Ada Takdir, Mengapa Masih Berdoa?

Ada Takdir, Mengapa Masih Berdoa?
Foto: pixinio.com

MONITORDAY.COM - Hidup seorang muslim memang unik dan menarik. Di satu sisi, kita meyakini bahwa tiada apapun yang terjadi di jagat raya ini, kecuali semuanya telah ada dalam catatan dan ketentuan Allah Swt.

Di sisi lain, kita meyakini bahwa manusia diberikan keleluasaan untuk terus berusaha, merencana, merekayasa dan membuat target capaian-capaian bermutu.

Di satu sisi yang lainnya, Allah Swt menggenggam kita dalam ketentuan-ketentuan-Nya yang telah ditetapkan-Nya sejak zaman azali, di sisi yang terakhir, banyak ayat Al-Quran yang mengaitkan perbuatan kita pada diri kita sendiri.

Di antara ayat yang menunjukkan adanya perbuatan independen manusia adalah:

"…Sesungguhnya Allah tidak merubah keadaan suatu kaum, sampai mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.” (QS. Ar-Rad: 11).

Ayat lainnya: “Dan katakanlah: "Kebenaran itu datang dari Tuhanmu; maka barangsiapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan barangsiapa yang ingin (kafir) biarlah ia kafir.” (QS. Al-Kahfi: 29).

Adapun contoh ayat yang menegaskan ketentuan absolut (takdir) Allah Swt pada kita adalah: “Tiada suatu bencanapun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri, malainkan telah tertulis dalam kitab (lauhul Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya.” (QS. Al-Hadid: 22) 

Ayat-ayat di atas adalah contoh kecil dari adanya dua sisi di atas: absolutnya qadha dan qadar Allah Swt dan kebebasan yang Allah berikan kepada manusia. Banyak orang gagal dalam memahami dua sisi dari ayat di atas dan tidak dapat menangkap perbedaan makna dari dua sisi ayat di atas.

Di antara mereka, ada yang salah paham dan memahami salah satu saja dari dua sisi ayat di atas. Mereka yang hanya ekstrem kepada makna kebebasan manusia secara absolut, terjebak ke dalam sikap qadariyah.

Mereka memahami bahwa manusia diciptakan dengan kebebasan absolut, diberikan kebebasan menentukan nasibnya secara absolut, boleh memilih bahagia atau derita, lalu manusia harus mempertanggungjawabkan perbuatannnya itu. Sikap ekstrem ini, secara tidak sadar telah menjadikan manusia sebagai tuhan bagi dirinya sendiri.

Mereka yang terlalu ekstrem dalam memahami kekuasaan mutlak Allah Swt, pasti terjebak dalam sikap fatalistik, sehingga manusia dianggap seperti kapas yang ditiup angin, ia meleok kesana-kemari dibawa angin takdir, dan manusia sama sekali tidak memiliki kehendak apapun untuk menentukan dirinya.

Sebagai agama yang selalu berpihak pada keseimbangan (tawazun) dan keserasian (moderat), tentu saja tidak mungkin ajaran Islam yang benar hanya berpihak kepada salah satunya dan menegasikan yang lainnya.

Islam yang orisinil akan berada di antara keduanya, menjembatani dua pemahaman itu, lalu meraciknya sebagai akidah Islam yang komprehensif. Salah satu contoh pemahaman yang seimbang dan wasathi (moderat) dalam memahmi ayat di atas adalah bahwa sebagai makhluk Allah, manusia tunduk dan patuh pada ketentuan yang telah Allah gariskan, sebab tidak ada satu pun yang terjadi di jagat raya ini tanpa ilmu dan kendali-Nya.

Tapi di sisi lain, manusia telah dianugerahi nafsu, akal dan hati oleh Allah Swt yang ketiganya akan berdialektika dalam kehidupan sehari-hari, dimana dalam beberapa kondisi, manusia tetap harus memaksimalkan potensi hati dan akalnya untuk melalukan sesuatu yang terbaik bagi hidupnya.

Mengapa demikian, karena tidak ada satu pun manusia yang dapat mengetahui takdir Tuhan untuk dirinya. Maka, karena takdir itu rahasia Allah, siapapun tidak dapat berlindung dalam sikap fatalisme, sebab selama takdir itu belum diketahui, kita tetap punya dua kesempatan yang sama: gagal atau sukses.

Memang memahami dua sisi dari ayat Al-Quran di atas telah mengakibatkan lahirnya sekte-sekte Islam yang saling kontraproduktif, sehingga melahirkan berbagai perdebatan metafisika yang sangat tidak produktif.

Dengan demikian, perdebatan perihal dua ayat di atas bukan sesuatu yang baru, tetapi telah mengakar kuat dalam pikrian umat yang dibuktikan dengan banyaknya literatur yang ditulis untuk mempertahankan pendapat mereka masing-masing.

Generasi awal Islam memahami rahasia dari dua sisi ayat tersebut. Mereka meyakini bahwa Al-Quran bersumber dari Allah, sumber yang satu, sehingga mereka meyakini tidak mungkin terjadi kontradikisi antar satu ayat dengan ayat lainnya.

Keyakinan ini sejalan dengan pemahaman mereka yang tidak pernah ngotot memperdebatkan persoalan qadha dan qadar Allah Swt.  Untuk itu, kita cukup mengimani bahwa Allah Swt telah menentukan nasib dan ukuran segela sesuatu dan Allah juga memerintahlan manusia untuk berupaya secara maksimal.

Dalam konteks ini, berdoa merupakan salah satu bentuk usaha manusia untuk mencapai sesuatu yang ideal dalam dirinya. Dengan doa, manusia mempersembahkan kepasrahan diri yang paling dalam kepada Allah Swt. Sebab doa bukan sekedar meminta, tetapi doa adalah ibadah, bahkan inti ibadah.

Dengan demikian, kita diperintahkan untuk senantiasa berdoa dan memohon kepada Allah, bukan sekedar karena kita butuh sesuatu untuk kita mintakan. Lebih dari itu, doa kita panjatkan, karena kita mengimani juga bahwa kita diperintahkan berdoa. Melaksanakan perintah Allah adalah ibadah, maka berdoa adalah ibadah. Untuk itu, setiap doa yang kita panjatkan, tidak bertentangan dengan takdir yang telah Allah Swt gariskan untuk kita.