Nadiem Sebut Sekolah Negeri Untuk Siswa Yang Kurang Mampu, Selain Gaduh Juga Tidak Sejuk

Nadiem mengatakan bahwa sekolah negeri seharusnya diperuntukkan bagi siswa dengan tingkat ekonomi rendah. Pernyataan ini dinilai kurang tepat dan layak dikoreksi. Selain gaduh juga tidak sejuk di masa new normal ini.

Nadiem Sebut Sekolah Negeri Untuk Siswa Yang Kurang Mampu, Selain Gaduh Juga Tidak Sejuk
Mendikbud Nadiem Makarim/net

MONITORDAY.COM - Belum usai dengan Program Organisasi Penggerak (POP),  Merdeka Belajar, Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) dan sejumlah kebijakan Kemendikbud yang harus dievaluasi, Menteri Pendidikan (Mendikbud) Nadiem Makarim kembali mengeluarkan statemen yang tak kalah menjadi sorotan publik.

Betapa tidak, pernyataan Nadiem bahwa sekolah negeri seharusnya diperuntukkan bagi siswa dengan tingkat ekonomi rendah. Sontak pernyataan ini menuai ragam tanggapan dan dinilai kurang tepat sehingga layak dikoreksi. Selain gaduh juga tidak sejuk di masa new normal ini.  

"Secara prinsip Undang-undang Dasar kita, sekolah negeri itu seharusnya untuk yang paling membutuhkan secara sosial ekonomi. Itu kan prinsip keadilan sosial yang dijunjung tinggi," kata Menteri Nadiem dalam sebuah diskusi virtual, Rabu lalu  (29/7/2020).

Akademisi Universitas Muhammadiyah Cirebon (UMC), Dr. Hj. Fikriyah, MA

"Narasi yang disampaikan Mendikbud ini keliru dan kurang adaptif dengan kondisi saat ini. Saya khawatir, membuat masyarkat gaduh dan bingung. Padahal Mas Menteri ini jadi tumpuan kita saat ini. Nahkoda pendidikan Indonesia ada di Mas Nadim," ujar Akademisi  UMC, Dr. Hj. Fikriyah, MA kepada monitorday.com, Senin (3/8/2020).

Menurut Fikriyah,  Nadiem mengartikan prinsip itu dengan mengimplementasikan Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) dengan sistem zonasi atau menggunakan indikator jarak. Zonasi Pendidikan dimana siswa tidak perlu mencari sekolah jauh dari rumahnya, sekaligus dapat diajar oleh guru-guru yang berada di area yang sama.

Kemudian ada embel-embel karena negeri diperuntukan bagi mereka yang tidak mampu. Dengan demikian, publik bisa memberikan persepsi  adanya dalil kompromistis yang memperkuat bahwa sokongan hanya kepada sekolah negeri karena siswanya yang tak mampu.  

Lantas sekolah swasta yang memang sudah mandiri sejak awal, dengan segala keterbatasan mau menerima siswa yang tak mampu. Harapannya pun sederhana bagi siswa/siswi yang dikategorikan tidak mampu itu, agar mereka kelak memiliki masa depan yang lebih baik. Apakah kemendikbud sudah tidak mau memperhatikan yang swasta?

"Orang tua yang mampu juga banyak mengirim anak mereka di sekolah negeri, bukan karena mencari gratisnya tapi kualitasnya. Jangan bermain dengan terminologi negeri dan swasta yang menimbulkan penafsiran yang kurang tepat," nilainya.

Selanjutnya, Fikriyah menilai makna zonasi yang dilontarkan Mendikbud tidak memotret secara comprehensive pendidikan di Indonesia. Ia juga menekankan bahwa zonasi pendidikan yang dimaksud Nadiem Makarim dipandang tidak tepat karena beberapa indikator sebagai berikut:

Pertama, fasilitas pendidikan dan tenaga pengajar masih belum merata di setiap sekolah di Indonesia.

Kedua, menimbulkan kecemburuan sosial bagi pelajar berprestasi dan yang biasa saja.

Ketiga, Orang tua belum siap menerima keinginan siswa yang tidak bisa masuk sekolah negeri.

Keempat, dirasa masih belum siap karena tidak semua tersedia infrastrukturnya.

Kelima, sebagian daerah menjadi lebih jauh sekolahnya, bahkan belum ada sekolah negerinya.

Fikriyah juga menyayangkan jika zonasi yang ditetapkan mendikbud ini belum terkoordinasi dengan baik bersama zona vital. Apa itu?

"Bukan zonasi siswa. Kalo hanya zonasi siswa, malah menurunkan kualitas pendidikan, jadi harus zonasi guru, zonasi sumber dana, dan sumber daya,"  ungkapnya.

Fikriyah kembali menyoroti langkah Mendikbud yang tidak seirama dengan kebijakan Presiden Jokowi menimbulkan preseden buruk.

"Kita perlu memberikan apresiasi kepada Presiden Jokowi karena arahan Bapak presiden sudah sangat jelas agar seluruh jajaran menteri dan seluruh elemen pemerintah melakukan tindakan yang luar biasa (extraordinary). Artinya, lompatan kebijakan yang tidak biasa-biasa di masa new normal sangat dinantikan publik," tambahnya.

Semoga, Mendikbud bisa lebih banyak berkaloborasi dengan berbagai pihak, khususnya Muhammadiyah, NU dan PGRI dalam mengeluarkan kebijakan-kebijakan strategis terkait arah pendidikan Indonesia.