Kemenangan Jokowi dan Momentum Merawat Kesantunan

Pemimpin ideal untuk masa depan Indonesia adalah sosok yang senantiasa bisa menjaga tutur kata, mengutamakan kerja ketimbang mengumbar amrah. Dan kriteria itu ada dan mengakar kuat dalam diri Jokowi.

Kemenangan Jokowi dan Momentum Merawat Kesantunan
Jokowi dalam Kampanye penutup di GBK
Meski dalam deklarasi perang sekalipun seseorang harus mempelajari aturan-aturan kesopanan.

Perhelatan Pilpres 2019 telah kita lalui, dari hasil hitung cepat (quick qount) sejumlah lembaga survei maupun perhitungan suara (real count) KPU sementara, pasangan nomor urut 01 berhasil unggul. Dengan persentase dan selisih suara yang cukup jauh, tampaknya posisi ini tidak akan  mengalami perubahan.

Ada banyak kisah dan catatan yang dapat ditulis dan menjadi bahan evaluasi untuk kemajuan demokrasi dan masa depan kehidupan berbangsa dan bernegara kita. Selain soal teknis pelaksanaan pemilu, juga soal mutiara paling berharga yang selama pelaksanaan Pemilu 2019 nyaris hilang, yaitu sopan santun dan nilai-nilai ketimuran kita.

Tak dapat dipungkiri, di sepanjang pelaksanaan Pemilu Serentak 2019, jika kita buka media sosial, apa yang ada di dalamnya adalah saling hujat dan saling menejelekkan satu sama lain. Tidak ada lagi jarak dan batasan apa pun yang menjadi penghalang, siapa pun bisa meyampaikan pendapat, kritik, hujatan, bahkan sumpah serapah kepada orang lain.

Ada pula penggiringan opini bahwa pemimpin yang marah-marah itu sangat bagus dan bahkan dibuat menjadi populer. Tentu saja ini tidak sehat, karena terkesan menghalalkan segala cara yang tidak menunjukkan jati diri bangsa kita. Nilai-nilai ketimuran, adat istiadat dan sopan santun adalah ciri dari bangsa kita.

Selintas pintas, dari pemberitaan media dan tangkapan mata kamera yang beredar di media sosial, publik Indonesia seperti telah larut dalam pusaran opini tentang sosok pemimpin ideal masa depan Indonesia; yang tegas, bersuara keras, dan gemar marah-marah. Apalagi bila melihat militansi, perilaku, keaktifan massa yang hadir di pawai-pawai akbar.

Tapi ternyata, hari ini kita bisa melihat bila kunci kemenangan dalam pemilu 2019 bukan pada pusaran opini tersebut, meminjam ungkapannya Denny JA, justru ada pada massa yang diam dan tersembunyi (silent majority), yang jauh dari pemberitaan publik, menghindar dari perdebatan di media sosial atau bahkan di teras-teras rumah kita.

Bagi mereka, para silent majority, pemimpin ideal untuk masa depan Indonesia adalah sosok yang senantiasa bisa menjaga tutur kata, mengutamakan kerja ketimbang mengumbar amrah. Dan kriteria itu menurut mereka masih ada dan mengakar kuat dalam diri Jokowi.

Ketegasan memang diperlukan dalam menjalankan roda kepemimpinan. Namun ketegasan tentu tidak selalu dilandasi sikap emosional apalagi jika emosi itu berlebih-lebihan, memperlihatkan nafsu amarah.

Apalagi ini Indonesia, dengan beragam watak, bahasa, dan budaya. Tentu tak mudah untuk diseragamkan dengan amarah, perlu kepala yang dingin, tenang dan lebih sering mendengar daripada mengumbar kata.

Para bijak bestari mengatakan, bahwa kemarahan adalah salah satu dari 10 pintu setan dalam menyesatkan manusia. Itulah sebabnya, dalam sebuah hadis disebutkan, jika kita terjebak dalam kemarahan maka berlindunglah kepada Allah. Redamlah kemarahan itu, lalu mendekatlah kepada-Nya.

Di era kepimpinannya, Jokowi memberikan banyak sekali terobosan baru yang bermanfaat bagi masyarakat, namun ternyata masih ada juga yang menyinyirnya. Jokowi sadar, dirinya hidup di alam demokrasi, senantiasa dibumbui pro dan kontra.

Meski begitu, ia tak lantas murka. Sebaliknya ia cerna sikap sebagian orang itu dengan tetap tenang tanpa marah-marah. Ia juga tak pernah berusaha untuk membalas orang-orang yang menyinyirnya. Jokowi tetap menjaga sopan santunnya.

Otto Von Bismarck pernah mengatakan, bersikaplah sopan, tulislah dengan diplomatis; meski dalam deklarasi perang sekalipun seseorang harus mempelajari aturan-aturan kesopanan.

Begitulah Jokowi, yang meskipun berkali-kali dipancing emosinya di acara debat kandidat, ia tetap pada jati dirinya. Berusaha tenang dan berusaha untuk tidak terpancing emosinya.

Sebetulnya, bukan di Pilpres 2019 saja Jokowi bersikap demikian. Hal ini terbukti dengan beredarnya foto lawas Jokowi mencium tangan presiden RI keempat yaitu KH Abdurrahman Wahid alias Gus Dur.

Dari foto itu nampak betul, ternyata perilaku Jokowi yang kerap menunduk dan mencium tangan tokoh atau orangtua yang dianggap baik sudah menjadi karakter mantan Walikota Solo ini.

Sejumlah sumber yang memperlihatkan Jokowi menunduk dan mencium tangan sejumlah tangan tokoh berpengaruh.

Foto lain yang juga viral misalnya adalah foto dirinya yang tengah menjadi makmum shalat Ketua Umum PP Muhammadiyah, Haedar Nashir. Jokowi juga nampak akrab dan memperlihatkan kesopanannya saat bertemu Haedar Nashir.

Setiap kali diundang ke acara-acara PP Muhammadiyah, Jokowi selalu bisa datang dan berbaur dengan mudah. Seperti pada acara peresmian rusunawa di Ponpes Darul Arqam Muhammadiyah Garut, yang meski dalam kondisi hujan, Jokowi tetap melayani para santri dan asatid untuk berfoto bareng. Jokowi tak pernah memberi jarak dengan warganya, pun juga dengan warga Muhammadiyah.

Muhammadiyah seperti disebut Sekretaris Umum PP Muhammadyah, Abdul Mu’ti, bahkan memiliki hubungan yang sangat dekat dengan Presiden Jokowi daripada presiden sebelumnya.

"Ya alhamdulillah kami punya komunikasi dan kedekatan yang sangat baik dengan kedua-duanya," ungkap Abdul, di acara 'Primetime News' dalam channel YouTube Metrotvnews, pada Jumat (15/2/2019).

"Dengan Pak Jokowi kami sangat dengat, bahkan kalau kami boleh jujur dibandingkan dengan presiden yang sebelumnya, Pak Jokowi ini termasuk presiden yang paling banyak melakukan kunjungan ke Muhammadiyah," lanjutnya.

"Dua kali sidang tanwir yang sebelumnya di Ambon dibuka oleh Bapak Presiden, yang kali ini juga dibuka oleh beliau," sambungnya.

‘False leader is loss of adab,’ demikianlah semestinya seorang pemimpin memimpin negerinya. Bahwa sopan santun dan etika sudah melekat erat dalam dirinya, bukan dibuat secara dadakan.