Haedar Nashir : Hari Santri Nasional, Warna Keberislaman Indonesia
Peringatan Hari Santri Nasional yang jatuh pada 22 Oktober 2018 kemarin, membuat gegap gempita merasa menjadi santri tampak menggema di tanah air hari-hari ini. Berbagai pernyataan, jargon, hingga upacara untuk menunjukkan diri sebagai santri meluas di mana-mana.

MONITORDAY.COM - Peringatan Hari Santri Nasional yang jatuh pada 22 Oktober 2018 kemarin, membuat gegap gempita merasa menjadi santri tampak menggema di tanah air hari-hari ini. Berbagai pernyataan, jargon, hingga upacara untuk menunjukkan diri sebagai santri meluas di mana-mana.
Hal itu diungkapkan oleh Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Haedar Nashir. Ia menyerukan kepada para santri di seluruh Indonesia untuk tetap menjaga dan terus mengedepankan akhlak yang mulia layaknya seorang santri.
"Kita bersyukur mudah-mudahan kenyataan tersebut dapat menjadi pertanda baik akan adanya wujud keislaman yang lebih berkualitas dari umat Islam di negeri ini," ujar Haedar dalam keterangan persnya yang diterima Monitorday.com di Jakarta, Selasa, (23/10/2018).
Menurut Haedar, peringatan hari santri nasional diharapkan dapat mewarnai kehidupan Indonesia yang makin berada di jalan yang benar, baik, maju, dan sejiwa dengan nilai-nilai luhur Islam. Sekaligus dengan pengaruh santri maka Indonesia menjadi negara dan bangsa yang bebas dari korupsi, ajimumpung kekuasaan, kekerasan, kemaksiatan, dan segala keburukan yang membuat citra negeri ini terpuruk.
"Kenapa demikian? Karena sosok santri adalah perlambang kebajikan beragama atau berislam. Sehingga kesantrian itu harus menunjukkan jiwa, pikiran, perilaku, dan tindakan keislaman yang benar-benar Islami secara nyata. Bukan dalam klaim dan rerorika," tuturnya.
Sebagaimana diketahui, kata Haedar, secara umum bahwa santri adalah julukan bagi seseorang yang mengikuti pendidikan agama Islam di pesantren.
"Santri melekat dengan dunia pesantren yang mendidik beragama dengan benar dan baik," ujarnya.
Bahkan, lanjut Haedar, santri telah menjadi kategori keagamaan untuk menunjuk muslim yang taat menjalankan agama Islam.
Menurut Haedar, santri juga sering disimbolkan kaum putih sebagai perlambang bersih atau suci, lawannya abangan. Jadi betapa luhur status keislaman kaum santri, sehingga bukan atribut yang sembarangan.
Karenanya, Haedar menaruh harapan kepada kaum santri agar menunjukkan sikap, turur kata, dan tindakan yang berakhlak mulia (al-akhlaq al-karimah) sebagaimana diajarkan di pesantren tempat para santri dididik agama dengan sebaik-baiknya.
"Sebutlah akhlak jujur, amanah, menjaga lisan (hifdzul lisan), sopan santun, damai, tasamuh (toleran), tawazun (seimbang), kata sejalan tindakan, dan segala perangai yang mulia serta menebar rahmat bagi orang lain dan lingkungannya," tutur Ketum PP Muhammadiyah itu.
Ia menghimbau, sebaliknya kaum santri menjauhi segala perilaku yang tercela atau 'al-akhlaq al-madzmumah' yang merugikan diri sendiri, orang lain, dan lingkungannya. Santri, kata Haedar, hendaknya tidak melakukan akhlak yang buruk seperti kekerasan kepada siapapun dan apapun seperti menyiksa, membakar, dan berbuat onar atau anarkis di ruang publik atas nama perbuatan baik.
"Santri tidak dibenarkan berbuat sekehendaknya, apalagi dengan menggunakan alasan agama dan nasionalisme. Jika berbeda paham atau pandangan kaum santri tetap baik, damai, dan toleran sebagai wujud ukhuwah. Kalau beramar-ma'ruf maupun bernahi-munkar harus dilakukan dengan cara yang baik sebagaimana prinsip dakwah dengan cara yang bijaksana (bil-hikmah), dengan pelajaran yang baik (wa al-mauidhatul hasanah), dan dialogis (wa jadil-hum bi-llati hiya ahsan)," tutur Haerdar.
"Jika kaum santri dapat menunjukkan uswah hasanah atau teladan yang baik maka umat dan bangsa akan menjadi khaira ummah. Umat dan bangsa tidak dibikin resah. Sebaliknya manakala tidak mampu menunjukkan keteladanan akhlak mulia maka kesantrian menjadi jauh panggang dari api. Lantas publik akan hilang kepercayaan kepada kaum santri, yang tentu saja berdampak luas pada citra umat Islam di negeri ini," imbuhnya.