Jazirah Arabia, Sebelum Masuknya Islam

Mengapa bangsa Arab ditunjuk sebagai generasi perintis yang membawa risalah tauhid

Jazirah Arabia, Sebelum Masuknya Islam
Ilustrasi foto/Net

KETIKA kita hendak membahas Sirah Rasulullah saw dan berbicara mengenai jazirah Arabia, sebelumnya kita harus memahami hikmah Ilahiyah yang mengetahui tempat lahirnya Rasulullah saw, berikut perkembangan dakwah Islam di tangan bangsa Arab sebelum bangsa lainnya.

Kita mulai pertama, mengetahui negara di sekitar jazirah Arab sebelum Islam. Pada waktu itu dunia dikuasai oleh dua negara adidaya yaitu Persia dan Romawi. Persia adalah ladang subur berbagai khayalan (khurafat) keagamaan dan filosof yang saling bertentangan. Di antaranya Zoroaster yang dianut sebagai kepercayaan oleh kaum penguasa. Diantara kepercayaannya adalah mengutamakan perkawinan seseorang dengan ibunya, anak perempuannya atau saudaranya. Sehingga Yazdasir II yang memerintah pada pertengahan abad kelima Masehi telah mengawini anak perempuannya.

Di persia terdapat ajaran Mazdakia, menurut Imam Syahrustani, didasarkan  filsafat lain, yaitu menghalalkan wanita layaknya sebagai ‘benda mati’ seperti air, api dan rumput. Ajaran ini sangat dielukan oleh kaum pengumbar hawa nafsu.

Sedangkan Romawi telah dikuasi sepenuhnya oleh mental penjajah. Negeri ini terlibat pertentangan agama satu sama lainnya. Negeri ini mengandalkan kekuatan militer dan ambisi kolonialnya dalam melakukan peperangan dengan alasan mengembangkan agama kristen, dan mempermainkannya sesuai dengan keinginan hawa nafsunya yang serakah.

Negara ini pada waktu yang sama memiliki sifat dan karakter yang sama dengan Persia. Kehidupan nista dan kebiadaban moral telah menyebar ke seluruh penjuru negeri, akibat melimpahnya penghasilan dan menumpuknya pajak. Begitulah negeri ini sedang tenggelam dalam lautan khurafat dan mitos yang tidak pernah memberikan manfaat.

Sementara itu, di jazirah Arabia hidup dengan tenang, jauh dari bentuk permasalah di atas. Mereka tidak memiliki kemewahan dan peradaban Persia yang memungkinkan mereka kreatif dan pandai dalam kejahiliyahan, filsafat dan kebiadaban moral yang dikemas dalam bentuk agama. Mereka juga tidak memiliki kekuatan militer Romawi, yang mendorong mereka melakukan ekspansi ke negara-negara tetangga. Mereka tidak memiliki filosofi dan dialetika Yunani yang menjerat mereka menjadi bangsa mitos dan khurafat.

Karakteristik mereka seperti halnya tepung yang belum diolah dengan bahan lain, masih menampakkan fitrah kemanusiaan dan kecenderungan yang sehat dan kuat, serta cenderung kepada kemanusiaan yang mulia, seperti setia, penolong, dermawan, rasa harga diri, dan kesucian.

Hanya saja mereka belum memiliki ma’rifat (pengetahuan) yang akan membimbing mereka ke dalam cahaya Islam. Karena mereka hidup di dalam kegelapan dan kebodohan, sebagai fitrahnya yang pertama. Akibatnya mereka tersesat, tidak memiliki nilai-nilai kemanusiaan. Kondisi inilah yang difirmankan oleh Allah Swt.:

“Dan sesungguhnya kamu sebelum itu benar-benar termasuk orang-orang yang sesat“ (QS. al-Baqarah [2] :198)