Perjalanan Kasus BLBI Hingga SP3 Bos Gadjah Tunggal

Perjalanan Kasus BLBI Hingga SP3 Bos Gadjah Tunggal
Plt Jubir KPK Ali Fikri/ net

MONITORDAY.COM - Publik tengah menyorot langkah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang menghentikan penanganan kasus korupsi penerbitan Surat Keterangan Lunas Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (SKL BLBI) yang menjerat Sjamsul Nursalim.

Bebasnya Syafruddin Arsyad Tumenggung di tingkat kasasi tak dapat dilepaskan dari langkah Komisi Anti-Rasuah ini. Dalam kasus ini, sebelumnya KPK menjerat mantan Ketua BPPN tersebut hingga ia divonis 13 tahun penjara di pengadilan tingkat pertama. Hukuman itu bertambah menjadi 15 tahun bui di tingkat banding. Namun di tingkat kasasi, Mahkamah Agung (MA) melepas Syafruddin. MA menilai perbuatan Syafruddin dalam kasus BLBI bukan merupakan suatu tindak pidana.

KPK lantas mengajukan Peninjauan Kembali atau PK tapi ditolak. Setelah itu, KPK menyebut tidak ada upaya hukum lain. KPK meminta pendapat dan keterangan ahli hukum pidana yang pada pokoknya disimpulkan bahwa tidak ada upaya hukum lain yang dapat ditempuh KPK.

Kisah BLBI

Kasus ini tak terlepas dari perjalanan panjang sengkarut Bantuan Likuiditas Bank Indonesia atau BLBI. Sjamsul disangka merugikan keuangan negara Rp 4,58 triliun dalam kasus penerbitan SKL BLBI terhadap Bank Dagang Negara Indonesia (BDNI). Sjamsul Nursalim dan Itjih diduga melakukan tindak pidana korupsi bersama-sama dengan mantan Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) Syafruddin Arsyad Tumenggung terkait terbitnya

Sebelumnya KPK mengeluarkan SP3, Sjamsul Nursalim dan Itjih berstatus buron atau masuk dalam daftar pencarian orang (DPO). Penegak hukum Indonesia tak mampu menangkap buronan ini. Diduga Sjamsul dan istrinya tinggal di Singapura.

Menurut Rizal Ramli BLBI terjadi mengiringi krisis 1998. Krisis itu dipicu karena swasta-swasta Indonesia pada waktu itu utangnya banyak sekali. Ada satu Grup Sinarmas pada waktu itu sangat ekspansif terbitkan bon 8 miliar dolar ternyata enggak mampu bayar kuponnya. Jadi default yang lain-lainnya juga pada default utang pemerintah sama utang swasta. Demikian dilansir dari merahputih.com.

Menurut Rizal, International Monetary Fund (IMF) juga memaksa pemerintah Indonesia menaikan bunga Bank Indonesia dari 18% ke 80%. Perusahaan-perusahaan ini dapat kredit dari bank, akhirnya bank nya collapse. Utang sangat membengkak, para pihak swasta mendapatkan pinjaman dari bank yang berada di grup-grup perusahaan swasta itu sendiri. Jumlah pinjaman yang diberikan sangat besar lantaran pada waktu itu belum ada regulasi batasan jumlah pinjaman pada internal grup perusahaan swasta.

Pemerintah mau tidak mau melakukan suntikan dana BLBI. Kucuran dana BLBI saat itu jumlahnya sangat besar hingga miliaran dollar Amerika. Kurs dollas AS saat kebijakan itu dikeluarkan, sekitar 10 ribu per dolar. ‎ Bank-bank yang mendapat suntikan dana BLBI harus membayar utangnya secara tunai, namun saat era BJ Habibie, ada aturan pembayaran dapat menggunakan aset.‎ Esensinya utang ini harusnya tunai bayarnya tunai, tapi pada masa pemerintahan Pak Habibie, Menteri Keuangan Bambang Subianto sama Kepala BPPN, waktu itu Glenn Yusuf pembayaran dapat menggunakan aset.

Ada perusahaan yang serahkan aset yang belum clean and clear. Misalnya tanah, padahal surat-suratnya belum jelas. Kemudian BPPN meminta tolong Lehman Brothers, bank investasi raksasa asal Amerika, untuk melakukan valuasi. Valuasi yang dilakukan Lehman Brothers cenderung tidak akurat.

Bila BLBI tetap dianggap sebagai utang tunai, diprediksi pemerintah tak akan rugi karena jika tidak dibayar akan terus ada bunga. ‎

Tahun 2000, upaya dilakukan meski saat itu posisi pemerintah Indonesia lemah secara hukum. Diberlakukan kebijakan agar semua konglomerat yang memiliki utang dengan pemerintah, dalam konteks BLBI harus menyerahkan personal guarantee.‎ Artinya tanggung jawab terhadap utang itu sampai anak-cucu. Agar bargaining pemerintah Indonesia kuat. Namun setelah Gus Dur tidak lagi jadi presiden, aturan tersebut kembali lagi seperti sebelumnya.

Orang Terkaya urutan 35

Sjamsul ada di urutan ke-35 dalam daftar 50 orang terkaya di Indonesia pada 2020. Kekayaan Sjamsul Nursalim mencapai USD 755 juta, atau berkisar Rp 10,9 triliun (kurs Rp 14.537). Sumber kekayaannya berasal dari bisnis ban dan ritel. Putra penjual karet tersebut meraup kekayaan dari bisnis properti, batu bara, dan ritel. Forbes per 9 Desember 2020 melansir laporan tersebut.

Sjamsul identik dengan perusahaan ban miliknya yaitu Gajah Tunggal. Perusahaan tersebut memproduksi 30 persen ban di pasar Afrika, Asia Tenggara, dan Timur Tengah. Kekayaanya juga terpantau di bisnis Real estate. Sjamsul diketahui memiliki saham di perusahaan asal Singapura, Tuan Sing Holdings. Perusahaan ini mengembangkan dan memiliki berbagai properti.