dan kepada Muslim sebesar 2,5%. Ushr yang dibayar kaum Muslim tetap tergolong sebagai Zakat.
Sumber pendapatan negara kelima adalah jizyah (upeti). Jizyah adalah pajak yang dibayarkan oleh orang non Muslim khususnya ahli kitab, untuk jaminan perlindungan jiwa, properti, ibadah, dan tidak wajib militer.
Sumber pendapatan negara keenam adalah zakat, infaq dan wakaf. Zakat adalah kewajiban kaum Muslim atas harta tertentu yang mencapai nishab tertentu dan dibayar pada waktu tertentu, sesuai perintah Allah dalam Alquran (QS At-Taubah:103). Diundangkan sebagai pendapatan negara sejak tahun ke-2 Hijriyah, namun efektif pelaksanaan zakat mal baru terwujud pada tahun ke-9 H. Sumber pendapatan negara ini, terus berlaku hingga masa-masa puncak kejayaan islam pada masa Umayyah, Abbasiyah dan Turki Usmani.
Indonesia meskipun sebagai negara berpenduduk muslim terbesar, tidak menjadikan zakat sebagai sumber pemasukan negara. Karena, zakat memiliki keterbatasan dalam penggunaannya. Yang berhak menerima zakat sudah dijelaskan dalam Alquran, yang disebut dengan 8 asnap. Zakat juga tidak boleh digunakan untuk membangun jalan raya, menggaji pegawai negara dan tentara serta anggaran negara lainnya. Zakat juga ada batasan waktu (haul) yaitu setahun dan kadar minimum (nishab), sehingga tidak dapat dipungut sewaktu-waktu sebelum jatuh tempo.
Sebagaimana kebanyakan negara lainnya, Indonesia menjadikan pajak dan hutang sebagai sumber pemasukan negara. Tidak semua ulama berpendapat sama tentang pajak, banyak ulama yang mengharamkannya, sebagaimana sabda rasulullah tidak ada kewajiban dalam harta kecuali zakat.” (HR Ibnu Majah). Dalam hadist laim, “Tidak akan masuk surga orang yang mengambil pajak (secara zhalim).“ ( HR Abu Daud). Namun, ada juga sebagian ulama yang membolehkan pajak tapi dengan syarat-syarat yang ketat.
Pajak tidak dikenal dalam peninggalan sejarah Islam. Menurut Prof. Dr. Akram Dhiya dalam ‘Ashr al Khilafah Ar Rasyidah, emperium Bizantium mengalami penurunan drastis disebabkan oleh semakin besarnya berbagai pungutan dan pajak. Saat Amr bin Ash memimpin penaklukan Mesir, dia menjumpai masyarakat Mesir justru menyambut dengan baik kehadiran muslimin. Apalagi mereka telah mendengar keadilan muslimin begitu terkenal di seluruh dunia.
Amr bin Ash berangkat dari Paletina, masuk ke Mesir melalui Rafah, menuju Arisy terus ke Farma berikutnya Kairo dan Iskandariyah. Saat itu, masyarakat Mesir menyambutnya dengan gembira, karena mereka muak dengan beban pajak yang semakin menyulitkan. Amr bin Ash berhasil membuka Mesir, dan resmi mengumumkan ditutupnya pajak.
Mungkin itu masa lalu dan sulit diterapkan pada masa kini. Jika pajak termasuk haram dan harus dihapus, lalu, darimana negara memperoleh pemasukannya? Karena, zakat sangat terbatas penggunaannya. Apalagi, masyarakat begitu reaktif ketika aparat sipil negara akan dipotong gajinya dengan zakat.