Jokowi Dinilai Belum Sejahterakan Petani
Presiden Joko Widodo (Jokowi) selama hampir 4 tahun menjabat sebagai kepala negara dinilai belum berhasil menyejahterakan para petani, seperti apa yang selalu dikampanyekan presiden RI ke-7 itu.

MONITORDAY.COM - Presiden Joko Widodo (Jokowi) selama hampir 4 tahun menjabat sebagai kepala negara dinilai belum berhasil menyejahterakan para petani, seperti apa yang selalu dikampanyekan presiden RI ke-7 itu.
Hal ini disampaikan oleh Kordinator Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan (KRKP) Said Abdullah. Ia mengatakan hal tersebut bisa dilihat dari indikator kesejahteraan petani yang tak berubah dilihat dari indeks Nilai Tukar Petani (NTP).
"Dalam kurun waktu 2012-2016, NTP mengalami penurunan. Jika pada tahun 2014 NTP sebesar 101,95, lalu dua tahun setelahnya turun menjadi 101,49. Penurunan NTP ini selaras dengan terjadinya penurunan upah riil yang diterima buruh pertanian," kata dia dalam keterangan tertulis, Rabu, (12/12).
Said menjelaskan, pada tahun 2014 upah riil buruh pertanian sebesar Rp39.400 per hari. Jumlah ini mengalami penurunan menjadi Rp37.900 per hari. Pada tahun-tahun berikutnya pun, kata dia, tingkat kesejahteraan petani tidak bergerak naik.
Lebih dari itu, kata Said, jika mengacu data Badan Pusat Statistik, NTP pada Agustus 2018 berada di level 102,56, yang berarti turun 0,49 % dari posisi akhir 2017. Hal ini, kata dia, mengindikasikan bahwa daya beli atau kesejahteraan petani pada tahun 2018 turun 0,49 persen.
Menurut Said, penurunan NTP yang bertolak belakang dengan klaim peningkatan produksi beras secara nasional tersebut merupakan bukti kesehateraan petani cenderung menurun. Pada tahun 2018, kata dia, Kementerian Pertanian memperkirakan produksi gabah mencapai 80 juta ton gabah atau setara 46,5 juta ton beras.
"Dengan perhitungan ini maka diperkirakan terjadi surplus sebesar 13,03 juta ton. Namun, belakangan data tersebut dikoreksi BPS. Hasilnya, surplus produksi beras hanya 2,8 juta ton, namun secara agregat terjadi peningkatan produksi beras nasional," terangnya.
Bahkan, kata Said, kementerian pertanian telah menyatakan pencapaian swasembada beras. Namunm di sisi lain, menurut dia, perbaikan taraf kesejahteraan petani masih belum optimal. Peningkatan produksi yang terjadi seharusnya mampu memperbaiki kehidupan keluarga petani padi.
Petani padi yang jumlahnya mencapai 17 juta keluarga, 55,33 persennya petani gurem, (BPS, 2013) seyogyanya menjadi pelaku usaha yang menerima manfaat paling besar. Tapi sayangnya hal itu belum sepenuhnya terjadi, petani masih pelaku yang bekerja paling berat, berpenghasilan paling kecil. Menurutnya, para petani belum berdaulat.
Tdak berdaulatnya petani dalam menentukan harga beras, lanjut Said, terungkap dalam kajian Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan (KRKP) yang membedah peta aktor perberasan nasional. Penelitian tersebut dilaksanakan di sentra produksi padi di jalur Pantai Utara Karawang, Subang dan Jakarta. Kajian ini dilakukan mulai bulan Juli sampai dengan November 2018. Hasilnya, petani merupakan aktor terpenting dalam rantai produksi beras nasional.
Sayangnya, petani juga terdidentifikasi sebagai aktor terlemah dalam rantai tersebut, terutama dalam hal menentukan harga. Situasi ini menurutnya, tidak adil dan merugikan petani. Karena itu, diperlukan upaya penguatan rantai nilai dan bisnis gabah serta beras yang berkeadilan dan berkelanjutan. Selain itu, adanya rantai nilai yang adil bagi seluruh pelaku rantai nilai bisa menjadi jaminan keberlanjutan bisnis merupakan tuntutan saat ini.
Terakhir, Said menyarankan, untuk menciptakan rantai nilai dan bisnis yang adil dan berkelanjutan tak cukup hanya perlunya pemahaman bersama, namun juga adanya kelembagaan dan tata aturan hingga adanya aksi kolektif dari semua pihak pelaku rantai nilai beras.