Infrastruktur untuk Mengejar Pertumbuhan Ekonomi 2022
Tanpa infrastruktur memadai kita sulit mencapai pertumbuhan ekonomi double digit di tahun 2022
MONDAYREVIEW.COM- Program pembangunan infrastruktur menjadi salah satu andalan pemerintahan Jokowi-JK. Berbagai kajian menunjukkan bahwa bila Indonesia pada 2022 ingin mencapai pertumbuhan ekonomi double digit maka infrastruktur harus dibenahi dan disiapkan. Pertumbuhan sektor manufaktur akan sulit digenjot dengan kondisi pelabuhan, bandara, jalan, listrik, dan infrastruktur lain yang masih jauh dari memadai.
Bila pertumbuhan ekonomi tinggi maka Indonesia akan bisa naik kelas menjadi negara maju. Pertumbuhan industri dan peningkatan daya beli masyarakat akan bertambah secara signifikan. Pembangunan infrastruktur, termasuk proyek listrik 35 ribu megawatt (MW), diarahkan untuk mendukung pertumbuhan industri. Selama ini, investasi di industri manufaktur butuh infrastruktur, energi, dan sumber daya manusia.
Komite Percepatan Penyediaan Infrastuktur Prioritas (KPPIP) menjadi lembaga yang bertanggung jawab dalam realisasi infrastruktur. Lembaga inilah yang menjadi kepanjangan tangan Presiden untuk melakukan koordinasi lintas sektoral terkait pembangunan infrastruktur. Dalam rangka peningkatan pertumbuhan ekonomi melalui pengembangan infrastruktur di Indonesia, pemerintah melakukan upaya percepatan proyek-proyek yang dianggap strategis dan memiliki urgensi tinggi untuk dapat direalisasikan dalam kurun waktu yang singkat.
Dalam upaya tersebut, Pemerintah melalui Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian menginisiasi pembuatan mekanisme percepatan penyediaan infrastruktur dan penerbitan regulasi terkait sebagai payung hukum yang mengaturnya.
Mekanisme inilah yang sangat menentukan dalam pencapaian atau realisasi berbagai proyek strategis nasional. Ada 245 proyek dan 2 program yang termasuk dalam daftar PSN, dibutuhkan estimasi total pembiayaan sebesar Rp 4.197 Triliun dengan sumber pendanaan dari APBN sebesar Rp 525 Triliun, BUMN/D sebesar Rp 1.258 Triliun, dan Swasta sebesar Rp 2.414 Triliun. Data ini diunggah dalam situs resmi Komite Percepatan Penyediaan Infrastruktur Prioritas (KPPIP) .
Dengan menggunakan mekanisme tersebut, KPPIP melakukan seleksi daftar proyek-proyek yang dianggap strategis dan memiliki urgensi tinggi serta memberikan fasilitas-fasilitas kemudahan pelaksanaan proyek. Dengan diberikannya fasilitas-fasilitas tersebut, diharapkan proyek-proyek strategis dapat direalisasikan lebih cepat.
Tak semua rencana berjalan mulus. Ada beberapa proyek yang dikeluarkan dari skema PSN. Setidaknya 15 proyek di tahun lalu dan 14 proyek di tahun ini. Beberapa kalangan menilai pembatalan berbagai proyek strategis tersebut disebabkan perencanaan yang kurang matang, termasuk diantaranya rencana tata ruang dan wilayah (RTRW) di daerah. Pembebasan dan penyediaan lahan menjadi lambat, realiasasi molor bahkan terhambat, pada akhirnya proyek bisa mangkrak atau batal direalisasikan.
Kendala yang lain adalah masalah pendanaan. Pemerintah mematok target yang besar, namun tidak diimbangi dengan kekuatan pendanaan. Upaya merangkul swasta masih belum optimal. Walaupun ada skema pembiayaan kerjasama antara pemerintah dan Badan Usaha (KPBU). Swasta hanya tertarik berinvestasi kepada proyek yang bernilai komersial tinggi.
Beberapa kalangan pengamat mengingatkan agar pemerintah kembali fokus untuk meningkatkan daya beli masyarakat. Prioritas proyek infrastruktur harus diarahkan pada peningkatan daya beli masyarakat. Dengan daya beli yang memadai rakyat akan mampu memenuhi kebutuhan hidupnya. Hal itu terkait dengan target pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi memperlihatkan ketersediaan barang di pasar dan ketersediaan lapangan kerja. Sederhananya, rakyat punya pekerjaan dan dapat membeli kebutuhan hidupnya, maka berputarlah roda ekonomi dengan cepat.
Pemerintah dihadapkan pada pilihan untuk menimbang antara kebijakan jangka pendek, jangka menengah dan jangka panjang. Dalam jangka pendek APBN harus mampu memenuhi kebutuhan subsidi energi dan belanja sosial. Subsidi energi tetap diperlukan agar inflasi terkendali dan daya beli masyarakat tidak tertekan. Menurunnya daya beli masyarakat akan memperlambat pertumbuhan ekonomi.
APBN juga harus memiliki alokasi yang memadai untuk belanja sosial yakni agar pemerintah mampu mengurangi kemiskinan, mendorong pendidikan, dan meningkatkan layanan kesehatan. Kesenjangan dalam pendapatan ekonomi, tingkat pendidikan, dan derajat kesehatan akan menimbulkan resiko sekaligus menurunkan daya saing SDM kita.
Di sisi lain, APBN harus memiliki alokasi untuk membangun infrastruktur. Tanpa pembangunan infrastruktur yang memadai kita akan semakin tertinggal. Dampak pembangunan infrastruktur memang relatif lama. Ibarat berakit-rakit ke hulu berenang ke tepian, bersakit sakit dahulu bersenang senang kemudian. Kondisi yang pahit dengan pertumbuhan ekonomi di kisaran 5,5% ini adalah konsekuensi dari prioritas tersebut.
Di tahun politik, APBN memang rentan diarahkan untuk merealisasikan berbagai program yang populis. Bantuan-bantuan tunai dan non tunai dan berbagai subsidi akan disoroti. Tentu saja tak ada masalah jika sepanjang kebijakan tersebut telah digariskan sejak awal pemerintahan dan tidak menyalahi aturan. Namun, jangan sampai APBN tidak mampu lagi menyangga pembangunan infrastruktur dan berakhir dengan mangkraknya proyek strategis.
Perbincangan tentang perlunya road map atau semacam GBHN muncul kembali ke permukaan. Road map ini diharapkan menjadi pegangan dalam pembangunan jangka panjang. GBHN yang hilang bersama reformasi ternyata dirindukan kembali. Hal ini juga diharapkan oleh kalangan pengusaha yang memerlukan kepastian investasinya. Jangan sampai perubahan rezim merugikan usaha atau investasinya.