May Day, Ada Apa Dengan Hari Buruh?
Para buruh selalu memperingati hari buruh Internasional dengan aksi demontrasi. Karena belum ada solidaritas nasional, buruh belum diperhitungkan sebagai kekuatan politik

MONDAYREVIEW- May day, 1 Mei diperingati sebagai hari buruh Internasional. Di banyak negara dijadikan sebagai hari libur untuk mengenang para pekerja di seluruh dunia. Di Indonesia, hari buruh baru ditetapkan sebagai hari libur nasional pada tahun 2014, di akhir kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, setelah sekalian tahun sejak era reformasi, para buruh selalu menggelar aksi unjuk rasa.
Hari buruh selalu identik dengan demontrasi dan dikaitkan dengan perjuangan hak-hak pekerja. Pada tahun 1886, empat orang ditembak mati oleh polisi Chicago, Amerika Serikat saat mereka sedang melakukan aksi protes menuntut pemberlakuan delapan jam kerja. Parade ribuan buruh saat itu membawa spanduk bertuliskan, “8 jam kerja, 8 jam istirahat dan 8 jam rekreasi,”
Hari buruh lahir dai berbagai rentetan perjuangan kelas pekerja untuk meraih kendali ekonomi-politis hak-hak industrialnya. Perkembangan kapitalisme di awal abad ke-19, terutama di Eropa Barat dan Amerika Serikat, melakukan pengetatan jam kerja, minimnya upah buruh, buruknya kondisi kerja, hingga melahirkan perlawanan dari kalangan kelas pekerja.
Gagasan perjuangan ini menyebar ke berbagai negara. 1 Mei ditetapkan sebagai hari perjuangan kelas pekerja dunia oleh Federation of Organized Trades and Labor Unions dalam kongres buruh tahun 1889. Selain untuk mengenang perjuangan empat orang buruh yang ditembak mati karena memperjuangkan hak-haknya, juga memberikan semangat baru perjuangan kelas pekerja yang mencapai titik masif di era itu.
Di Indonesia, perjuangan buruh menjadi alat politik pada masa kemerdekaan, begitu pula pasca kemerdekaan. Pada masa itu, Serakat Buruh Islam Indonesia (SBBI), berhasil menuntut pemerintah untuk memperbaiki upah buruh. Namun, akibat aksi mogok buruh pada tahun 1950 terjadi lonjakan harga akibat kelangkaan barang. Untuk apa menuntut kenaikan upah, sementara harga-harga barang ikut naik juga. Karena itulah, SBII menyerukan aturan untuk larangan mogok kerja.
Aksi ini dikecam oleh Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia (SOBSI), yang berafiliasi ke PKI. SOBSI menuduh SBII sebagai pembela majikan. SBII, yang berafiliasi ke partai islam Masyumi, menentang teori pertentangan kelas ala kaum komunis. Karena, Islam tidak mempertentangan antara buruh dan majikan. Karena, mereka bisa bekerja dalam satu iklim kekeluargaan, sebagaimana yang diajarkan dalam Islam.
Pada masa Soeharto, peringatan hari buruh dilarang. Karena, gerakan buruh selalu dihubungkan dengan paham komunisme, yang sejak peristiwa G 30 S PKI tahun 1965 ditabukan di Indonesia. Setelah orde baru tumbang, meskipun belum dijadikan hari libur nasional, 1 Mei kembali marak diperingati oleh kaum buruh di Indonesia, dengan menggelar aksi demontrasi di berbagai kota. Perjuangan buruh yang dimobilisasi oleh banyak serikat pekerja ini saat ini tidak ada kaitan lagi secara ideologis.
Aksi unjuk rasa mereka yang biasa digelar di depan istana, atau gedung DPR tetap menyuarakan perbaikan nasib mereka, terutama soal upah minimum regional (UMR) yang sekarang berganti dengan nama upah minimum pekerja (UMP), yang setiap daerah berbeda-beda. Upah buruh yang kecil di Indonesia selalu dianggap menjadi daya tarik para investor untuk membangun usahanya. Namun, banyaknya aksi demontrasi dikhawatirkan akan menurunkan produktivitas nasional dan mengganggu ketertiban nasional. Para buruh adalah bagian dari rakyat yang harus diperjuangkan hak-haknya oleh para anggota dewan.
Namun, sayangnya serikat pekerja saat ini belum menjadi kekuatan politik, yang diperhitungkan oleh partai politik, sehingga tidak perlu demontrasi untuk memperjuangkan hak-hak mereka. Jumlah buruh yang banyak sebenarnya menjadi lumbung suara. Jika tidak dikelola dengan baik, akan berubah liar. Isu tenaga kerja asing, misalnya bisa dimanfaatkan oleh partai oposisi, untuk merebut dukungan politik, sekaligus melemahkandukungan buruh kepada Presiden Jokowi. Padahal, Jokowi sudah berhasil membangun citra merakyat, orang yang sederhana dan tidak memililki beban sejarah dengan masa lalu.
Hubungan industrial antara pengusaha dan buruh sebaiknya meniru Jepang. Para buruh dianggap keluarga oleh pengusaha. Karena itu, kesejahteraan buruh di Jepang termasuk tinggi. Para pengusaha di era milenial ini mulai sadar bahwa buruh bukanlah sebagai beban produksi tapi sebagai aset yang memiliki nilai. Untuk memperkuat loyalitas karyawan, misalnya banyak perusahaan yang menawarkan saham kepada karyawannya. Perusahaan yang dibangun dengan kesadaran sebagai “milik bersama”, diyakini akan menaikan produktifitas.
Bisa ditiru juga, gaya Google memperlakukan karyawannya, mereka bekerja dengan pakaian santai, dan area kantor disulap menjadi area cafe dan tempat hiburan senyaman seperti rumah. Orang bekerja tentu bukan sekedar karena gajinya yang tinggi. Kenyamanan lingkungan kerja dan hubungan kekeluargaan menjadi perekat loyalitas, yang pada akhirnya akan menaikan produktivitas
Di hari buruh internasional ini, tentu tidak cukup euforia peringatan dengan aksi demontrasi yang terkadang mengganggu lalu lintas dan ketertiban sosial. Buruh tidak identik dengan para pekerja pabrik. Mereka yang berdasi dan bekerja di gedung-gedung tinggi, seharusnya bergabung dalam satu solidaritas pekerja. Jumlah mereka banyak dan sudah saatnya, para pekerja menjadi kekuatan sosial politik yang ikut mewarnai kebijakan nasional.