lidah Tak Bertulang, Macron Diminta Jaga Kata Karena Data Tak Bisa Dibohongi
Tutur kata yang terlontar dari Macron seperti Filosofi "lidah tak bertulang" menjadi gambaran tajam dan lenturnya mulut dalam berbicara.

MONITORDAY.COM - Pidato Presiden Prancis Emmanuel Macron 2 oktober lalu dinillai menuai kegaduhan publik. Tutur kata yang terlontar dari Macron seperti filosofi "lidah tak bertulang" menjadi gambaran tajam dan lenturnya mulut dalam berbicara.
Seyogyanya, Presiden Macron yang menjunjung tinggi hak asasi manusia dan berbagai embel-embel moto Liberté, Egalité, Fraternité yang kemudian dimantapkan sebagai prinsip Negeri Eiffel yang disertai dengan kejernihan pikiran dan keluhuran hati sehingga mampu berpikir sebelum mengeluarkan pernyataan yang tak berharga tersebut.
" Mr President, You'd better think first before articulating a particular statement. Dalam filsafat Jawa dan ungkapannya, bahwa manusia itu ditentukan oleh lidahnya, bukan giginya maupun bibirnya. Ajining manungso iku soko ing lathi.," ujar Akademisi Universitas Muhammadiyah Cirebon, Ikariya Sugesti, S.S., M.Pd kepada Monitorday.com, Senin (2/11/2020).
Buntut dari ujaran Sang Presiden, justru anarkisme banyak terjadi karena saling ejek dan perang kata-kata kasar. Di satu sisi, semangat Prancis yakni menuntut kebebasan berbicara dengan alasan menghargai ragam berpendapat.
Di lain sisi, kebebasan yang terbangun justru sangat liar karena pendapat atau pernyataan yang dilontarkan tak sesuai realitas alias mengada-ada.
Realitasnya, kata Ikariya yang saat ini sedang menempuh studi doktoralnya di UNNES ini, lidah dalam ilmu Bahasa (linguistics) disebut organ ucapan (organ of speech) dan sangat produktif sebagai alat artikulasi (articulator).
Patut disyukuri, karena lidah yang diberikan Yang Maha Kuasa membantu membuat kata yang keluar dari mulut ini tidak hanya nyaring bunyinya tapi dalam maknanya.
Tanpa disadari bahwa kata-kata yang keluar dari mulut sesungguhnya memiliki kuasa. Bukan mustahil ucapan tersebut bisa menjadi kenyataan. Boleh jadi pahit, bisa juga manis karena berbahasa itu soal rasa dan asa.
Karenanya, memperkatakan hal-hal yang optimistis, membangun, dan penuh keyakinan jauh lebih tepat daripada memproduksi kata-kata tak mendasar yang berpotensi pada cerminan kepribadian personal.
"Kata yang terucap itu refleksi dari kepribadian seseorang," imbuhnya.
Namun jika menengok lebih jauh ke belakang, yang dilakukan Macron adalah rentetan dari sejarah panjang yang mengkhawatirkan. Sejarah propaganda dan kabar palsu mewarnai sejarah negeri yang dijuluki kiblatnya fashion eropa bahkan dunia.
Orkestra kata yang membenarkan yang salah dan menyalahkan yang benar adalah sebuah fakta yang terekam dengan baik, bahkan tertulis sejarahnya.
Lebih dari itu, ucapan Macron ini sebenarnya melanjutkan tradisi yang salah yang sudah diawali sejak lama oleh pendahulunya. Lantas apa saja jejak kebohongan yang diframing sedemikian rupa sehingga menjadi seolah-olah benar adanya?
Kebohongan Puisi Babad Roland
Puisi itu berkisah soal pertempuran antar pahlawan Frankis, Roland di bawah kekuasaan Raja Charlemagne melawan invasi asing pada akhir abad ke-8.
Dalam kisah puitis tersebut, pasukan Muslim digambarkan demikian brutal dan keliru. Umat Islam diceritakan menyembah Muhammad; Apollo, dewa bulan dari Yunani; dan seorang dewi lainnya bernama Termagant. Muslim digambarkan sebagai anti-Kristus yang harus dilenyapkan dari muka bumi.
Faktanya, pasukan Charlemagne yang dipimpin Roland sedianya bukan berperang pasukan Muslim melainkan pasukan pagan/kristen kerajaan Basque di utara Spanyol pada pertempuran di Roncevaux pada 778 itu.
Ironisnya, Charlemagne justru dapat dukungan pasukan dari sebagian pasukan Islam dari Spanyol.
Kebohongan Paus Urban II
Dalam naskah pidatonya kala itu, Paus Urban II menceritakan bagaimana Muslim di Palestina memerkosa perempuan Kristen, mengalirkan darah di air baptis serta altar gereja.
Paus Urban juga menceritakan bagaimana umat Islam secara kejam melakukan pembunuhan, mutilasi, dan penyiksaan. Namun faktanya, catatan valid dari pihak umat Islam dan gereja timur, serta analisis sarjana barat bahwa nyaris seragam tak terjadi hal-hal keji seperti tuduhan keji Paus Urban II sepanjang Yerusalem dikuasai Muslim.
Tak ada pembantaian terhadap penduduk setempat seperti saat kota itu ditaklukkan pasukan Perang Salib. Tiga pemeluk agama yakni Islam, Kristen dan Yahudi dapat hidup berdampingan dan rukun.
Kebohongan Perang Libya
Presiden Nicolas Sarkozy pada 2011 silam kala itu, berhasil meyakinkan NATO melakukan agresi militer ke Libya untuk menumbangkan Muammar Qaddafi.
Penyelidikan yang dilakukan Parlemen Inggris pada 2015 kemudian menyimpulkan bahwa agresi tersebut tak beralasan. Dengan kata lain, Prancis membohongi sekutu-sekutunya untuk terjun dalam perang yang memporak-porandakan Libya hingga saat ini.
Komisi Hubungan Luar Negeri Inggris menyimpulkan dalam investigasinya, tak benar bahwa Qaddafi akan melakukan pembantaian massal terhadap warganya seperti yang digembar-gemborkan Prancis.
Setidaknya, tak cukup bukti-bukti pada 2011 bahwa Qaddafi berencana melakukan pembantaian tersebut.
Kesimpulan dari perang Libya, ternyata ada motif ekonomi dan politik dibalik invasi Prancis. Bocoran email kepada Menlu AS Hillary Clinton yang ikut mendukung serangan itu menunjukkan bahwa Prancis khawatir dengan rencana Qaddafi membentuk mata uang tunggal di Afrika berlandaskan dinar dan dirham.
Jika rencana itu berlangsung, cengkeraman perekonomian Prancis di negara-negara Afrika bekas jajahan bakal musnah.
Sebagai seorang akademisi, apa yang harus dilakukan?
Selanjutnya, apa yang harus dilakukan, Lanjut Dosen Bahasa Inggris FKIP UMC, perlu tingkatkan kemampuan berpikir menghadapi era globalisasi yang didalamnya terdapat kebohongan dan kepalsuan yang merambah dan tersuguhi di seluruh kanal informasi.
Sebab pada era globalisasi atau era kemajuan ini, tidaklah sulit mencetak SDM yang cerdas, berpikiran terbuka, dan berkembang. Namun apakah itu cukup? tentu tidak. SDM yang tidak cuma otaknya tapi hatinya, nilai-nilai kemanusiaannya dan takut kepada Tuhan. Harapannya, narasi yang terucap dari mulut yang berilmu itu produktif dan menyejukkan.
"Jika SDMnya dibarengi dengan kesalehan ilmu, maka informasi yang diberikan juga produktif. Namun sebaliknya, apabaila SDM yang tidak didasari pada rujukan Tuhan, maka, kecakapan ilmunya hanya menjadi musibah," ungkap Ikariya.
Kapasitas berpikir saja tidak cukup, perlunya literasi keagaaman yang dapat memenuhi ruang-ruang pemikiran yang sudah dibanjiri dengan informasi yang tak berimbang.
"Sebagai Muslim, saya akan merujuk pada nasehat Nabi Muhammad bahwa akan ditinggalkannya 2 perkara bagi seorang Muslim untuk selamat dunia akhirat. Al-hadist dan Al-Qur'an wajib memenuhi setiap nafas agar kita tidak hanya sekedar tahu tapi sadar. Dinamika dan ujian itu pasti ada hingga akhir zaman. Kita doakan agar Macron mendapatkan hidayah dan mau mempelajari keindahan Islam yang sebenarnya. Contohilah Nabi sebagai ushwah kita semua," pesan Ikariya.
Sumber-sumber tulisan:
- Antonio A. García, In the Shadow of a Mosque: Mapping the "Song of Roland", 2010.
- August. C. Krey, The First Crusade: The Accounts of Eyewitnesses and Participants, 1921.
- Karen Armstrong, Holy War, 1988.
- Tamim Ansari, Destiny Disrupted: A History of the World Through Islamic Eyes, 2009.
- House of Commons Foreign Affairs Committee, Libya: Examination of intervention and collapse and the UK’s future policy options Third Report of Session, 2016–17.
- https://wikileaks.org/clinton-emails/emailid/6528.