Komunikasi Publik di Awal Pandemi: Perbandingan Indonesia dan Korea Selatan

PANDEMI Covid-19 yang melanda dunia menimbulkan krisis di pelbagai sektor kehidupan, mulai dari krisis kesehatan, ekonomi, politik hingga informasi. Krisis ini mengharuskan pelbagai negara untuk memberikan respons yang cepat, tepat dan komprehensif. Semua orang diharuskan untuk berdiam diri di rumah, meminimalisir aktivitas luar ruang dan kontak fisik dengan orang lain, menghindari kerumunan, dan berperilaku hidup sehat demi memutus rantai penyebaran virus.
Kondisi yang dipersyaratkan tersebut adalah kondisi yang berat bagi siapa pun; bagi pemerintah yang harus melakukan pengetatan mobilitas, bagi pelaku usaha yang harus melakukan transformasi usahanya, dan bagi semua orang yang mobilitasnya dibatasi. Dengan kondisi yang demikian, Pandemi Covid-19 merupakan multiple crisis, krisis di segala sektor kehidupan.
Kerja sama antar elemen diperlukan; antara pemerintah dengan kebijakannya dan masyarakat dengan ketaatannya pada protokol kesehatan. Kerja sama ini bisa dijalin dengan merajut kepercayaan publik (public trust) dengan menerapkan komunikasi publik yang transparan dan berbasis pada sains. Tanpanya, kepercayaan publik akan sulit terbentuk, bahkan masyarakat akan cenderung konspiratif yang kemudian berimplikasi pada menurunnya tingkat kepatuhan masyarakat pada protokol kesehatan.
World Health Organization (WHO) mempublikasikan WHO strategic action and resource requirements to end the acute phase of the COVID-19 pandemic 2021, yang salah satu isinya adalah penguatan komunikasi resiko (risk communication) dan managemen infodemi. Oleh karena itu, kemampuan pemerintah dalam melakukan komunikasi publik merupakan komponen penting dalam mengatasi Pandemi Covid-19. Hal ini karena kita tidak hanya berperang melawan pandemi, melainkan juga melawan infodemi, di mana informasi lebih banyak dan lebih cepat menyebar ketimbang virus itu sendiri. Hoax, disinformasi, dan misinformasi harus diminalisir. Apalagi, kita sedang berada di mana teknologi dan informasi berkembang pesat dan setiap orang dapat menggunakannya sesuai dengan keinginan dan preferensi dirinya sendiri.
Untuk itu, pemerintah harus melakukan komunikasi publik yang transparan dan berbasis pada sains demi menghasilkan informasi yang akurat dan tidak simpang siur. Dalam tulisan ini, saya akan mencoba menganalisis dan membandingkan bagaimana peran pemerintah Indonesia dan Korea Selatan dalam melakukan komunikasi publik di awal pandemi.
Komunikasi Publik Pemerintah Indonesia
Covid-19 berawal di Wuhan, China pada penghujung tahun 2019. Di Indonesia, kasus positif Covid-19 terjadi pada awal Maret 2020. Namun, sebelum ditemukannya kasus positif di Indonesia, pemerintah Indonesia terkesan meremehkan virus ini, dengan dibuktikan beberapa pernyataan pejabat publik. Padahal masa-masa awal adalah masa yang sangat menentukan.
Beberapa komentar pejabat publik yang terkesan meremehkan Pandemi Covid-19, antara lain: Menteri Kesehatan (yang telah menjadi mantan) Terawan Agus Putranto menyatakan belum ada satu pun warga Indonesia dan warga negara asing yang terinfeksi Covid-19 di Indonesia karena doa masyarakat Indonesia, sehingga pemerintah meminta masyarakat untuk santai menghadapi Covid-19; Menteri Koordinator Perekonomian Airlangga Hartanto berkelakar —sebagaimana dinyatakan oleh Menteri Hukum dan HAM Mahfud MD dalam akun Twitternya— bahwa virus corona tidak masuk ke Indonesia karena perizinan di Indonesia berbelit-belit; dan Menteri Perhubungan Budi Karya menyampaikan bahwa masyarakat Indonesia memiliki kekebakaln tubuh karena setiap hari makan ‘nasi kucing’.
Komentar pejabat publik tersebut sangatlah disayangkan karena terjadi tumpah tindih dalam melakukan komunikasi publik di masa krisis, yang seharusnya di bawah kendali Satuan Tugas Covid-19 (Satgas Covid-19). Komunikasi publik di masa krisis seharusnya dilakukan dengan satu pintu, untuk menghindari tumpah tindih informasi dan untuk menghasilkan informasi yang akurat. Walaupun kemudian, setelah beberapa waktu, semua komunikasi publik di masa pandemi dilakukan oleh Satgas Covid-19 melalui konferensi pers secara rutin dan platform media sosial.
Selain itu, untuk meminimalisir hoax, disinformasi dan misinformasi, Kementrian Komunikasi dan Informasi Republik Indonesia aktif melakukan dua pendekatan, yaitu: pertama, soft approach dengan memperkuat masyarakat lewat literasi digital agar tidak mudah percaya terhadap suatu informasi; dan kedua, melalui hard approach dengan pemblokiran dan kontra narasi terhadap hoax terkait Covid-19.
Komunikasi Publik Pemerintah Korea Selatan
Berbeda dengan Indonesia yang cukup kelabakan dalam merespons Covid-19, Korea Selatan diakui internasional karena kesuksesannya menangani Covid-19. Kesuksesan ini ditopang oleh komunikasi publik Pemerintah Korea Selatan yang transparan dan berbasis pada bukti dan sains, sehingga menghasilkan informasi yang akurat dan terpecaya. Alhasil, kepercayaan publik terhadap pemerintah meningkat, yang berbanding lurus dengan meningkatnya kepatuhan warga negara terhadap protokol kesehatan.
Tingginya kepercayaan publik (public trust) masyarakat Korea Selatan karena Pemerintah Korea Selatan menangani pandemi dengan transparan dan tepat di bawah naungan The Korean Centre for Disease Control (KCDC). Apalagi, KCDC memiliki Communication Office yang bertugas melakukan komunikasi publik di masa pandemi. Pusat informasi memiliki peran sentral dalam menyampaikan informasi yang akurat dan sainstifik terkait Covid-19.
Pada saat Covid-19 merebak di Gereja Shincheonji di Daegu, Pemerintah Korea Selatan langsung bertindak dua kali lipat dengan melakukan contact tracing pada orang-orang yang terlibat dalam pertemuan di gereja tersebut. Selain itu, untuk memproduksi infodemi yang akurat dan terpecaya, dengan Korean Disease Control and Prevention Agency (KDCA), setiap kementrian harus memproduksi konten digital dalam bentuk presentasi dan video-video pendek.
Untuk mengatasi hoax dan misinformasi terkait Covid-19 —meskipun jumlahnya sangat minim— Korean Communications Commission (KCC) berkoordinasi dengan kementrian terkait untuk melakukan kontra narasi agar penangan Pandemi Covid-19 dapat berjalan dengan baik. Di samping itu, KCC bekerja sama dengan media televisi dan media massa untuk menyebarkan infodemi yang akurat kepada masyarakat.
Berdasarkan penjelasan tersebut, kedua negara memiliki cara tersendiri dalam merespons Pandemi Covid-19. Komunikasi publik yang transparan untuk meningkatkan kepercayaan publik adalah komponen penting yang harus dilakukan oleh pemerintah. Di awal pandemi, Indonesia masih kewalahan dalam memberikan emergency response —bahkan kewalahan ini disumbangkan oleh pejabat publik itu sendiri— sedangkan Korea Selatan melakukan strategi komunikasi publik yang lebih baik sehingga berhasil memperoleh kepercayaan publik.
===================
*Melfin Zaenuri, Mahasiswa Magister Ilmu Politik, Universitas Indonesia.