Insiden Penabrakan Kapal TNI-AL oleh Vietnam, Kemlu Didorong Layangkan Protes

Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia, Hikmahanto Juwana memberi tanggapan terkait Insiden penabrakan kapal TNI-AL oleh kapal Vietnam yang terjadi di wilayah Laut Natuna Utara, Minggu (28/4).

Insiden Penabrakan Kapal TNI-AL oleh Vietnam, Kemlu Didorong Layangkan Protes
Detik-detik saat penabrakan kapal TNI AL oleh kapal Vietnam, Minggu (28/4).

MONITORDAY.COM - Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia, Hikmahanto Juwana memberi tanggapan terkait Insiden penabrakan kapal TNI-AL oleh kapal Vietnam yang terjadi di wilayah Laut Natuna Utara, Minggu (28/4). Ia berpendapat, hal ini terjadi karena adanya klaim tumpang tindih antara Indonesia dengan Vietnam atas Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE). 

Hikmahanto menjelaskan, ZEE bukanlah laut teritorial dimana berada dibawah kedaulatan negara (state sovereignty). ZEE merupakan laut lepas dimana negara pantai mempunyai hak berdaulat (sovereign right) atas sumber daya alam yang ada di dalam kolom laut.

"Hingga saat ini antar kedua negara belum memiliki perjanjian batas ZEE. Akibatnya nelayan Vietnam bisa menangkap di wilayah tumpang tindih dan akan dianggap sebagai penangkapan secara ilegal oleh otoritas Indonesia. Demikian pula sebaliknya," ujarnya, dalam keterangan tertulis, Senin (29/4). 

Menurut Hikmahanto, salam insiden yang terjadi KRI Tjiptadi 381 menganggap dirinya berwenang melakukan penangkapan terhadap kapal nelayan Vietnam, namun di sisi lain otoritas Vietnam dengan kapal coast guardnya merasa KRI Tjiptadi 381 tidak berwenang melakukan penangkapan.

"Dari klaim tumpang tindih itulah kedua otoritas menyatakan diri berwenang. Dan kemudian terjadi insiden penabrakan oleh kapal coast guard Vietnam yang ingin membebaskan kapal nelayannya dari penangkapan oleh KRI Tjiptadi 381," tuturnya. 

Beruntung awak KRI Tjiptadi 381 tidak terprovokasi untuk memuntahkan peluru. Karena Dalam hukum internasional terlepas dari siapa yang benar atau yang salah, pihak yang memuntahkan peluru terlebih dahulu akan dianggap melakukan tindakan agresi.

Hikmahanto menambahkan, bahwa untuk menghindari kejadian seperti ini berulang pemerintah yang memiliki klaim tumpang tindih harus membuat aturan-aturan bila otoritas saling berhadapan (rules of engagement).

"Sayangnya aturan seperti demikian belum ada diantara negara ASEAN yang memiliki klaim tumpang tindih," ungkap dia. 

Dalam insiden ini, Hikmahanto menyarankan, agar Pemerintah Indonesia melalui Kemlu.dapat melakukan protes dengan cara memanggil Duta Besar Vietnam. 

"Protes bukan atas pelanggaran masuknya kapal nelayan dan kapal otoritas Vietnam ke ZEE Indonesia mengingat wilayah tersebut masih disengketakan. Protes dilakukan atas cara kapal coast guard Vietnam yang hendak menghentikan KRI Tjiptadi 381 dengan cara penabrakan," terangnya. 

Menurut dia, penyelesaian atas insiden ini harus dilakukan melalui saluran diplomatik antar kedua negara dan tidak perlu dibawa ke Lembaga Peradilan Internasional. Membawa ke Lembaga Peradilan Internasional memiliki kompleksitas. Pertama akan sangat memakan biaya bahkan biaya untuk berperkara akan melebihi biaya yang diderita oleh KRI Tjitadi 381. 

Lebih lanjut Hikmahanto menambahkan, Kedua negara yang bersengketa harus menyetujui untuk membawa ke Lembaga Peradilan Internasional. Terakhir antar negara ASEAN sudah seharusnya penyelesaian sengketa mengedepankan cara-cara musyawarah untuk mufakat.