Jokowi, Sneaker, dan Politik Kebersahajaan
Meski sederhana, namun dari sepatu ternyata kita bisa melihat kualitas hidup di sekeliling kita.

MONDAYREVIEW.COM – Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengunjungi pameran sepatu sneaker di sebuah pusat perbelanjaan di kawasan Senayan, Jakarta pada Sabtu (3/3). Selain untuk meluangkan waktu berakhir pekan bersama keluarga, Jokowi memanfaatkan kesempatan tersebut untuk melihat perkembangan pasar dan industri sepatu khususnya sneaker di Tanah Air.
“Ya, saya ingin melihat tren. Tren pasar seperti apa? Trens sepatu seperti apa?”, kata Jokowi kepada para pewarta.
Mengapa kita memilih sepatu tertentu dan bukan yang lain? Apakah pentingnya Jokowi mengunjungi pameran dan membeli sepasang sepatu, apakah sekadar ingin melihat tren pasar? Di tahun politik seperti saat ini, sejumlah tanya di atas niscaya mengembara di dalam kepala siapa pun.
Membeli sepatu memang biasa. Salah satu alasan kita memilih sepatu bisa jadi untuk melindungi kita. Atau agar nyaman saat berjalan serta terlindung dari kerikil yang bisa melukai telapak kaki. Kita ataupun siapa pun butuh kenyamanan agar sanggup berjalan dan bekerja dalam waktu cukup lama.
Namun ada banyak kisah bagaimana kemudian sepatu juga terkait dengan identitas dan peristiwa. Bisa pula sepatu mengisahkan protes politik dan ketakukan warga. Seperti insiden pelemparan sepatu oleh seorang pewarta di Irak terhadap pemimpin Amerika.
Ada pula anggapan bahwa memakai sepatu sebagai paksaan tradisi, karena nyatanya masih ada kelompok masyarakat kita yang hanya memakai sandal atau malah telanjang kaki alias nyeker. Ini lantaran tradisi menempatkan seseorang yang mengenakan sepatu sebagai yang lebih beradab ketimbang yang bersandal jepit.
Membangun identitas bisa juga melalui sepatu: brand sepatu (terkenal atau tanpa merek) jenis material sepatu (kulit atau imitasi), pilihan warna, desain sepatu (asli atau contekan), ragam aksesorinya, bahkan hingga jumlah sepatu dibuat untuk model tertentu yang kian mempertegas identitas pemakainya.
Sepatu juga merefleksikan cita rasa pemakainya: datang ke sebuah pesta atau acara formal namun anda memutuskan untuk memakai sepatu yang non formal, seperti pernah dilakukan Wagub Sandi Uno atau pun mantan Menteri BUMN Dahlan Iskan, bisa jadi pertanda ‘semangat kebekerjaan’ nya, yang tak mau diribetkan dengan segala formalitas.
Last but not least, sepatu ternyata dapat menjadi tamsil politik tertentu. Kisah sepatu Dahlan Iskan, Sandi Uno, Jusuf Kalla atau bahkan Hatta sebetulnya menggambarkan politik kebersahajaan mereka. Pilihan sepatu buatan dalam negeri ala JK, adalah refleksi dari poltik pembelaan dirinya terhadap ekonomi para pribumi. Sementara pilihan sepatu sneaker oleh Jokowi, adalah cara untuk mengungkapkan kebersahajaannya dalam melakoni politik.
Di luar apakah itu pencitraan atau tidak, namun menarik untuk menyimak kisah Bung Hatta dan Sepatu Bally. Pada zamannya, sepatu Bally adalah sepatu ternama. Bung Hatta, terpincut oleh keelokannya. Saking senangnya dengan sepatu ini, Bung Hatta kemudian menyimpan guntingan iklan sepatu beserta alamat penjualnya.
Namun apa boleh buat, tabungan Bung Hatta tak pernah cukup untuk membeli sepatu tersebut. Beberapa kali, uang Bung Hatta hampir terkumpul. Namun karena kebutuhan keluarga, lagi-lagi uang Bung Hatta berkurang. Sampai akhir hayatnya, sepatu bally idaman tak pernah terbeli. Padahal, bila hanya soal sepatu, tentu mudah bagi Bung Hatta.
Itulah sepatu, penuh warna dan cerita. Bersama rakyat jelata ia menuai cerita berharga. Sementara bersama penguasa, ia mampu memberi warna. Yah, meski sederhana, namun dari sepatu ternyata kita bisa melihat kualitas hidup di sekeliling kita. [Mrf]