Mantan Stafsus Menko Marves Angkat Bicara Soal Test PCR dan Perjuangan LBP Melalui GSI

MONITORDAY.COM - Deputi Bidang Koordinasi Investasi dan Pertambangan Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Septian Hario Seto menyayangkan narasi tak elegan dan tendensius soal test PCR yang menyudutkan Menko Marves Luhut Binsar Panjaitan (LBP).
Menurut Septian, sudah seperti bola salju yang terus menggelinding liar, kabar PCR yang sebagian saham yang dimiliki perusahaan LBP terus digoreng oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab.
Bahkan Menteri Erick yang berjuang sedemikian rupa juga ikut kena getahnya.
" Saya akan cerita dari awal, sehingga teman-teman bisa memahami perspektif mendesaknya kita akan kebutuhan Test PCR yang terjangkau dalam pandemi ini," ungkap Septian melalui keterangan tertulis yang diterima monitorday.com, Selasa (9/11/2021).
Mantan Stafsus Menko Marves ini pun mengawali penjelasannya Maret 2020 ketika awal Covid19 menyerang Indonesia. Ia yang baru diangkat sebagai komisaris BNI, mendapatkan fasilitas untuk Test PCR dari BNI.
Bersama istrinya, Septian mengunjungi salah satu rumah sakit di Jakarta untuk melakukan test PCR ini. Belakangan diketahui, biayanya cukup mahal waktu itu, kalau tidak salah mencapai kisaran 5-7 juta untuk satu orang.
"Hasilnya dijanjikan 3 hari, namun setelah 5 hari baru keluar. Alhamdulillah negative hasilnya," tutur Septian.
Atas kejadian itu, Septian menganalisa bahwa kalau kapasitas test PCR ini terbatas, dan orang harus menunggu berhari-hari sebelum tahu hasil test mereka, tentunya akan keteteran dalam menghadapi pandemi Covid19 ini. Akan terjadi keterlambatan penanganan pasien, karena butuh waktu yang lama untuk mengetahui apakah seseorang terkena Covid19 atau tidak.
Akibatnya, ujar Septian, tentu saja penularan akan tinggi dan bisa jatuh korban yang banyak. Tanpa berfikir panjang, Septian langsung melapor LBP perihal situasi yang ada pada waktu itu.
"Saya sampaikan, kita harus bantu soal test PCR ini. Kalau mengandalkan anggaran pemerintah, akan butuh waktu lama untuk bisa menambah kapasitas PCR ini, dari proses penganggaran, tender, sampai kemudian sampai pembayaran. Saya cukup yakin soal ini berdasarkan pengalaman 5 tahun lebih di pemerintahan," ungkap Septian.
Menanggapi masukan dari Septian, LBP akhirnya memerintahkan untuk cari alat PCR ini.
"Pak Luhut menyampaikan kita donasikan saja alat PCR ini ke Fakultas Kedokteran di beberapa kampus karena waktu itu mereka lah yang pasti memiliki skill untuk menjalankan test PCR ini dan kedepannya bisa digunakan untuk penelitian yang lain. "Soal uang, nanti kita sumbang saja To", perintah Pak Luhut kepada saya pada waktu itu. Saya tahu kemudian Pak Luhut kontak teman-teman beliau untuk bersama-sama membantu membeli alat PCR ini," terang Septian.
Disinilah kemudian proses pencarian PCR ini di mulai
Tanpa menunggu waktu lama, Septian langsung menghubungi dekan FK UI, Unpad, UGM, Unair, Undip, Udayana, dan USU.
Dia juga mengirimkan WA kepada mereka dan menjelaskan maksud dan tujuannya untuk mendonasikan alat PCR ini. Beberapa ada yang merespon dengan cepat, namun beberapa ada yang tidak merespon sama sekali.
Septian sempat berpikir, informasi yang diberikan mungkin dianggap sebagai prank atau candaan.
Bagi Dekan yang merespon, mereka mengajak Septian dan mengenalkan kepada PIC masing-masing.
Disinilah kemudian Septian mengenal dr Anis yang menjadi wadek FKUI, dr Lia dari unpad, dr Happy dari undip, Prof Inge dari Institute of Tropical Disease Unair, dr Lia dari USU (ada dua Lia, satu dari USU, satu lagi dari Unpad), dan Prof Ova dari UGM.
Mereka itulah yang kemudian mengajarkannya lebih detail mengenai test PCR ini, alat-alat apa saja yang diperlukan, serta rekomendasi merek yang bagus. Berdasarkan diskusi dengan mereka, waktu itu diputuskan bahwa kita akan beli alat PCR dari Roche.
"Order untuk alat PCR Roche kita lakukan di akhir maret 2020. Dalam perjalanannya, saya kemudian bertemu dengan Pak Budi Sadikin, Wamen BUMN pada saat itu. Beliau rupanya juga diperintahkan Pak Erick untuk mencari alat PCR ini guna rumah sakit-rumah sakit BUMN. Jadi dibandingkan nanti kita rebutan alat PCR, saya menawarkan ke Pak Budi supaya kita pesen bareng-bareng ke Roche, sehingga ordernya bisa lebih besar dan harapannya tentu saja kita bisa nawar harga yang lebih baik," jelas Septian.
Masih kata Septian, pada akhir April 2020, alat-alat PCR ini mulai datang dan mulai distribusikan ke Fakultas-Fakultas Kedokteran yang saya sebutkan diatas.
Itupun berkat lobi sana sini dari Kemenlu, Kementerian BUMN, dan berbagai pihak lain yang dilakukan untuk meminta Roche agar barang yang sudah dipesan tidak di rebut negara lain.
"Karena kita mendengar ada 1 negara timur tengah yang sudah menyediakan 100 juta dolar dan bersedia membayar cash didepan untuk membeli alat-alat PCR yang tersedia di pasar saat itu," tandas Septian.
Setelah alat datang, bukan berarti barang bisa langsung digunakan, karena harus menunggu reagen PCRnya datang. Awal Mei reagennya kemudian baru datang. Masalah belum selesai, para lab itu kemudian juga menyampaikan bahwa mereka butuh VTM (Viral Transport Medium)
"Saya tanya ke mereka barang apapula itu. Mereka menjelaskan bahwa VTM ini adalah alat untuk menampung hasil swab yang akan mendeaktifkan virusnya sebelum kemudian bisa dilakukan ekstraksi RNA. Rupanya banyak sekali perintilan material-material yang dibutuhkan untuk melakukan test PCR ini, bukan hanya reagen saja. Dimana kalau salah satu barang gak ada, test PCR tidak bisa dilakukan,"
Cerita panjangnya berbagai perintilan barang itu bisa di dapatkan dan lab-lab dari berbagai fakultas kedokteran itu bisa mulai melakukan test.
Namun karena proses ekstraksinya masih manual, masing-masing lab paling hanya bisa melakukan 100-200 test per hari. Jauh dari target yang diminta yaitu 700-1000 test perhari.
Masalah kemudian muncul karena alat ekstraksi RNA yang di pesan dari Roche tidak bisa didapatkan. Kalau tidak salah karena suplai barangnya sangat terbatas dan diperebutkan oleh negara-negara lain juga.
Indonesia waktu itu memutuskan untuk cari merek lain. Setelah tanya-tanya dari masing-masing lab, dapatlah rekomendasi merek Qiagen dari Jerman.
Pihaknya juga pesan barangnya, namun ternyata mereka tidak bisa memenuhi reagennya. Alat ekstraksi RNA ini memang menggunakan closed system, artinya hanya bisa digunakan dengan reagen yang diproduksi mereka sendiri.
Selama beberapa bulan, lab-lab itu masih menggunakan ekstraksi RNA secara manual untuk test PCRnya. Septian bersama beberapa teman akhirnya putar otak ke Tiongkok.
"kita carilah alat ekstraksi RNA dan reagennya. Setelah tanya sana sini, dapatlah satu perusahaan yang merupakan afiliasi salah satu universitas disana. Jadi semacam badan usahanya yang bergerak dibidang bioteknologi," urai Septian.
Alat ekstraksi RNA dan harganya lebih murah, kira-kira 1/10 dari harga alat ekstraksi yang diproduksi Qiagen, meskipun kapasitasnya 1/3. Begitu juga harga reagen untuk ekstraksi RNA nya. Yang lebih menarik, mereka juga memproduksi reagen untuk PCR yang bisa digunakan baik dari LC 96 dan LC480 (kedua alat ini adalah open system).
Dengan suplai dari Tiongkok ini, Indonesia bisa memberikan donasi lebih banyak alat PCR dan ekstraksi RNA kepada lab-lab kampus itu. Awal Juni, barang-barang ini mulai datang ke Indonesia.
Sebelum memutuskan untuk di beli,pihaknya meminta FKUI untuk melakukan pengujian terhadap barang-barang ini. Hasilnya diluar dugaan kami cukup baik. Alat ekstraksi RNA nya mudah digunakan, dan bisa melakukan ekstraksi dalam waktu 1 jam. Reagen PCRnya pun ternyata memiliki sensitivitas yang lebih baik dibandingkan yang beredar dipasaran pada waktu itu.
Ketika diawal, tak lupa Septian menyampaikan kepada lab-lab ini bahwa hanya akan mensupport mereka dengan alat PCR dan Alat Ekstraksi RNA beserta reagen-reagennya untuk 10 ribu test buat masing2 lab.
Ini berdasarkan kecukupan donasi yang LBP dan teman-temannya sumbangkan.
Namun, karena kita menemukan suplai baru dari Tiongkok yang saya sebutkan diatas, kita bisa mensupport untuk lebih banyak reagen. LBP kemudian juga menerima telpon dari teman-temannya di Tiongkok yang mau menyumbang untuk penanganan Covid19 di Indonesia, sehingga Indonesia bisa memperoleh lebih banyak reagen.
Satu lab saat itu, Septian memperkirakan bisa menerima 30-50 ribu reagen PCR dan ekstraksi RNA untuk melakukan test ini.
Setelahnya, pihaknya minta lab-lab tersebut harus bisa mandiri. Pemerintah tidak bisa mensupport seterusnya karena donasi yang terbatas.
Mengapa sih Septian cerita panjang lebar seperti diatas?
Pertama, Dia ingin menceritakan bagaimana susahnya situasi dan keterbatasan test PCR saat itu.
Kedua, banyak pihak yang bergotong royong untuk membantu pemerintah meningkatkan kapasitas PCR saat itu.
Kementerian BUMN, melalui perintah LBP dan Budi Sadikin, membeli cukup banyak alat PCR saat itu.
Lalu LBP dan teman-temannya juga memberikan donasi yang nilainya cukup besar untuk meningkatkan kapasitas PCR di banyak fakultas kedokteran di Indonesia, dan dia yakin banyak pihak lain yang juga berusaha keras untuk membantu dengan berbagai cara supaya kapasitas test covid19 melalui PCR di Indonesia pada waktu itu bisa ditingkatkan.
"Kami tidak ada memikirkan untung-rugi waktu itu," pungkas Septian.
Dalam perjalanan, Pihaknya mencari alat PCR untuk donasi ke para lab di kampus-kampus saat itu, salah satu teman LBP yang mengajak untuk ikut berpartisipasi dalam pendirian lab test covid19 yang memiliki kapasitas tinggi (5000 test/hari) dan bisa melakukan genome sequencing (belakangan ini kemudian sangat berguna untuk mendeteksi varian delta dan layanan ini diberikan gratis kepada Kemenkes untuk mendeteksi varian baru).
Usul Septian diterima oleh LBP yang ikut berpartisipasi untuk pendirian lab ini. Maka tanpa pikir panjang, LBP menyampaikan ke dirinya.
"Kita bantu lah to mereka ini. Akhirnya melalui Toba Sejahtera (yang memiliki dana untuk kebutuhan ini), Pak Luhut ikut mendukung pendirian lab tersebut. Maka lahirlah GSI, setelah itu, kami tidak monitor lagi mengenai GSI ini," sebut Septian.
"Jujur ketika Jodi (Jubir Pak Luhut) mengirimkan WA pertanyaan dari Tempo mengenai keterkaitan GSI dan Pak Luhut, saya laporkan mengenai hal ini ke Pak Luhut. Beliau sempat tanya ke saya, “emangnya toba sejahtera punya saham di GSI to?”. Beliau tidak ingat rupanya. Saya menjelaskan kronologis yang saya ingat waktu itu. Pak Luhut lalu meminta saya dan jodi menjelaskan kepada Tempo sesuai dengan fakta yang ada," tambah Septian.
Dan kemudian terjadilah kehebohan setelah liputan Tempo itu keluar. Tuduhannya adalah mengenai kebijakan kewajiban PCR bagi pesawat yang diberlakukan beberapa Minggu yang lalu hanya menguntungkan LBP dan ET secara pribadi. Izinkan saya menjelaskan dari perspektif saya:
Mengapa kewajiban test PCR ini diberlakukan kepada penumpang pesawat ditengah kasus yang menurun ?
Perlu diketahui, Septian bersama rekan-rekannya lah yang mengusulkan berdasarkan data yang menunjukkan ada peningkatan resiko penularan. 1-2 minggu sebelum kebijakan PCR untuk penumpang pesawat ini diberlakukan,
Septian melihat ada peningkatan resiko tersebut. Indikator mobilitas yang di gunakan menunjukkan peningkatan yang signifikan. Contohnya di Bali, data mobilitas minggu ketiga Oktober 2021 menunjukkan level yang sama dengan liburan nataru tahun 2020.
Lalu, hasil pengecekan tim yang dikirim, terjadi penurunan disiplin protokol kesehatan yang luar biasa. Peduli lindungi hanya sebagai pajangan, terutama di tempat-tempat wisata dan bar. Bahkan salah satu timnya berhasil memfoto pasangan yang bebas berciuman didalam salah satu bar/café di Bandung.
Sebagai background, pada awal Juli 2021 ketika LBP diperintahkan untuk menangani peningkatan kasus di Jawa Bali, LBP pun meminta Ia dan rekan-rekannya mendesign metode penanganan yang paten.
Mereka kemudian mengontak Prospera untuk membuat leading indicator guna memonitor perkembangan kasus.
Ada 3 indikator yang digabungkan menjadi indeks komposit, yaitu Google Traffic, Facebook Mobility dan NASA Nightlight Index. Intinya 3 indikator tersebut mencerminkan aktivitas masyarakat. Kalau aktivitas masyarakat masih tinggi, maka penambahan kasus tidak akan menurun. Hasil pengujian secara statistic, butuh waktu 14-21 hari untuk penambahan kasus bisa menurun sejak indeks komposit turun.
Indonesia, ucap Septian, harus belajar dari negara-negara lain yang mengalami peningkatan kasus yang luar biasa akibat varian Delta, akibat relaksasi aktivitas dan protokol kesehatan karena merasa tingkat vaksinasi dosis kedua sudah diatas 60%.
Contohnya seperti Singapura, Jerman, Inggris dan beberapa negara lain. Lalu bagaimana dengan Indonesia? Tingkat vaksinasi dosis 2 Indonesia saat ini baru sekitar 36%, dan sudah melakukan relaksasi aktivitas masyarakat secara luas.
Mengapa Ia dan rekan-rekannya berani melakukan relaksasi ini? Karena Ia ingin mengimbangi dengan protokol kesehatan yang ketat dan testing serta tracing yang tinggi, serta relaksasi yang di lakukan secara gradual sejak agustus sampai dengan saat ini.
Melihat protokol kesehatan yang sudah menurun signifikan, tentu saja, Septian melihat ada peningkatan resiko kenaikan kasus.
Sambung Septian, vaksinasi tidak sepenuhnya bisa mencegah penularan kasus. Mudah untuk mengambil kesimpulan ini, karena negara-negara yang disebutkan diatas memiliki cakupan dosis 2 diatas 60%, and kasus covid19 mereka meningkat signifikan.
Vaksinasi akan mengurangi resiko jika terkena Covid19.
" Anda masih bisa terkena covid19, tidak bergejala, dan masih menularkan ke pihak lain, meskipun sudah di vaksin. Ada banyak riset ilmiah yang mendukung hal tersebut," sebut Septian.
Alasan diatas sudah Ia dan jodi sampaikan ke ke Tempo baik dalam bentuk Ms Word maupun Powerpoint, lengkap beserta chart dan riset ilmiah. Namun entah mengapa Tempo tidak menampilkan dalam liputannya.
Kalau memang ingin membantu penanganan pandemi, mengapa harus mendirikan GSI yang berbentuk PT yang orientasinya mencari keuntungan? Kenapa tidak yayasan saja?
Septian menyikapi argumen diatas, bantuan yang sifatnya donasi sudah dilakukan LBP dan teman-temannya melalui donasi alat PCR, ekstraksi RNA, reagen dan beberapa alat lab lainnya ke fakultas kedokteran. Namun, karena sifatnya donasi, Septian hanya bisa membantu sesuai dengan dana donasi yang dikumpulkan. Setelah itu harus mandiri.
GSI, sesuai Namanya Genomik Solidaritas Indonesia (GSI), didirikan dengan semangat solidaritas untuk membantu penanganan pandemic. Sifatnya lebih social entrepreneurship. Jadi keuntungan yang diperoleh GSI digunakan kembali untuk tujuan social, seperti memberikan PCR gratis untuk yang tidak mampu, nakes, ataupun orang-orang yang di wisma atlit.
Mereka bahkan juga membantu Kemenkes untuk melakukan genome sequencing secara gratis untuk mendeteksi varian delta. Model ini lebih sustainable karena tidak mengandalkan donasi.
Adanya LBP di GSI menimbulkan potensi conflict of interest karena LBP adalah Koordinator PPKM Jawa Bali?
LBP ditunjuk koordinator PPKM Jawa Bali pada Juli 2020, jauh setelah pendirian GSI. Alasan penggunaan PCR untuk penumpang pesawat juga diberlakukan karena alasan pada poin 1 diatas, karena peningkatan resiko kasus.
Kemudian, pada bulan September ketika trend kasus mulai menurun diiringi dengan pelaksanaan prokes yang baik, Septian juga mengusulkan menurunkan syarat untuk penumpang pesawat dari PCR menjadi antigen asalkan mereka sudah 2x vaksin.
Kalau memang LBP ingin menguntungkan GSI, buat apa syarat tersebut diubah? Sebagai tambahan, di kantornya kala itu, biasanya PCR atau antigen dilakukan oleh Medistra, RS Pertamina, RS Bunda, dan SpeedLab. Tidak pernah GSI.
Didalam perjanjian pemegang saham GSI, ada ketentuan bahwa 51% dari keuntungan harus digunakan kembali untuk tujuan sosial. Oleh karena itu, sampai detik ini tidak ada pembagian keuntungan seperti dividen kepada pemegang saham.
Hasil laba yang lain digunakan untuk melakukan reinvestasi terhadap peralatan atau kelengkapan lab yang lain (salah satunya adalah untuk melakukan genome sequencing). Perlu diketahui, ketika diawal operasi GSI ini menggunakan fasilitas tanah dan bangunan secara gratis yang diberikan oleh salah satu pemegang saham.
Tak dipugkiri, Septian akui kurang hati-hati dalam mengingatkan LBP terkait dengan saham GSI sehingga muncul potensi conflict of interest ini buat LBP. Tapi memang kondisi pada saat GSI didirikan saat itu membutuhkan keputusan yang cepat terkait peningkatan kapasitas test PCR ini.
Kemudian, ketika lbp menjadi koordinator PPKM Jawa Bali, setiap keputusan yang diambil didasarkan kepada usulan kami atas analisis data dan situasi, sehingga kondisi Covid19 di Jawa Bali bisa lebih baik.
Tidak ada sedikitpun keraguan dalam hatinya terkait hal ini. Tidak ada satupun keputusan yang diambil oleh LBP yang diusulkannya saat itu.
"Sebenernya saya malas mengungkapkan donasi atau bantuan2 yang diberikan oleh Pak Luhut dalam penanganan Pandemi. Saya selalu ingat pesan Pak Luhut, kalau kita melakukan kebaikan dan bantuan gak perlu diingat-ingat, supaya kita tidak merasa memiliki budi kepada orang lain. Tapi kalau kita melakukan hal yang buruk, harus diingat supaya kita tidak mengulangi," pungkas Septian.
Dalam kasus GSI ini, Septian merasa framingnya dan tuduhannya terlalu gila.
Sehingga Ia perlu meluruskan kronologisnya cerita dari sisi yang sesungguhnya.
Dampak yang disebabkan oleh Varian Delta pada bulan Juli adalah pengalaman yang menyakitkan buat siapa saja, dan saya yakin juga buat bangsa ini.
"Kami menerima WA dari sodara, kerabat, rumah sakit dan teman yang meminta tolong untuk dicarikan kamar rumah sakit atau oksigen, hanya kemudian mendapatkan kabar bahwa pasien yang bersangkutan harus meninggal karena tidak mendapatkan pelayanan yang dibutuhkan. Sangat menyakitkan buat saya pribadi," imbuh Septian.
Jadi, ketika ada resiko peningkatan kasus, Septian ingin ada langkah preventif, bukan reaktif seperti yang dilakukan sebelumnya. Karena kalau ada peningkatan kasus dan harus ada pengetatan macam PPKM Darurat, biayanya sangat besar.
"Hasil hitungan kami, biaya langsung untuk perekonomian setiap 1 minggu dilakukan PPKM Darurat, adalah sekitar Rp 5.2 trilyun. Itu belum termasuk korban jiwa yang tidak bisa dihitung secara moneter," kata Septian.
Oleh karena itu, Septian tidak bisa membandingkan situasi saat ini dan situasi pada awal-awal pandemi, bagaimana susahnya mencari alat PCR, ekstraksi RNA, reagen, sampai harus rebutan dengan negara lain. Saat ini kondisi suplainya jauh lebih baik, sehingga ketersediaan alat dan reagen lebih banyak dan lebih murah.
Selain itu, terkait harga PCR, hal tersebut bukan wewenang LBP dalam memutuskan. Evaluasi dilakukan secara berkala oleh Kemenkes dan BPKP. Semuanya melalui proses pemeriksaan di BPKP untuk kemudian memberikan masukan kepada Kemenkes lalu kemudian diputuskan.
"Penjelasan ini ditujukan agar publik memahami konteks yang terjadi dari sisi kami. Selain itu, Kondisi dahulu jauh berbeda dengan sekarang. Mohon jangan melupakan sejarah yang ada," tutup Septian.