Kewajiban Membaca Buku di Masa Kolonial Belanda

Salah satu keunggulannya seperti dituturkan penyair Taufik Ismail bahwa sepanjang duduk di bangku SMA era kolonial, siswanya diwajibkan membaca 25 judul novel yang berbahasa Inggris, Perancis, Jerman, Belanda.

Kewajiban Membaca Buku di Masa Kolonial Belanda
Ilustrasi (ditpsmp)

MONDAYREVIEW.COM - Generasi literat memiliki contoh otentik. Simaklah  maskawin Mohammad Hatta yakni sebuah buku karyanya yang berjudul “Alam Pikiran Yunani”. “Alam Pikiran Yunani” merupakan buku panduan yang mengulas pemikir Yunani kuno seperti Pythagoras, Plato, Aristoteles, dan Sokrates. Buku tersebut ditulisnya saat pembuangan di Digul sekitar tahun 1934. Saat itu, Hatta memboyong 16 peti buku. Hatta memang seorang kutu butu tulen, terbukti ketika Wapres pertama Indonesia tersebut wafat pada tahun 1980, ia meninggalkan 30 ribu judul buku dalam perpustakaan pribadinya.

Kelahiran generasi pemikir yang mencintai literasi tersebut tak bisa dilepaskan dari sistem pendidikan Belanda. Salah satu keunggulannya seperti dituturkan penyair Taufik Ismail bahwa sepanjang duduk di bangku SMA era kolonial, siswanya diwajibkan membaca 25 judul novel yang berbahasa Inggris, Perancis, Jerman, Belanda. Sedangkan menurut mantan Perdana Menteri Indonesia, Mohammad Natsir di AMS, ia diwajibkan membaca sekitar 36 buku dalam berbagai bahasa, hanya untuk menghadapi ujian satu mata pelajaran.