Ibnu Hazm dan Pendapat Kocaknya soal Puasa

MONITORDAY.COM - Ali bin Ahmad bin Sa’id bin Hazm Al Andalusi, atau popular dipanggil Ibnu Hazm adalah seorang guru besar fiqih dzahiri asal Spanyol. Lahir di Cordoba, 30 Ramadhan 384 Hijriah. Beliau termasuk ulama besar spanyol pada masanya.
Tumbuh dan besar di lingkungan keluarga berkecukupan, lantaran sang ayah adalah seorang Menteri. Bahkan Ibnu Hazm sendiri pun pernah jadi Menteri.
Namun posisi mentereng dan kehidupan mewah tak membuatnya malas menuntut ilmu. Sebaliknya dia dikenal karena ketekunannya menuntut ilmu. Dia banyak dicatat di buku-buku sejarah.
Ibnu Hazm menuntut ilmu kepada para Ulama Andalus. Menguasai banyak disiplin ilmu; tafsir, hadist, Aqidah, Fiqih, dan Akhlak. Awalnya ia bermazhab syafi’I, namun ia pindah menjadi seorang dzahiri. Hebatnya, ia tak hanya menguasai ilmu agama, tapi juga ilmu kedokteran. Banyak buku soal kedokteran yang ditulisnya.
Keluasan ilmu membuat Ibnu Hazm menulis karya-karya popular, seperti al-ihkam fi suhuli al ahkam, Jawami; As-Sirah dan lain-lain. Beliau banyak menulis dengan perspektif yang berdeba.
Itu membuatnya dianggap berbeda dengan ulama kebanyakan. Karya-karya beliau pernah dibakar di sebuah tanah lapang. Entah siapa orang-orang yang merampas dan membakar buku-bukunya.
Selain kontroversial, banyak juga pendapat Ibnu Hazam yang mengundang tawa. Misalnya pendapatnya soal lupa niat puasa di malam hari.
Menurut Ibnu Hazm, jika seseorang lupa melakukan niat puasa Ramadhan di malam hari, dan baru ingat di siangnya atau bahkan baru ingat ketika hampir waktu buka dan tidak tersisa waktunya kecuali hanya sekedar untuk niat saja, maka ia harus berniat puasa pada saat itu juga, puasanya sah dan tudak perlu diqadha, walaupun ia sudah makan dan minum atau bahkan sudah berhubungan suami istri. (Ibnu Hazm w. 456 H, Al Muhalla, jilid 4 hal. 290).
Pendapat Ibnu Hazm lainnya yang kocak adalah tentang berbohong di bulan puasa. Menurut Imam Madzhab Al Hazmiyah, sesorang yang sedang berpuasa jika melakukan maksiat seperti berbohong, menggunjing atau menggibah orang, mengadu domba, berbuat dzolim ataupun maksiat-maksiat lain jika ia lakukan dengan sengaja dan dalam keadaan tidak lupa bahwa ia sedang puasa maka puasanya batal dan tidak sah, bukan hanya pahala puasanya yang batal seperti pendapat jumhur. (Ibnu Hazm w. 456 H, Al Muhalla, jilid 4 hal. 304). [ ]