Informasi, Post-Truth, dan Desa Global
Post-truth adalah tantangan baru bagi kemanusiaan. Manakala informasi yang salah, namun tetap disebarluaskan dikarenakan kesamaan pandangan pemikiran.

MONDAYREVIEW.COM – Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi memungkinkan kita untuk mengetahui hal-hal yang terjadi di belahan bumi lainnya. Kita bisa terinspirasi dan mengambil pembelajaran dari apa yang terjadi di negara lainnya yang berpuluh-puluh kilometer jaraknya. Kita dalam istilah sosial bagaikan berada di desa global.
Kemajuan teknologi juga memungkinkan untuk menyebarnya informasi secara masif. Konsep produsen dan konsumen berita menjadi kabur. Dikarenakan setiap dari kita kini seolah punya kuasa untuk menjadi produsen berita. Dengan bekal kemampuan menulis, atau video, atau fotografi, ataupun melakukan proses editing, kita dapat menjadi produsen berita. Tak mengherankan jika dikenal istilah tsunami informasi. Ketika informasi telah begitu banyak dan tersaji. Sementara itu mana yang berita dapat dipercaya dan hoax menjadi opsi diantara ragam berita yang dijajakan setiap harinya.
Sayangnya kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi tersebut tidak sekadar berdampak positif. Sebut saja dengan menyebar luasnya informasi hoax. Pembiakan berita hoax dapat lebih eksponensial ketika di-retweet, di-share oleh mereka-mereka yang percaya pada substansi kisahnya. Apakah serta merta kecerdasan literasi yang kurang? Nanti dulu, dikarenakan dikenal istilah post-truth. Bagaimana orang tetap menyebarkan berita karena menganggap berita itu sehaluan dengan pandangannya. Kebenaran suatu berita terpinggirkan, yang dimajukan adalah berita yang sesuai dengan pemikiran. Alhasil akan terbentuk suatu kelompok yang begitu militan pada suatu ide ataupun sosok tertentu. Sementara pihak di seberang sana adalah pihak musuh yang bersalah.
Dalam konstelasi politik, kita dapat melihat contohnya. Bagaimana begitu merajalelanya aneka macam berita hoax. Masing-masing pendukung punya hobi untuk menyebarkan berita yang menyanjung calonnya dan menjatuhkan pihak rivalnya. Sayangnya hobi tersebut telah menumpulkan rasio, serta kejernihan berpikir.
Post-truth adalah tantangan baru bagi kemanusiaan. Manakala informasi yang salah, namun tetap disebarluaskan dikarenakan kesamaan pandangan pemikiran. Jika begini adanya pertukaran ide, dialektika akan macet dan tidak terjadi.