Jadi Pandemi Politik, Posisi Menkes dan Menkumham Layak Diganti

Kabar badai reshuffle makin kencang berhembus dalam jajaran Kabinet Indonesia Maju. Posisi Menteri Kesehatan dan Menteri Hukum dan Ham menjadi pandemi politik sehingga layak diganti karena tak mampu mendukung bebagai program Presiden Jokowi.

Jadi Pandemi Politik, Posisi Menkes dan Menkumham Layak Diganti
Foto Ilustrasi

MONITORDAY.COM - Kabar badai  reshuffle makin kencang berhembus dalam jajaran Kabinet Indonesia Maju. Posisi Menteri Kesehatan dan Menteri Hukum dan Ham dinilai jadi pandemi politik sehingga pantas di ganti karena tak mampu mendukung bebagai program Presiden Jokowi.  Jika tak di ganti, masyarakat bakal menilai Jokowi tak bernyali membidik menteri tak lincah.  

Peneliti Lingkaran Survei Indonesia (LSI) Denny JA, Ikrama Masloman menilai, Terawan memang menjadi menteri yang berpeluang reshuffle jika diukur dari kinerja penanganan Covid-19. Berkaca dari sikap Terawan di awal pandemi yang terkesan meremehkan, menurut Ikrama, membuat masyarakat menjadi kehilangan simpatik.

Selain Menkes, nama Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna H Laoly juga disebut-sebut pantas diganti.

"Kalau mau diukur, ya jelas menkes (yang reshuffle). Tentu terkait penanganan covid, karena di awal terlalu optimis tidak ada covid di Indonesia," ujar Ikrama di Jakarta, senin (6/7/2020).

Mantan Kepala RSPAD Gatot Subroto itu juga kerap mengeluarkan pernyataan yang dinilai kontraproduktif. Pernyataan itu di antaranya soal pasien Covid-19 akan sembuh sendiri hingga penggunaan masker.

Di awal pandemi, Terawan dengan lantang tak mewajibkan masyarakat memakai masker. Namun pandemi yang makin meluas membuat semua orang wajib pakai masker.

"Tes massal juga kurang. Hal-hal seperti itu, jadi kalau dinilai dari kinerja menkes ya itu yang paling bisa diukur (untuk reshuffle)," katanya.

Sementara Yasonna, Ikrama menuturkan, keinginan masyarakat itu tak lepas dari kebijakan politikus PDIP itu yang membebaskan narapidana dengan alasan pandemi. Beberapa waktu lalu, Yasonna diketahui mengeluarkan kebijakan membebaskan napi karena pandemi Covid-19.

Kebijakan itu dinilai mendukung upaya pembebasan para napi koruptor.

"Kalau Pak Yasonna mungkin karena kebijakan pembebasan napi yang kurang kontraproduktif," tuturnya.

Meski demikian, Ikrama memprediksi keinginan masyarakat itu merupakan akumulasi dari berbagai kebijakan dan sikap Yasonna dalam menangani persoalan hukum. Mulai dari revisi UU KPK hingga kegagalan memproses hukum tersangka kasus korupsi Harun Masiku.

"Kalau Pak Yasonna sebenarnya akumulasi dari beraneka ragam aturan," tandasnya.