Hari Santri dan Peran Kebangsaan Muhammadiyah

sejak berdirinya tahun 1912 Muhammadiyah terlibat aktif dalam perjuangan politik kebangsaan serta membangun bangsa melalui dakwah yang berorientasi pada pembaruan serta mencerdaskan dan memajukan kehidupan bangsa Indonesia.

Hari Santri dan Peran Kebangsaan Muhammadiyah
Ilustrasi foto

MINGGU (21/10/2018) malam, Lapangan Gasibu, Kota Bandung, riuh ramai dipenuhi para santri, ulama dan para tetamu lainnya. Jokowi datang dengan mengenakan sarung, dipadupadankan dengan baju muslim putih, dilapisi jas hitam lengkap dengan peci hitam. Sangat ‘nyantri’ sekali. Sesaat setelah melempar senyum dan menyapa hadirin, Jokowi naik mimbar dan memberikan pidatonya.

“Sejarah mencatat peran besar para ulama, para kiai, para santri dalam masa perjuangan kemerdekaan bangsa Indonesia, dalam menjaga NKRI, dalam menjaga Bhineka Tunggal Ika dan selalu memandu ke jalan kebaikan, ke jalan kebenaran, ke jalan kemajuan,” kata Presiden Jokowi.

Jokowi lantas mengatakan, bahwa penetapan ‘Hari Santri’ merupakan bentuk penghormatan, penghargaan, dan rasa terima kasih negara kepada para kiai, kepada para alim ulama, kepada para santri, dan kepada seluruh komponen bangsa yang mengikuti teladan para kiai dan para ulama.

Jokowi juga mengatakan, masyarakat patut bersyukur dengan kuatnya tradisi kesantrian yang ada di Indonesia. Saat ini, tercatat ada 28 ribu pondok pesantren yang tersebar di wilayah Indonesia. “Saya menandatangani keputusan Presiden tentang hari santri. Sejak itu kita memperingati hari santri pada 22 Oktober. Hal ini mmerupakan penghormatan dan rasa terima kasih negara kepada para alim ulama, para kiai, ajengan, dan para santri dan seluruh komponen bangsa yang mengikuti teladan alim ulama, ajengan dan kyai,” jelasnya.

Indonesia memang diperjuangkan dan dibangun oleh seluruh komponen atau kekuatan nasional sejak zaman kemerdekaan sampai setelah merdeka tahun 1945. Sesuai dengan posisi dan perannya semua komponen nasional bergerak memperjuangkan Indonesia bebas dari penjajahan serta setelah itu membangunnya menjadi negara dan bangsa yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan makmur sebagaimna dirumuskan oleh para pendiri bangsa dalam wujud cita-cita nasional.

Tidak ada pihak yang paling berjasa dalam perjuangan dan pembangunan Indonesia, semuanya memainkan perannya yang konstruktif. Ketika berdiri dalam posisi kritis terhadap pemerintah pun sebenarnya merupakan bagian dari kiprah kebangsaan agar negara dan bangsa Indonesia tetap lurus di jalan perjuangannya yang benar sesuai konstitusi dan spirit nasional yang diletakan oleh para pendiri bangsa.

Artinya, ada atau tidak ada pun ‘Hari Santri’, sesungguhnya peran-peran yang disebut Presiden Jokowi yang dimainkan kaum santri secara lebih luas, terbukti adanya. Bahkan, dalam lintasan perjalanan Indonesia telah ada puluhan hingga ratusan ribu sumber daya manusia yang terdidik dan berkarakter melahirkan gerakan ini, yang uniknya tanpa mengklaim dirinya gerakan santri. Misalnya saja, gerakan-gerakan yang lahir dari Rahim Muhammadiyah. Tokoh-tokoh sekelas Amien Rais sebagai tokoh reformasi, Syafii Maarif tokoh pluralisme dan kemanusiaan, Din Syamsuddin tokoh lintas agama tingkat nasional dan internasional, serta tokoh-tokoh Muhammadiyah pada awal kelahirannya. Semua berkontribusi bagi pencerdasan, kemajuan, dan perubahan kehidupan bangsa Indonesia.

Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Haedar Nashir, menuturkan jika sejak berdirinya tahun 1912 Muhammadiyah terlibat aktif dalam perjuangan politik kebangsaan serta membangun bangsa melalui dakwah yang berorientasi pada pembaruan serta mencerdaskan dan memajukan kehidupan bangsa Indonesia. “Muhammadiyah melalui dakwah ‘amar ma’ruf nahi munkar’ terus berkiprah tidak lelah dalam mewujudkan masyarakat Islam yang sebenar-benarnya yang muaranya menjadikan Indonesia sebagai negara dan bangsa merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan makmur yang dalam terminologi keislaman ialah Indonesia yang Baldatun Tayyibatun Wa Rabbun Ghafur,” kata Haedar Nashir kepada Monitorday, Minggu (21/10/2018).

Melalui para tokoh awalnya, kata Haedar, Muhammadiyah bahkan juga ikut berjuang dalam pergerakan kemerdekaan dan ikut terlibat aktif mendirikan Negara Republik Indonesia yang diproklamasikan pada 17 Agustus 1945. “Setelah Indonesia merdeka, pada berbagai periode pemerintahan hingga periode reformasi, pengabdian Muhamadiyah terhadap bangsa dan negara terus berlanjut. Khidmat kebangsaan ini didorong oleh keinginan yang kuat agar Indonesia mampu melangkah ke depan sejalan dengan cita-cita kemerdekaan,” tegasnya.

Menurut Haedar, inilah bukti bahwa Muhamadiyah ikut ‘berkeringat’ di dalam usaha-usaha memajukan kehidupan bangsa. Muhammadiyah meyakini bahwa Indonesia dapat mencapai tujuan untuk menjadi negara dan bangsa yang berkemajuan, yakni terciptanya kehidupan kebangsaan yang maju, adil, bermartabat, dan berdaulat sebagaimana yang termaktub dalam Pembukaan UUD 1945.

Haedar lantas berkisah, bila para tokoh Muhammadiyah sejak kelahirannya sangat besar perannya. Kyai Ahmad Dahlan dan Nyai Walidah Dahlan bergerak dalam mencerdaskan dan memajukan bangsa hingga diangkat sebagai Pahlawan Nasional. Pun demikian Srikandi Aisyiyah, Hayyinah dan Munjiyah menjadi pelopor dan pemrakarsa bersama gerakan perempuan lainnya untuk lahirnya Kongres Perempuan Pertama tahun 1928.

Ada pula nama Kyai Mas Mansur yang menjadi tokoh Empat Serangkai bersama Soekarno, Mohammad Hatta, dan Ki Hadjar Dewantoro dalam usaha persiapan kemerdekaan Indonesia. Ki Bagus Hadikusumo didukung Kahar Muzakkir dan Kasman Singodimedjo menjadi penentu konsesnsur nasional penetapan UUD 1945 tanggal 18 Agustus 1945 sebagai konstitusi dasar sekaligus di dalamnya penetapan Pancasila sebagai dasar negara.

Dalam perjuangan kemerdekaan dan mempertahankan kemerdekaan, kontribusi Muhammadyah yang terbesar, kata Haedar, adalah yang diperankan oleh Jenderal Soedirman. Melalui perang gerilya dan melahirkan serta menjadi Bapak Tentara Nasional Indones, yang tiada duanya. Gerakan cinta tanah air ini bermodalkan spirit Hizbul Wathan atau Kepanduan Tanah Air yang dirintis tahun 1918, dimana Soedirman menjadi pandu utamanya.

“Bersamaan dengan perang gerilya, aksi mempertahankan Indonesia dari serbuan kembali Belanda di DIY dan Jawa tengah para tokoh Muhammadiyah menggerakkan aksi Angkatan Perang Sabil (APS), yang merupakan perlawanan umat Islam yang luar biasa militant demi mempertahankan bangsa dan tanah air,” terang Haedar.

Peran tokoh Muhammadiyah Ir Djuanda, menurut Haedar, juga sangat penting dan menentukan dalam menyatukan seluruh kepulauan Indonesia melalui Deklarasi Djuanda 1957, yang menjadi pangkal tolak perjuangan Indonesia di PBB untuk menyatukan lautan dan daratan dalam satu kepulauan Indonesia yang utuh.

“Perjuangan tersebut berhasil tahun 1982 dengan diakuinya kesatuan laut dan daratan kepulauan Indonesia oleh PBB dalam hukum laut internasional. Suatu perjuangan yang dipelopori kader dan tokoh Muhammadiyah yang juga menjadi Perdana Menteri serta beberapa kali menjadi Menteri di zaman Pemerintahan Soekarno,” kisah Haedar.

Pun demikian dengan keberadaan Kementrian Agama, menurut Haedar, juga merupakan gagasan tokoh Muhammadiyah dari Jawa Tengah, KH Abu Dardiri, setelah itu Menteri Agama RI pertama ialah HM Rasjidi, yang dikenal sebagai ilmuwan atau ulama lulusan Universitas Sourbone Perancis, berasal dari Kotagede Yogyakarta. Sementara Kahar Muzakkir yang menjadi anggota Panitia Piagam Jakarta,, sebelumnya sewaktu di Al-Azhar Cairo, berjuang melakukan diplomasi di Timur Tengah sebelum yang lainnya.

Tokoh utama kemerdekaan dan proklamator serta Presiden pertama RI Soekarno, kata Haedar, juga seorang Muhammadiyah, bahkan pernah menjadi pengurus Majelis Pendidikan sewaktu di Bengkulen (Bengkulu). Soekarno lama bergaul dan ‘ngintil’ (berguru secara informasl) dengan Kyai Dahlan sebagaimana beliau akui sendiri. Bahkan, menurut Haedar, Soekarno beristrikan kader Aisyiyah, Fatmawati yang juga putri Konsul Muhammadiyah Sumatra, yakni Hasan Din.

“Paham Islam progresif atau berkemajuan menjadi daya tarik Soekarno menjadi anggota dan pengurus Muhamadiyah,” tutur Haedar.

Presiden berikutnya, Soeharto juga anak didik sekolah Muhammadiyah. Kedua Presiden RI itu dengan segala kelebuhan dan kekurangannya sangat berjasa bagi perjalanan sejarah dan pembangunan bangsa.

Demikianlah Muhammadiyah, akan terus berkiprah dan memberi kontribusi besar bagi pencerdasan dan pemajuan bangsa melalui usaha-usahanya di bidang pembaruan paham keagamaan, pendidikan, kesehatan, pelayanan sosial, pemberdayaan masyarakat, pendidikan politik kebangsaan, dan gerakan dakwah lainnya. Dalam lintasan perjalanan Indonesia telah puluhan hingga ratusan ribu sumber daya manusia yang terdidik dan berkarakter lahir dari gerakan ini, meski tanpa mengklaim dirinya sebagai gerakan santri.