Hubungan Seksual Tanpa Nikah Tetap Ilegal Meski Atas Dasar Suka Sama Suka

MONITORDAY.COM - Diterbitkannya Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nomor 30 Tahun 2021 Tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi masih menimbulkan pro kontra di masyarakat.
Hal itu terjadi lantaran beberapa pasal dalam Permendikbud yang diteken Menteri Nadiem Makarim 31 Agustus 2021 itu dianggap melegalkan perzinahan. Misalnya salah satu frasa “tanpa persetujuan korban” dianggap bermakna persetujuan seksual (sexual consent).
Menanggapi hal itu, Ketua MUI Bidang Fatwa, Asrorun Niam Sholeh menegaskan, hubungan seksual tanpa pernikahan bersifat ilegal, meskipun dilakukan atas dasar suka sama suka. Pasalnya hal tersebut bertentangan dengan norma-norma yang berlaku.
"Soal hubungan seksual suka sama suka, tetapi kalau dia tidak dibingkai dengan perkawinan yang sah maka sungguh pun suka sama suka itu tidak diperkenankan. Itu statusnya ilegal," kata Asrorun, di Jakarta Selasa (9/11/2021).
Dia menegaskan, apabila ada aturan yang melegalkan sesuatu yang ilegal secara norma yang berlaku di masyarakat, maka itu merupakan tindakan yang tidak berbudaya.
"Proses pendidikan itu bagian dari proses untuk mewujudkan masyarakat yang berbudaya dan beradab. Maka seluruh aturan harus didesain dalam kerangka keadaban dan kebudayaan," ujar dia.
Meski demikian, Asrorun mengatakan bahwa aturan soal pencegahan kekerasan seksual tetap sangat dibutuhkan di lingkungan pendidikan. Namun yang pasti, kata dia, mekanismenya harus sesuai dengan norma yang berlaku.
"Jadi kita perlu untuk menghindarkan diri dari aktivitas kejahatan seksual tetapi apa makna kejahatan seksual dan bagaimana mekanisme pencegahannya," tandasnya.
Terdapat beberapa pasal yang diprotes dari Permendikbud Nomor 30/2021. Misalnya, Pimpinan Pusat Muhammadiyah menganggap rumusan norma kekerasan seksual yang diatur dalam Pasal 5 menimbulkan makna legalisasi terhadap perbuatan asusila dan seks bebas berbasis persetujuan.
Dalam Pasal 5 ayat (2) memuat frasa ”tanpa persetujuan korban” dalam Permen ini dinilai mendegradasi substansi kekerasan seksual, yang mengandung makna dapat dibenarkan apabila ada “persetujuan korban (consent)”.
"Standar benar dan salah dari sebuah aktivitas seksual tidak lagi berdasar nilai agama dan prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa, tetapi persetujuan dari para pihak. Hal ini berimplikasi selama tidak ada pemaksaan, penyimpangan tersebut menjadi benar dan dibenarkan, meskipun dilakukan di luar pernikahan yang sah," kata Ketua Majelis Diktilitbang PP Muhammadiyah Lincolin Arsyad, Minggu (7/11).
Pengingkaran nilai agama dan prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa serta legalisasi perbuatan asusila berbasis persetujuan tersebut, bertentangan dengan visi pendidikan sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 31 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
"Yang menyatakan bahwa "pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta ahlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa yang diatur dengan undang-undang," sebut Arsyad.
Kemudian, Muhammadiyah juga menilai, sanksi penghentian bantuan dan penurunan tingkat akreditasi bagi perguruan tinggi yang tidak melakukan pencegahan dan penanganan kekerasan seksual, sebagaimana dalam Pasal 19 Perman ini, tidak proporsional, berlebihan, dan represif.
"Seyogyanya pemerintah lebih mengedepankan upaya pembinaan dan kerja sama dengan berbagai pihak untuk menguatkan institusi pendidikan," tegas Arsyad.