Kalah Perang Dagang dan Biologi dari China, Apakah Amerika Tempuh Perang Fisik?
Amerika Serikat berupaya menjungkalkan China dengan berbagai cara. Mungkinkah coronavirus bagian dari kampanye hitam AS memenangkan perang dagang atas China? Boleh percaya atau tidak. Harus diingat, Amerika Serikat dan China menggaungkan perang dagang sejak 2018.

MONITORDAY.COM - Amerika Serikat berupaya menjungkalkan China dengan berbagai cara. Mungkinkah coronavirus bagian dari kampanye hitam AS memenangkan perang dagang atas China? Boleh percaya atau tidak. Harus diingat, Amerika Serikat dan China menggaungkan perang dagang sejak 2018.
Tak bisa dipungkiri jika wabah ini telah membuat publik dunia tersentak dan merana. Virus penyebab pneumonia misterius ini pertama kali ditemukan di Wuhan, China, sejak akhir 2019.
Berdasarkan laporan dari Komisi Kesehatan Nasional China, sudah 170 orang meninggal dunia dengan jumlah kasus yang mencapai 7.711 kasus terkait coronavirus.
Sementara itu, banyak warga China yang berpendapat bahwa Virus Corona justru senjata biologi milik AS untuk melumpuhkan China, setelah Paman Sam kalah perang dagang selama dua tahun. Perang ini meletus setelah Presiden AS Donald Trump menerapkan tarif impor pada 2018.
Paman Sam makin keras kepala
Berbagai umpatan hingga kebijakan paling tegas, baik dari Amerika Serikat dan China membuat publik dunia mulai menebak, perang apa lagi yang bakal dilakukan salah satu negara adikuasa.
Amerika Serikat yang terkanal keras kepala dan mengkalim sebagai Polisi Dunia memang getol berbuat semaunya. Dari sekian perang akal-akal Amerika Serikat, mulai dari Vietnam, Afghanistan, keberpihakannya kepada Israel hingga pembunuhan berbagai Tokoh yang tidak disenanginya.
Perang Irak, salah satu contoh, dimana Amerika Serikat dengan tegas menuduh tanpa bukti bahwa rezim Saddam Husen menyimpan senjata biologis bahkan nuklir. Tidak menunggu waktu yang lama, Amerika dengan kepongahannya melakukan operasi fajar hingga rezim Sadam Husen terjungkal.
Pendudukan Amerika Serikat pun menyibak cerita duka karena setelah jutaan warga sipil tak berdosa syahid, 1 jenis bom nuklir pun tidak ditemukan.
Lain cerita dengan Tiongkok.
Metode Negeri Tirai bambu lebih menggunakan pendekatan ekonomi untuk menduduki negara yang diinginkannya. Tiongkok berdalih menerapkan "The New Silk Road atau Jalur Sutra yang merupakan jalur perdagangan kuno yang menghubungkan Cina dan negaranegara yang ada di Asia dan Eropa.
Cina di bawah pemerintahan Presiden Xi Jinping ingin membangun kembali jalur sutra baru membangun berbagai infrastruktur seperti jalan raya, jalur kereta api, pelabuhan, dan pipa gas.
Pembangunan infrastruktur ini bertujuan untuk meningkatkan konektivitas negara-negara Asia, Eropa, dan Afrika. "The New Silk Road: One Belt One Road" (OBOR)merupakan sebutan dari kebijakan dalam pembangunan kembali jalur ini.
Cina dalam merealisasikan kebijakan ini melakukan banyak sekali kerjasama-kerjasama dengan berbagai negara di wilayah tersebut dan menginvestasikan banyak dana untuk proyek-proyek besar di dalamnya. Di balik itu, Cina memiliki berbagai kepentingan dalam pembangunan The New Silk Road yang akan menguntungkan Cina di bidang ekonomi maupun politik.
Patut dicurigai, kepentingan kebijakan OBOR di Indonesia dengan menggelontorkan utang kepada Indonesia tengah menjadi perhatian. Tiongkok berdalih investasinya untuk membiayai proyek-proyek infrastruktur di Indonesia. Namun apakah Tiongkok tidak punya kepentingan dengan Indonesia yang sangat kaya sumber daya alamnya?
Peneliti di Institute dor Fevelopment of Economics and Finance (INDEF) Rizal Taufikurahman mengungkapkan, ada beberapa negara yang telah menggunakan skema utang dalam membiayai pembangunan infrastruktur, mulai dari Jepang, China, Korea Selatan, Angola, Zimbabwe, Nigeria, Sri Lanka. Akan tetapi pembiayaan infrastruktur melalui utang luar negeri tak selalu berjalan mulus, ada beberapa negara yang gagal bayar atau bangkrut.
"Jadi ada bad story dan success story. Yang bad story itu Angola, Zimbabwe, Nigeria, Pakistan dan Sri Lanka," ungkap Rizal saat diakusi dengan awak media di Kantor INDEF, Jakarta,beberapa pekan lalu.
Adapun kisah pahit negara yang gagal membayar utang dari utang luar negeri adalah Zimbabwe yang memiliki utang sebesar 40 juta dollar AS kepada China. Akan tetapi Zimbabwe tak mampu membayarkan utangnya kepada China, Hingga akhirnya harus mengganti mata uangnnya menjadi Yuan sebagai imbalan penghapusan utang.
Penggantian mata uang itu berlaku sejak 1 Januari 2016, setelah Zimbabwe tidak mampu membayar utang jatuh tempo pada akhir Desember 2015. Baca juga : Bangun Infrastruktur, Utang Luar Negeri Indonesia Naik Kemudian, kisah pahit selanjutnya dialami oleh Nigeria yang disebabkan oleh model pembiayaan melalui utang yang disertai perjanjian merugikan negara penerima pinjaman dalam jangka panjang.
Dalam hal ini China mensyaratkan penggunaan bahan baku dan buruh kasar asal China untuk pembangunan infrastruktur di Negeria.
Kemudian, ada Sri Lanka yang juga tidak mampu membayarkan utang luar negerinya untuk pembangunan infrastruktur, Sri Lanka sampai harus melepas Pelabuhan Hambatota sebesar Rp 1,1 triliun atau sebesar 70 persen sahamnya dijual kepada Badan Usaha Milik Negara (BUMN) China.
"Mereka membangun proyek infrastrukturnya lewat utang, akhirnya mereka tidak bisa bayar utang. Banyak beberapa negara, di antaranya Angola mengganti nilai mata uangnya. Zimbabwe juga," ungkapnya.
Tercatat, pada akhir 2014, utang pemerintah mencapai Rp 2.609 triliun dengan rasio 24,7 persen terhadap PDB. Sedangkan hingga akhir 2017, utang pemerintah mencapai Rp 3.942 triliun dengan rasio 29,4 persen.
Berdasarkan data Bank Indonesia (BI) Utang Luar Negeri Indonesia pada akhir Januari 2018 meningkat 10,3 persen (yoy) menjadi 357,5 miliar dollar AS atau sekitar Rp 4.915 triliun (kurs Rp 13.750 per dollar AS). Adapun rinciannya adalah 183,4 miliar dollar AS atau setara Rp 2.521 triliun utang pemerintah dan 174,2 miliar dollar AS atau setara Rp 2.394 triliun utang swasta
Gambaran diatas mengindikasi ke-2 raksasa ingin menjadi pertama menguasai dunia. Indikasi perang fisik antara Negeri Tirai Bambu dan Paman Sam kian tak terhindarkan. Akankah Amerika Serikat memilih perang fisik melawan Dinasti Xi Jin Ping setelah kalah perang dagang hingga hingga biologi dari Tiongkok. Kita tunggu saja.