Kebaya, Peci & Pekik Kemerdekaan Indonesia

Kebaya juga muncul sebagai penanda identitas sebagai bangsa yang baru saja merdeka. Di tahun 1940-an, laki-laki menggunakan jas dan peci hitam sebagai seragam dan perempuan menggunakan kebaya.

Kebaya, Peci & Pekik Kemerdekaan Indonesia
Pameran Lukisan Koleksi Istana Kepresidenan RI bertajuk Ibu Pertiwi (rappler)

MONDAYREVIEW.COM – Tentu sidang pembaca masih mengingat kisah dan filosofi dari peci seperti dituturkan oleh Sukarno. Sukarno ketika itu masihlah seorang pemuda berusia 20 tahun. Sebelum masuk ke ruang rapat Jong Java di Surabaya Juni 1921, Sukarno berdebat dengan dirinya sendiri.

“Apakah engkau seorang pengekor atau pemimpin?”

“Aku seorang pemimpin.”

“Kalau begitu, buktikanlah,” yakin Sukarno kepada dirinya sendiri. “Majulah. Pakai pecimu. Tarik nafas yang dalam! Dan masuklah ke ruang rapat… Sekarang!”

Di ruang rapat Jong Java, kaum intelegensia ternganga melihat tampilan Sukarno. Mereka, kaum intelegensia, membenci pemakaian blangkon, sarung, dan peci karena dianggap cara berpakaian kaum lebih rendah.

Sukarno pun memecah hening dengan berbicara:”…Kita memerlukan sebuah simbol dari kepribadian Indonesia. Peci yang memiliki sifat khas ini, mirip yang dipakai oleh para buruh bangsa Melayu, adalah asli milik rakyat kita. Menurutku, marilah kita tegakkan kepala kita dengan memakai peci ini sebagai lambang Indonesia Merdeka.”

Itulah awal semula Sukarno mempopulerkan pemakaian peci, seperti disarikan dalam buku Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia yang ditulis Cindy Adams. Seperti dilansir Historia, Sukarno menyebut peci sebagai “ciri khas saya…simbol nasionalisme kami.” Sukarno mengkombinasikan peci dengan jas dan dasi. Ini menurut Sukarno untuk menunjukkan kesetaraan antara bangsa Indonesia (terjajah) dan Belanda (penjajah).

Busana ternyata bermakna banyak. Pun begitu dengan kebaya. Simaklah makna yang lebih mendalam dari kebaya yang terungkap dalam Pameran Lukisan Koleksi Istana Kepresidenan Republik Indonesia yang bertajuk Senandung Ibu Pertiwi.

Pada 1827 pemerintah kolonial Belanda menetapkan bahwa penduduk harus berpakaian sesuai dengan latar belakang etnisnya. Hal ini untuk mempermudah identifikasi golongan sosial dari seseorang dan juga menunjukkan hegemoni pemerintah. Aturan ini juga dibuat agar penduduk dari etnis lain tidak menggunakan pakaian bangsa Barat dan mempertegas batas-batas kelas sosial di tengah masyarakat kolonial. Batasan berpakaian tersebut sedikit banyak terlebur dalam penggunaan kebaya dan batik.

Seperti dituliskan Chrstine Claudia Lukman, Yasraf Amir Piliang, dan Priyanto Sunarto bahwa kebaya dapat digunakan oleh perempuan dari tiga etnis yakni pribumi, Tionghoa, dan Belanda sehingga kebaya merupakan fenomena yang cukup unik pada masa tersebut. Secara praktis, kebaya dipilih menjadi pakaian sehari-hari karena dinilai paling nyaman digunakan di tengah iklim tropis.

Kebaya juga muncul sebagai penanda identitas sebagai bangsa yang baru saja merdeka. Di tahun 1940-an, laki-laki menggunakan jas dan peci hitam sebagai seragam dan perempuan menggunakan kebaya.

Kebaya menjadi kian terteguhkan dengan kerap tertemui pada lukisan koleksi Istana Kepresidenan Republik Indonesia. Perempuan-perempuan tersebut kerap digambarkan berpose individual dan mandiri. Keanekaragaman potret perempuan berkebaya seakan menjadi ragam pengayaan dari idealisasi perempuan Indonesia.

Jika sidang pembaca memiliki kesempatan waktu, bertempat di Galeri Nasional Indonesia hingga 30 Agustus 2017 dapatlah disimak lukisan para perempuan berkebaya. Lukisan-lukisan yang ternyata memiliki lapisan filosofi di balik guratan warnanya.