Manuver Politik Gatot

GNR mendeklarasikan Gatot Nurmantyo sebagai calon presiden. Masih menunggu sinyal dari Prabowo

Manuver Politik Gatot
Jendral (Purn) Gatot Nurmantyo

MONDAYREVIEW- Spekulasi Gatot Nurmantyo akan terjun ke dunia politik, sudah terjawab. Kelompok yang menamakan diri Gatot Nurmantyo untuk Rakyat (GNR) Jumat kemarin mendeklarasikan mantan Panglima TNI ini siap maju sebagai calon presiden dalam Pilpres 2019. Para relawan yang mengklaim terdiri dari aktivis, nelayan, buruh, petani, pedagang, mahasiswa dan santri ini, mengaku memiliki cabang di 19 provinsi.

Namun, kekuatan relawan tentu tidak ada artinya, jika ada satu pun partai politik yang mengusung Gatot. Dalam wawancara di berbagai media baik menjelang pensiun maupun setelah pensiun, Gatot hanya mengatakan dirinya siap jika dibutuhkan oleh rakyat.

Dalam video perpisahan di lingkungan TNI, Gatot hanya mengatakan, "Hari ini dan ke depan adalah sebuah awal baru, ruang dan waktu yang InsyaAllah memungkinkan saya mencurahkan perhatian dan kasih sayang kepada keluarga, istri dan anak-anak serta tentu cucu saya. Sebuah tahapan pengabdian baru sebagai warga negara di negeri kaya raya yang sungguh saya cintai," katanya.

Bertepatan dengan Gatot yang mulai pensiun, spanduk bergambar dirinya pun bertebaran. Pada spanduk itu bahkan tertulis bahwa Gatot adalah pemimpin masa depan. Namun, Gatot tentu tahu diri, tidak bisa memaksakan diri terjun ke politik, jika tak ada partai politik yang meminangnya.

Meskipun, sempat bertemu dengan Prabowo Subianto, Ketua Umum Gerindra, tak ada pernyataan resmi bahwa Gerindra akan mengusungnya sebagai Capres. Sementara itu, banyak DPD Gerindra yang saat ini mendesak Prabowo untuk kembali mencalonkan diri sebagai presiden dalam Pilpres 2019. Sedangkan, PKS yang menjadi partai koalisi Gerindra, sudah memiliki 9 nama calon dari kadernya, yang akan ditawarkan ke Prabowo

Pencalonan Gatot Nurmantyo sebagai Capres kuncinya ada pada Prabowo. Jika ia memilih sebagai “King Maker”, tentu peluang Gatot lebih besar. Mereka memiliki hubungan yang dekat, sama-sama dari militer. Dua orang jenderal militer ini adalah pribadi yang saling mengagumi. Meskipun Prabowo lebih senior, lebih tua 8 tahun, selalu memanggil Gatot dengan sebutan jenderal. Prabowo lulusan 1974 dan Gatot lulusan tahun 1982.

Apalagi, kalau Gatot rela untuk masuk ke kepengurusan Gerindra. Gatot dianggap lawan yang sepadan bagi Jokowi, dan mampu bertarung dalam Pilpres 2019. Namun, sekali semuanya tergantung Prabowo.

Jika dihitung, agak sulit mengatakan Gatot akan menyeberang ke kubu Jokowi, mendampinginya sebagai cawapres. Meskipun pernah menjadi anak buah presiden sebagai Panglima TNI, sinyal keretakan hubungan keduanya sudah jelas terbuka.

Selama menjabat menjadi Panglima TNI, Gatot sering melakukan berbagai langkah kontroversial. Tentu saja Jenderal Gatot tidak secara ekspisit melawan Presiden Jokowi. Sebagai Panglima TNI, ia pernah mengungkap isu impor senjata "ilegal". Ternyata terbukti, impor senjata ini dilakukan secara resmi oleh Polri kendati tak ada rekomendasi dari TNI.

Gatot juga sempat mengusulkan TNI terlibat dalam penanganan terorisme dalam revisi Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003. Ia juga pernah memerintahkan tentara memutar Penumpasan Pengkhianatan G 30 S PKI-film yang sejak awal reformasi sudah dihentikan pemutarannya karena merupakan propaganda Orde Baru.

Ketika Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok diguncang tuduhan penistaan agama pada akhir 2016, Gatot diyakini ikut "bermanuver". Ia satu-satunya pejabat yang menemui demonstran 212 dengan memakai peci putih. Langkah ini dinyatakan Gatot sebagai upaya menaklukkan hati pemrotes, meski di pihak lain dipercaya sebagai keberpihakan Gatot pada para demonstran.

Gatot sempat disejajarkan kasusnya dengan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), yang juga pernah menjadi bawahan Presiden Megawati di kabinet. Hubungan keduanya retak. Namun, SBY sudah menyiapkan sekoci politik, setelah mengundurkan diri dari jabatan Menko Polkam. SBY mendirikan Partai Demokrat, kemudian menantang inkumben Megawati Soekarnoputri, dalam Pilpres 2004. SBY pun menang.

Gatot berbeda dengan SBY, ia tidak memiliki kendaraan politik. Aturan presidential threshold memperkecil jumlah tokoh yang berlaga dalam pemilihan presiden. Hanya partai politik atau gabungan partai politik dengan 20 persen kursi Dewan Perwakilan Rakyat atau 25 persen suara nasional yang bisa mengajukan pasangan calon presiden dan wakil presiden.

Jokowi sudah aman. Koalisi PDIP, Golkar, PPP, dan Hanura serta Nasdem sudah cukup. Sedangkan, kubu Prabowo hanya memiliki Gerindra dan PKS. Partai lainnya, seperti Demokrat, PAN dan PKB masih menunggu tawaran Jokowi yang lebih menguntungkan.

Berdasarkan berbagai hasil survei, elektabilitas Gatot masih jauh di bawah Prabowo. Hasil Survei Median Februari lalu menyebut elektabilitas Gatot ada di angka 5,5 persen. Sementara Jokowi elektabilitasnya 35 persen dan Prabowo 21,2 persen. Begitu juga hasil survei LSI pada Desember 2017 lalu, elektabilitas Gatot 7,5 persen,  masih jauh di bawah elektabilitas Jokowi 38,4 persen, dan Prabowo 24.6 persen.

Sebagai seorang Panglima TNI, Jenderal Gatot Nurmantyo nyaris ideal. Dia digambarkan dekat dengan anak buahnya. Berani bicara di depan publik. Gaya bicaranya tegas. Pemikirannya jelas dan punya nyali. Tapi publik juga tidak keliru jika menganggap semua manuver yang dilakukan oleh Sang Jenderal lebih didorong oleh keinginannya menjadi Presiden, atau setidaknya Wakil Presiden.

Apakah keinginan itu keliru? Jelas tidak. Di negara demokrasi, keinginan semacam itu tidak bisa dipersalahkan.

Sebelum pensiun, Jenderal Gatot dicopot dari jabatanya sebagai panglima TNI. Setelah pensiun, Gatot pun tak punya kendaraan untuk mempopulerkan dirinya lagi. Tentu, tak cukup relawan, Gatot butuh partai politik. Lebih realistis dan strategis lagi, ia bersedia menjadi kader partai