Inilah Cara Menyikapi Perbedaan Pendapat Ala Para Bijak Bestari
Bila disikapi secara bijak, berbeda itu jadi rahmat bukan kiamat.

DUHAI indahnya jika para bijak bestari berbeda pendapat. Bukan polemik yang jadi bulan-bulanan dan bahan saling sindir atau nyinyir di ruang publik. Namun, perkembangan wacana, dan keilmuan yang dinamis. Seperti ditunjukkan oleh Imam Malik dan muridnya Imam Syafii.
Dalam sebuah majelis ilmu Imam Malik pernah menyampaikan, sesungguhnya rezeki itu datang tanpa sebab, cukup dengan tawakkal yang benar kepada Allah, niscaya Allah akan memberikan rezeki. “Lakukan yang menjadi bagianmu, selanjutnya biarkan Allah mengurus yang lainnya,” kata Imam Malik ketika itu.
Namun Sang Murid, Imam Syafii ternyata berpendapat lain soal bab ini. Imam syafii dengan berbagai hujjah berpendapat, “Seandainya seekor burung tidak keluar dari sangkarnya, bagaimana mungkin ia akan mendapatkan rezeki,” ujar Imam Syafii dengan penuh semangat.
Baik guru maupun murid, bersikukuh pada pendapat masing-masing. Bahwa urusan rezeki sebetulnya urusan yang amat prinsipil. Karena terkait keyakinan kita akan Tuhan, Sang Maha Pemberi rezeki.
Syahdan, suatu ketika, saat paham Mu’tazila dan Jahami amat berselisih dan bersebut pengaruh, Imam Syafii meninggalkan pondokan. Imam Syafii melihat kawanan petani tengah memanen anggur di ladang-ladang mereka. Sontak Imam Syafii pun menyampaikan maksudnya untuk membantu pekerjaan para petani itu. Beruntung, Imam Syafii diberi izin membantu mereka.
Singkat kata, setelah pekerjaan selesai, Imam Syafii memperoleh imbalan beberapa ikat anggur sebagai imbalan atas pekerjaan membantu prosesi panen anggur.
Imam Syafii senang bukan main. Tentu bukan hanya karena mendapat beberapa ikat anggur, tapi juga karena apa yang ia yakini mendapatkan penguatan. Bahwa jika tak terbang dari sangkarnya, sekor burung tak akan mendapatkan rezeki. Pun demikian Imam Syafii, jika saja ia tak membantu memanen anggur, tentu ia tak mendapat beberapa ikat anggur.
Dengan hati senang, Imam Syafii pun bergegas menemui gurunya, Imam Malik. Sambil menghidangkan anggur yang didapatnya, Imam Syafii lalu bercerita tentang apa yang ia lakukan hari itu dan tentang anggur yang ia hidangkan tersebut.
“Seandainya saya tidak keluar pondok dan melakukan sesuatu (membantu panen anggur), tentu saja anggur itu tak akan pernah sampai di tangan saya,” tutur Imam Syafii, dengan satire.
Mendengar kalimat satire muridnya tersebut, Imam Malik lalu tersenyum, seraya mengambil beberapa butir anggur untuk ia santap. Tak lama setelah itu, ia pun bertutur pelan, “Sehari ini aku memang tidak keluar pondok. Hanya mengambil tugas sebagai guru, dan sedikit berpikir alangkah nikmatnya kalau dalam hari yang panas ini aku bisa menikmati segenggam anggur. Tiba-tiba engkau datang sambil membawa beberapa ikat anggur. Bukankah ini juga bagian dari rezeki yang datang tanpa sebab. Cukup tawakkal yang benar kepada Allah niscaya Allah akan berikan rezeki. Lakukan yang menjadi bagianmu, selanjutnya Allah yang mengurusnya lainnya.”
Guru dan murid pun lantas tertawa riang. Mereka sama sekali tak tersinggung ataupun marah lantaran saling sindir soal apa yang mereka yakini. Begitulah bila akhlak sudah berada di atas fikih, ataupun teologi. Meski berbeda, mereka tetap bisa guyub, harmonis, dan tanpa saling melemahkan. Begitulah semestinya kita menyikapi perbedaan, sikapi dengan tenang, damai dan saling menghormati.
[Mrf]