Jika Masih Yakin Ada Kehidupan Setelah Mati

Jika Masih Yakin Ada Kehidupan Setelah Mati
Ilustrasi kehidupan manusia setelah kematian (kompas.com)

MONITORDAY.COM - Kita semua meyakini, bahwa keberadaan kita di dunia ini, bukan karena kita meng-ada-kan diri sendiri. Bukan pula di-ada-kan oleh orang tua kita. Semuanya adalah kehendak dan takdir Allah SWT.

Sejak awal proses pembuahan di rahim ibu, Allah telah memilih kita sebagai individu terbaik dan unggul, sebab dari jutaan sel spermatozoa, Allah telah memilih kita untuk hidup di dalam rahim ibu kandung melalui proses pembuahan, lalu secara bersangsur-angsur berwujud menjadi makhluk yang sempurna dalam bentuk paling baik.

Setelah sembilan bulan dibesarkan di rahim Ibu, kita dialihkan ke alam lain (dunia), untuk menunaikan tugas kita yang sebenarnya, yaitu sebagai wakil/khalifah Allah SWT di muka bumi, untuk memakmurkan bumi serta memanfaatkan segala isinya sesuai dengan akhlak dan etika yang Allah ajarkan pada kita.

Setelah tumbuh dewasa dan berada di alam dunia ini, kita diperintahkan untuk menggunakan akal-fikiran dan hati Nurani serta dibekali ajaran kitab suci dan sunnah Rasulullah Saw. sebagai modal untuk memelihara frekuensi dengan Sang Khaliq.

Hanya saja, selain kebersihan hati yang tertancap kuat dalam fitrah kita, ada makhluk yang telah berjanji kepada Allah, bahwa ia akan bekerja keras menggelincirkan manusia dari jalan Allah. Ia adalah Iblis dan Syetan. Ia akan terus berusaha membengkokkan niat, perilaku dan tujuan perbuatan kita, agar jauh dari Allah.

Bahkan setan berharap, agar kita menjauh dari Allah dan terus berusaha agar kita menjadi prototype mereka di alam ini. Mereka yang terjerat pengkap dan tipu daya syetan, tidak akan dapat menerima kebenaran, apapun buktinya.

Mereka telah menjadikan telinga mereka tuli, mata mereka buta dan hati mereka terkunci. Jika sudah seperti ini, maka ia sudah tidak menjadi manusia lagi, sebab fisiknya yang elok, telah menjadi rumah nyaman bagi syetan yang menguasainya.

Inilah yang Allah SWT. peringatkan pada kita:

“Dan sungguh telah Kami jadikan kebanyakan (isi neraka) Jahannam adalah jin dan manusia; mereka memiliki hati, tapi tidak (dipergunakannya) untuk memahami (ayat-ayat Allah); dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu seperti binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat darinya. Mereka itulah orang-orang yang lalai.” (QS. Al-Araf: 179).

Orang yang sudah menutup hati nurani, membutakan mata dan menulikan telinganya dari kebenaran, sungguh jauh lebih sesat dan lebih hina dari binatang ternak. Mereka tidak mengenal halal-haram, tidak berfikir apakah perbuatannya merugikan orang lain atau tidak, yang penting ia dapat memenuhi hawa nafsu pribadi dan kelompoknya.

Orang yang seperti itu banyak kita temukan dalam kehidupan kita sehari-hari. Banyak makhluk berwajah manusia, tetapi ketampanan wajahnya, kekuatan badannya dan kecerdasan otaknya telah menjadi sarang keburukan, sehingga ia tidak layak lagi disebut manusia.

Jika ia berbisnis, ia tidak akan mempedulikan lagi halal-haram. Ia hanya akan mempedulikan keuntungan bergunung dari bisnisnya, apapun cara mendapatkannya, baik dengan cara yang baik maupun cara yang buruk.

Jika ia diamanahi jabatan, ia akan menggunakannya sebagai kesempatan untuk memperkaya diri dan kroni-kroninya saja yang dianggapnya “berjasa” padanya dalam meraih jabatan tersebut. Lebih dari itu, ia akan menghisap darah sesamanya, mengambil hak orang lain dengan semena-mena dan tidak mempedulikan beban hidup orang lain.

Itulah hidup seseorang yang jiwanya telah kering. Ia menjadi penghamba setan dan hawa nafsunya. Karena itu, kita seringkali mendapatkan seseorang yang pandai cerdik dalam ilmu agama, tapi ilmu itu ia “jual” sebagai tumbal kepentingan mereka yang siap membayarnya.

Akhirnya, sikap ketidakadilan, dijustifikasinya dengan kamuflase-kamuflase dalil agama. Sikap ketidakpuasan dan kekecewaan rakyat kecil, diredam dengan bungkus bahasa-bahasa agama yang membuai. Ia tak lagi malu pada sorban dan jubah putih yang melingkar indah di kepalanya, yang sebetulnya merupakan simbol kesucian dan rasa takut pada Allah SWT.  

“Sesungguhnya mereka yang memperjualbelikan janji (pada) Allah dan sumpah-sumpah mereka dengan harga murah, mereka tidak akan memperoleh bagian di akhirat; Allah tidak akan menyapa mereka dan tidak akan memperhatikan mereka pada hari Kiamat, ….. Bagi mereka azab yang sangat pedih.” (QS. Ali Imran: 76).

Perilaku seperti itu tidak akan muncul pada mereka yang meyakini, bahwa tujuan hidup mereka bukan dunia yang fana dan sementara ini. Dunia adalah persinggahan, tempat manusia menerpa diri, diuji dan mempersiapkan perjalanan sebenarnya, yaitu kehidupan panjang tiada akhir setelah kematian.